Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 43/II/28 Nopember-4 Desember 99
------------------------------

ACEH BUKAN SOAL ISLAM

(POLITIK): Referendum yang ditawarkan pemerintah ke Aceh berbau SARA.
Padahal pokok soalnya adalah penindasan militer.

Gus Dur memang kreatif. Ia sudah menjanjikan referendum untuk Aceh dalam
waktu dekat. Tetapi apa yang disebut referendum menurut Gus Dur bukan
pilihan apakah Aceh masih mau bergabung dengan Indonesia ataukah tidak,
melainkan apakah Aceh memilih menjalankan tatanegara sekuler seperti wilayah
Indonesia yang lain ataukah memilih untuk secara khusus menjalankan
tatanegara menurut syariat Islam. Tentu saja tawaran ini jelas mencegah Aceh
lepas dari Indonesia, meskipun Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA)
mengajukan opsi referendum dengan pilihan masih bergabung dengan Indonesia
atau memilih merdeka lepas dari Indonesia.

Ide Gus Dur di atas disampaikan secara tidak langsung lewat mulut Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono. "Presiden Abdurrahman Wahid menurut saya sama
sekali tidak mempunyai pikiran untuk memberikan kemerdekaan pada Aceh.
Pilihan yang diberikan jika terlaksana referendum adalah penerapan Aceh
sebagai daerah yang melaksanakan syariat Islam secara khusus," demikian
keterangan Juwono dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR
(22/11).

Semula ide tersebut ditanggapi dengan baik dan diterima para anggota DPR
komisi I. Tetapi entah kenapa, kesadaran kritis justru muncul sesudah Pak
Menteri yang dikawal para jendral TNI AD itu pergi. Berawal dari pertanyaan
segelintir wartawan pada beberapa anggota DPR, apakah ide pemerintah itu
justru bukan langkah mundur yang menyebabkan Indonesia terpilah-pilah
menurut SARA yang dominan di suatu daerah? Misalnya saja, hukum yang berlaku
di Aceh akan mengikuti suku Aceh dan agama Islam, Bali akan mengikuti suku
Bali dan agama Hindu, Irian akan mengikuti aturan Kristen.

Jaksa Agung Marzuki Darusman yang dihubungi Xpos sempat terhenyak. "Anda
bisa jadi benar. Tapi ini dilema memang, padahal kalau kita amati tiap
daerah sebetulnya tiap suku dan agama bercampur dan hidup bersama," tutur
Marzuki dengan mata menerawang dan dahi berkernyit. "Pokok persoalannya
memang penindasan HAM yang sudah sangat keterlaluan di Aceh," tandas Marzuki
kemudian.

Pendapat Marzuki dibenarkan  Menteri Negara urusan HAM Hasballah M. Saad.
Mantan tokoh GAM yang berewokan ini menyatakan, "Rakyat Islam Aceh
sesungguhnya menghormati orang dari suku atau agama lain. Tapi penderitaan
dan hinaan yang diterima rakyat Aceh begitu memilukan selama Orde Baru. Dan
sentimen yang diangkat untuk menyatukan perlawanan adalah Islam. Bagi kami
muslim Aceh, sangat hina bila tak mampu melindungi keselamatan anak cucunya."

Sentimen Islam ini yang tampaknya dilayani oleh Gus Dur. Menurut Fajrul
Falaakh yang dekat dengan Gus Dur, soal syariat Islam itu bukannya untuk
memilah Indonesia mengikuti SARA. "Kita semua kan tahu kalau Gus Dur itu
selalu menjunjung tinggi pluralitas SARA," kata Fajrul. Jadi? Tampaknya soal
syariat Islam ini hanya taktik Gus Dur saja supaya Aceh tidak lepas. Tapi
bila jadi dilaksanakan, sungguh akibatnya berat bagi pluralitas demokrasi.
Pertama, apakah suara rakyat Aceh sendiri setuju dengan opsi tersebut?
Kedua, bila syariat Islam yang diikuti bagaimana dengan nasib penduduk non
muslim di Aceh? Tanpa disadari opsi Gus Dur ini rupanya meningkatkan arus
pengungsi keluar dari Aceh.

Di samping referendum, strategi Gus Dur adalah pengadilan para pelanggar
HAM. Tapi pengadilan ini tak bisa segera dilaksanakan karena halangan dari
para jendral TNI AD termasuk Wiranto, sehingga Gus Dur harus mendua
strateginya dengan memunculkan isu syariat Islam tersebut agar ia tidak
dianggap kurang serius mengurusi Aceh.

Marzuki Darusman mengatakan bahwa kini Kejaksaan Agung sudah merencanakan UU
Pengadilan HAM. "Kejagung akan membuatnya bersama kantor Menteri Hukum dan
Perundang-undangan lalu diajukan ke DPR. Agak makan waktu memang," kata
Marzuki. RUU ini perlu dibuat karena Peraturan Pemerintah Pengganti UU
(Perpu) No 1/1999 tentang Pengadilan HAM tidak memadai untuk mengusut kasus
pelanggaran HAM di Aceh. Perpu itu tidak dapat dijadikan dasar untuk
mengadili kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum Perpu diberlakukan
bulan Oktober 1999. Marzuki khawatir bila pengadilan terburu-buru untuk
menyeret para jendral, semua tertuduh justru lepas.

Kesabaran rupanya penting juga, tapi sampai kapan? Rakyat Aceh ditindas
seenaknya tanpa mengindahkan UU atau peraturan apapun. Tapi di sisi lain,
bila tak sabar selain dibilang Marzuki para jendral itu bisa lepas,
keterburu-buruan penyelesaian juga bisa melanggengkan cara-cara penyelesaian
lewat politik terus tanpa menghargai hukum. 

Jadi ya masih dilema. Tidak segera, rakyat Aceh akan kian marah. Bersegera,
kita bisa terjebak ke penyelesaian politik jalan pintas terus menerus. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke