Precedence: bulk BAHAYA JIKA LETJEN TNI DJADJA SUPARMAN JADI KSAD JAKARTA, (TNI Watch!, 21/12/99). Dalam kunjungannya ke Markas Brigif 6/Kostrad di Solo, hari Selasa lalu (14/12), Pangkostrad Letjen TNI Djadja Suparman menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana pemanggilan sejumlah jenderal oleh KPP HAM. Menurut Pangkostrad, pemanggilan para jenderal itu, akan menyakitkan hati para prajurit TNI, dan dikhawatirkan prajurit akan membabi buta. Pernyataan kurang simpatik dari Letjen Djadja tersebut, dimentahkan Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah. Menurut Mayjen TNI Agus WK, prajurit itu loyalitasnya kepada institusi, kepada bangsa, kepada negara, bukan kepada jenderal. "Prajurit kita bukan prajurit hulubalang, bukan prajuritnya jenderal, bukan prajuritnya rezim," tegas Mayjen Agus WK. Mayjen Agus juga menyatakan, pernyataan Djadja tersebut merupakan pernyataan sesaat saja. Argumen Mayjen Agus WK tersebut mendapat dukungan dari Ketua DPR Akbar Tanjung. "Saya setuju dengan Agus, bahwa tentara harus profesional, dan tidak boleh setia pada orang," ujar Akbar Tanjung, Jumat lalu (17/12). Kalau kita mengikuti logika bantahan Agus WK, berarti Djadja Suparman hanya setia kepada jenderal. Betul sekali dugaan itu, Djadja memang setia kepada Jenderal Wiranto. Pernyataan Djadja yang kontroversial itu, merupakan cerminan dari loyalitas Djadja pada Wiranto. Mengapa Djadja demikian loyal pada Wiranto? Tentu, karena Djadja berhutang budi pada Wiranto. Karena Wiranto (ketika masih Panglima TNI) yang menarik Djadja ke Jakarta, sebagai Pangdam Jaya. Dan selanjutnya Wiranto mempromosikannya kembali menjadi Pangkostrad. Pantas saja kalau kesetiaan Djadja pada Wiranto demikian membabi buta. Itu semua bermula ketika Jakarta dilanda kerusuhan besar pertengahan Mei tahun 1998 lalu. Selaku Panglima, Wiranto merasa kewalahan mengatasi keadaan. Karena Wiranto tidak mendapat dukungan dari Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, dan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsudin. Untuk itulah Wiranto meminta bantuan pasukan pada Pangdam V/Brawijaya (saat itu) Mayjen TNI Djadja Suparman. Sebagai balas jasa atas bantuan Djadja, Wiranto mempromosikan Djadja sebagai Pangdam Jaya, menggantikan Mayjen TNI Sjafrie. Jadi antara Wiranto dan Djadja ada semangat saling membalas budi antar keduanya. Kini posisi Djadja adalah Pangkostrad, berarti tinggal selangkah lagi ia akan menjadi KSAD. Karena kalau mengikuti tradisi selama ini, untuk jabatan KSAD, kandidatnya diprioritaskan pada Pangkostrad atau Wakil KSAD, meski tidak selalu begitu juga, karena KSAD sekarang adalah dari Kepala BAIS. Namun setidaknya dalam kasus Djadja, ia memiliki peluang besar menjadi KSAD mendatang. Itulah yang harus dicegah. Mengapa? Dari ucapannya itu, itu sudah merupakan indikasi, bahwa Djadja adalah figur pimpinan yang mengerikan. Terlebih kalau kita melihat raut wajahnya yang seram, mengingatkan kita pada pemimpin Panama, si "muka nanas" Noriega. Dalam situasi sekarang, di mana demikian kuatnya tuntutan aspirasi demokrasi dari rakyat, tipe pimpinan yang otoriter seperti Djadja, menjadi kurang layak. Tipe seperti Djadja masih mungkin mendapat tempat di era Rezim Orba dulu, tetapi tidak untuk masa sekarang. Tipe pemimpin masa sekarang, yang didambakan adalah figur yang aspiratif dan demokratis, meski dalam organisasi militer sekalipun. Karena meskipun ia memimpin institusi militer, ia kan tetap berhubungan dengan masyarakat sipil, yang perilaku dan aspirasinya berbeda. Memang di antara teman sekelasnya di Akmil (Angkatan 1972), karir Djadja adalah yang paling cemerlang, karena sudah menyandang pangkat Letjen. Namun itu jangan dijadikan alasan untuk meloloskan Djadja sebagai KSAD kelak. Kalau itu yang terjadi, bahaya otoritarian akan melanda bangsa kita. Sementara pada saat sekarang, kita sedang bersusah-payah membangun iklim demokratis. Kalau ternyata, tipe seperti Djadja yang akan muncul jadi pemimpin, hancurlah kita. Berikut adalah daftar perwira Angkatan 1972, yang lebih layak ketimbang Djadja untuk dipromosikan (versi TNI Watch!). Nomor urut di bawah tidak menunjukkan skala prioritas, jadi nomor acak biasa. 1. Kol Inf Bachtiar Heru (mantan Danrindam Jaya, Direktur di Kodiklat) 2. Kol Inf Karel Albert Ralahalu (Danrem di Kodam VIII/Trikora) 3. Kol Inf Oding Mulyadi (mantan Danrem 063/SGJ Cirebon) 4. Brigjen TNI M. Anshori DE (Kasdam II/Sriwijaya) 5. Brigjen TNI Lintang Waluyo 6. Kol Inf Mustopo (mantan Danrem Madiun) 7. Kol Inf Sumarsono (mantan Danrem Solo) 8. Kol Inf Marlyn Rellys Nainggolan (mantan Danrem di Kodam VIII/Trikora) 9. Brigjen TNI Sein Harris Sanusi (Direktur "B" di BAIS) 10. Mayjen TNI Tabrie (Aslog Kasum) 11. Kol Inf Christoffel Mewengkang (pejabat di Mabes AD) 12. Kol Inf Djoko Lelono (BAIS) 13. Brigjen TNI Bambang Sumardji (mantan Danrem 161/WS, kini di Kodiklat) 14. Mayjen TNI Albert Inkiriwang (Pangdam Trikora) 15. Mayjen TNI Sudi Silalahi (Pangdam V/Brawijaya) 16. Mayjen TNI Bibit Waluyo (Pangdam IV/Diponegoro) 17. Mayjen TNI Ampi Nurkamal Tanujiwa (Wadan Kodiklat) 18. Kol Inf Valentinus Suwandi (pejabat di Mabes TNI) 19. Brigjen TNI Bambang Widjojanto (Wadan Pusterad) 20. Brigjen TNI Sudibyo (Kasdam V/Brawijaya) 21. Kol CZI M Ali Fathan (mantan Danrem 131/Santiago, Manado) 22. Kol Art Tasmika (Danrem) 23. Kol Art Prang Hadi Santoso (Asintel Kasdam III/Siliwangi) Dari nama di atas, sengaja tidak dicantumkan nama Mayjen TNI Adam Rachmat Damiri (Asops Kasum TNI). Keterlibatannya dalam pelanggaran HAM di Timtim, saat menjabat Pangdam IX/Udayana dan selaku Komandan Brigif Linud 3/Tri Budi Maha Sakti Kostrad, membuat namanya tidak layak masuk nominasi. Maaf untuk Mayjen Adam Damiri. Sekali lagi maaf. *** _______________ TNI Watch! merupakan terbitan yang dimaksudkan untuk mengawasi prilaku TNI, dari soal mutasi di lingkungan TNI, profil dan catatan perjalanan ketentaraan para perwiranya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan, politik TNI, senjata yang digunakan dan sebagainya. Tujuannya agar khalayak bisa mengetahuinya dan ikut mengawasi bersama-sama. ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html