Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 43/II/28 Nopember-4 Desember 99 ------------------------------ MUKTAMAR NU TANDINGAN (POLITIK): Soal tanah, petani dan buruh hilang dari muktamar NU. Para nahdliyin muda menggelar muktamar tandingan agar NU tetap kritis. NU kena wabah euforia, suatu luapan kegembiraan yang luar biasa manakala Gus Dur, mantan ketua PBNU, terpilih jadi presiden. Bahkan intelektual Katjung Maridjan berkomentar, "Muktamar NU di Lirboyo ini kayak slametan pesta terpilihnya Gus Dur jadi presiden". Memang, muktamar NU kali ini selain terbesar biaya dan pesertanya, menjadi menarik juga karena dibuka oleh Ketua PBNU yang merangkap Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur sendiri tak keberatan warga NU berdekatan dengan dia asal tetap kritis. Dalam sambutannya sebelum memukul bedug raksasa, Gus Dur menegaskan NU merupakan organisasi agama yang bertugas memberikan kritik kepada pemerintah dari sudut agama. "Jadi fungsi kontrol yang sudah dilaksanakan lama sekali ini jangan ditinggalkan hanya karena saat ini NU berada di pusat pemerintahan," tandasnya. Tapi seruan Gus Dur agaknya bias di lapangan. Kepentingan dari beberapa politisi NU untuk bermain dengan kekuasaan kian besar dan bahkan menggunakan politik uang untuk menggolkan agendanya. Isu politik uang ini diungkap oleh KH Maksum Jauhari yang biasa dipanggil Gus Maksum. Kyai yang marah karena selebarannya dirobek oleh anggota Banser ini mengatakan bahwa ia mendapat laporan bahwa para pendukung Said Aqiel Siradj telah menyogok beberapa pimpinan pondok pesantren untuk mendukung Said jadi ketua. "Budaya ini mestinya tak bisa dilakukan di kalangan jam'iyah. Kalau sudah begini apa seseorang itu masih bisa dikatakan pantas untuk memimpin organisasi keagamaan ini?" tanya Gus Maksum yang tak sudi menyebut nama Said Aqiel. Ramainya isu siapa yang akan jadi ketua tampaknya membuat banyak nahdliyin muda jadi kecewa. Muktamar cenderung untuk membahas soal-soal elitis ketimbang soal-soal kerakyatan yang dialami oleh warga NU sehari-hari. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan pun lebih banyak menyentuh soal politik elit nasional yang tak berkaitan langsung dengan NU seperti seruan untuk mengadili Soeharto. "Kalau tuntutan itu diserukan sebelum Gus Dur jadi presiden barangkali lain maknanya. Ini yang membedakan muktamar kali ini dengan muktamar sebelumnya. Dulu di Cipasung dan muktamar-muktamar sebelumnya, isu tanah dan petani yang berkaitan langsung dengan kepentingan warga NU lebih banyak dibahas. Sekarang, disinggung dalam agenda pun tidak," tutur intelektual muda NU, Ahmad Suaedy. Tak heran bila seruan Gus Dur untuk kritis terhadap pemerintah justru lebih banyak dilakukan oleh aktivis dan intelektual muda NU. Mereka yang tergabung dalam lembaga-lembaga NU seperti P3M, Lakpesdam NU, LKPSM NU Yogya, ELSAD, dan LKIS, dengan kreatif menyelenggarakan "muktamar tandingan" bersamaan dengan muktamar resmi. Agendanya, bagaimana memberdayakan masyarakat sipil secara konkrit. Para aktivis dan intelektual muda NU itu mengambil jarak tempat kurang lebih seratus meter dari Pondok Pesantren Lirboyo yang digunakan untuk muktamar. Tepatnya di Bale Anggraeni RW II Sukorame Kediri. Bertempat di ruangan seluas sepuluh kali lima meter persegi dan duduk lesehan beralaskan tikar pandan, mereka mendiskusikan secara serius persoalan warga NU di akar rumput. Meskipun ruangan sangat panas karena tak ada eternit sehingga langsung terlihat atap seng, para nahdliyin muda ini berhasil menelurkan beberapa kesepakatan. Misalnya, pembentukan jaringan yang secara serius mencerdaskan rakyat bawah dengan training-training berbasis nalar yang kritis. Muktamar tandingan ini juga membahas perkiraan otonomi daerah yang bakal menguat dan bagaimana warga NU menghadapinya. Persoalan sektor-sektor mana yang perlu diperkuat, digarisbawahi adanya keberpihakan pada kaum bawah seperti petani dan buruh. Tuntutan pencabutan dwifungsi TNI yang selama ini hanya jadi jargon demonstrasi, mereka coba untuk dijabarkan dengan solusi menekan keterlibatan para bintara TNI di level bawah seperti babinsa dan koramil. Meskipun banyak persoalan yang dibahas bersifat struktural, strategi yang ditempuh untuk menggolkan target lebih banyak bernuansa kultural, seperti pendekatan yang intensif dengan para kyai. "NU itu bagaimanapun basisnya adalah pengaruh kyai, jadi bila pikiran kyai sudah kritis maka pendidikan sosial politik untuk para santrinya bisa lebih demokratis," ujar Suaedy. Sayang, upaya-upaya orang muda NU ini tak banyak disorot media yang terlampau sibuk dengan isu-isu yang elitis di muktamar. Wajar bila kemudian koran-koran maupun majalah pun lebih banyak berisi berita elit mengenai muktamar. Tapi seiring berjalannya waktu, generasi muda NU yang kritis dan berpihak ke rakyat bawah itu tampaknya bakal lebih mendominasi wacana warga NU. Semoga dengan bertambahnya usia NU yang kini berkuasa tak lantas mengubah mereka untuk terserap masuk dalam jaring kekuasaan yang membius. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html