Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 43/II/28 Nopember-4 Desember 99 ------------------------------ BINGUNG OTOTNOMI DI SANA-SINI (POLITIK): Pelaksanaan otonomi berlangsung tak mulus. Ada gubernur tak patuh pada DPRD. Ada DPRD langsung 'memajak' perusahaan PMA. Otonomi daerah, ternyata, lebih 'enak' didengarkan ketimbang diterapkan. Kendati belum semua ketentuan dalam UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999 (Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah) wajib dijalankan, sudah banyak yang kebingungan. Ada pula yang justru bingung karena UU lama (UU No 5 tahun 1974) dan baru kedua-duanya dijalankan, padahal banyak segi yang saling bertentangan. Di Surabaya, misalnya. DPRD setempat tak tahu harus berbuat apa, ketika Walikota Sunarto Sumoprawiro, di akhir masa tugasnya, tiba-tiba memutasikan dan melantik 23 pejabat eselon III dan IV. Ketua DPRD Surabaya M. Basuki, pertengahan November lalu, mempersoalkan tindakan walikota yang dinilainya tidak tepat, karena dilakukan tanpa mempedulikan keberadaan anggota DPRD pemilu 1999. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi berdasarkan UU otonomi, DPRD memang berhak mempertanyakan walikota. Namun, di lain pihak, walikota merasa tak ada yang salah dengan tindakannya. Pasalnya, ia sendiri diangkat sebagai walikota berdasarkan peraturan yang lama. Sehingga, merasa tak perlu mendapatkan persetujuan DPRD baru. Menurut Sunarto, landasan yuridis tindakannya adalah SK Gubernur No. 821.2/664.042/1999 tanggal 26 Agustus 1999 dan SK No.821.2/1142/042/1999 tanggal 12 Oktober 1999 tentang pengangkatan jabatan. Dengan modal itu, ia merasa punya legitimasi -meskipun pejabat-pejabat baru itu dianggap orang-orang dekat gubernur. Masih di Surabaya, DPRD tingkat I juga bingung menghadapi sikap gubernur yang bagai "raja kecil", memutuskan berbagai hal secara personal. Misalnya, dalam hal renovasi kantor gubernur yang memakan biaya Rp14,8 miliar. Anggota DPRD, sebenarnya keberatan dengan jumlah dana yang mereka anggap terlalu besar di masa 'krismon' ini (apalagi diketahui, sebanyak 25 buah pintu kuno kayu jati yang masih bisa digunakan, ternyata sudah diganti dengan pintu yang mutunya lebih rendah). Namun, Gubernur Imam Utomo menolak melaporkan pertanggungjawabannya pada DPRD yang baru. Alasannya, lagi-lagi karena ia merasa diangkat berdasarkan peraturan lama. Lain lagi yang terjadi di daerah yang kaya dengan sumber daya alam, khususnya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Riau. Otonomi tiba-tiba menjadi euphoria. Sejulmah Pemda menafsirkan UU No 22 dan 25 tahun 1999 itu sebagai senjata memperoleh tambahan pemasukan dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di daerahnya. Hal ini diungkapkan mantan Dirjen Pertambangan Umum Deptamben, Sutaryo Sigit, awal November lalu. Menurutnya gejala ini telah mencemaskan berbagai penanam modal seperti PT Inco (Sultra), PT Freeport (Irja), Newmount Minahasa (Sulut) dan Newmount Nusatenggara (NTB). Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Pemda tingkat II dengan modal persetujuan DPRD setempat telah mengeluarkan Perda berupa pungutan Rp50.000 untuk setiap hektare kuasa pertambangan batu bara PT Adaro Indonesia, ditambah royalti Rp1.000/ton batu bara. Permintaan ini tentu saja tak bisa serta merta dipenuhi PT Adaro. Sebagai perusahaan penanaman modal asing (PMA), bagaimanapun PT Adaro telah terikat ketentuan kontrak batu bara generasi I dengan pemerintah pusat. Kontrak tersebut merupakan lex specialist atau ketentuan yang tak bisa begitu saja ditambah atau dikurangi oleh ketentuan sesudahnya sampai masa kontrak berakhir. Sulit mencari siapa yang salah, siapa yang benar di sini. Anggota DPRD setempat barangkali tak tahu menahu soal ketentuan kontrak tadi -apalagi lex specialist itu. Yang mereka tahu, dalam UU baru, disebutkan bahwa penerimaan negara dari sektor kehutanan, pertambangan dan perikanan dibagi 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah. Apa yang ada dalam pikiran mereka, tentunya bagaimana secepat mungkin merealisasikan pembagian hasil yang lebih menguntungkan daerah. Sebaliknya, jika pihak perusahaan merasa keberatan, itu juga beralasan. Sebab, ketika mereka memutuskan untuk menanamkan modalnya di Kalimantan Selatan, tentunya mereka telah memikirkan perlunya mendapat proteksi pemerintah yang dijabarkan dalam kesepakatan kontrak. Tak gampang pula memutuskan solusi persoalan ini. Membatalkan begitu saja kontrak berjalan, akan berdampak negatif bagi iklim investasi masa mendatang. Sebab, dalam kasus PT Adaro ini misalnya, jika mereka mesti membayar royalti 55 sen dolar AS per ton (dikalikan 14 juta ton produksi batu bara per tahun), royalti yang mesti dibayar sebesar 8 juta dolar AS per tahun. Bayangkan jika pemerintah pusat dan daerah, sama-sama ngotot meminta haknya. Sebaliknya, membiarkan pendapatan dari sumber daya alam daerah terus-menerus diambil pusat, sama saja mempersubur benih-benih disintegrasi. Dalam kasus ini, ada usulan, supaya pemerintah pusat memberikan petunjuk pengalihan 'setoran' semacam ini, dari pusat ke daerah. Toh, soal-soal semacam ini masih banyak di berbagai daerah. Bisa dibayangkan kegamangan yang pasti terjadi saat mencari solusi persoalan-persoalan semacam ini. Pemerintah, khususnya Kementerian Otonomi Daerah, mau tak mau memang mesti membentuk tim yang bertugas mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. Bila perlu dengan mengeluarkan berbagai peraturan pendukung. Supaya proses transfer wewenang bisa berjalan mulus. Supaya rasa keadilan terpenuhi. Supaya nggak terus-terusan bingung. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html