Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 47/II/26 Desember 1999 - 1 Januari 2000 ------------------------------ MEMBONGKAR LKBN ANTARA (POLITIK): Gus Dur menggusur Parni Hadi dari Antara. Sebagai gantinya, ditunjuk Budirto Danujaya dari Kompas. Parni pun mengadu ke Amien Rais. Parni Hadi, Pemimpin Redaksi LKBN Antara bersungut-sungut. Ia tak menduga, akan diganti sebagai penguasa Antara demikian cepat. Gus Dur memutuskan mengganti Parni beberapa pekan lalu, dan menggantikannya dengan wartawan dari luar Antara. Budiarto Danujaya, seorang wartawan senior Kompas, yang akan dibantu Tahi Simbolon alias Parakitri, akan memperbaiki kinerja dan citra Antara yang buruk. Di mata pers dunia, Antara tak lebih dari corong rezim penguasa Indonesia, bukan sebuah kantor berita yang independen yang laporan-laporannya pantas dipercaya. Makanya, banyak media asing tak menggunakan Antara sebagai bahan berita mengenai Indonesia, melainkan menggunakan berita kantor-kantor berita asing seperti Reuters, AFP, AP dan sebagainya. Bukan hal yang mengejutkan jika Antara menjadi corong penguasa Orde Baru (Pemerintahan Soeharto plus Pemerintahan Habibie). Di mata Antara Pemerintah Soeharto itu baik-baik saja, dan berhasil dalam pembangunan. Nah, ketika terjadi chaos di Timor Timur selepas jajak pendapat, Antara adalah alat propaganda yang dipakai, baik oleh TNI maupun oleh Pemerintah Habibie, untuk mengabarkan kebohongan. Misalnya, Antara adalah kantor berita pertama yang memberitakan bahwa pasukan Interfet membakar sejumlah anggota milisi di Pelabuhan Dili. Berita yang kemudian dikutip sejumlah media massa di Indonesia itu sumbernya hanya para milisi yang berhasil melintasi perbatasan. Berita ini jelas tak berdasar, dan hampir mustahil, pasukan Interfet melakukan tindakan seperti itu. Propaganda lainnya, misalnya tentang tuduhan kecurangan yang dilakukan UNAMET, juga gencar dilancarkan Antara. Antara memang tak independen. Dan, Gus Dur ingin membuatnya independen, Maka, langkah pertama adalah menggusur Parni Hadi. Parni adalah wartawan yang di zaman Soeharto amat menjilat kekuasaan. Bersama para tokoh PWI, seperti Tarman Azam, ia ikut menindas wartawan lainnya yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi wartawan ini lahir setelah pembredelan Tempo, Editor dan Detik pada Juni 1994. Parni adalah pengurus PWI ketika itu yang mendukung keputusan penguasa Soeharto membredel tiga media itu. Waktu itu, Tempo dibredel karena membuat Menristek dan Ketua Umum ICMI, B.J.Habibie kebakaran jenggot. Tempo membongkar skandal pembelian sejumlah kapal perang eks Jerman Timur yang ketika itu dijalankan Habibie. Nah, Parni saat itu adalah sekundanya Habibie di ICMI. Parni diangkat jadi Pemimpin Redaksi Republika, koran milik ICMI juga karena kedekatannya dengan Habibie. Ketika Habibie jadi Presiden dan membentuk kabinet baru, Parni sempat sesumbar akan jadi Menteri Penerangan menggantikan Alwi Dahlan. Namun, ia kalah oleh desakan tentara yang mengajukan Letjen Yunus Yosfiah. Ketika itu pula, Parni mencoba mendekati AJI. Ia bahkan datang ke acara Ulang Tahun AJI pada Agustus 1998. Habibie tergusur dalam pemilihan presiden tempo hari. Dan, sebagai antek, Parni memang harus ikut tersingkir. Agak lama sebenarnya kalangan pers menunggu keputusan Gus Dur untuk mengganti Parni. Namun baru bisa dilakukan Gus Dur setelah beberapa bulan memerintah. Parni memang pantas out dari Antara. Bulan lalu, di zaman yang anti korupsi ini, Parni masih sempat membuat surat edaran ke media-media massa di Indoensia, agar jika ingin memasang iklan ucapan ulang tahun untuk Antara (13 Desember lalu), iklan itu dikirim ke Harian Republika, lengkap dengan daftar harganya. Sejumlah pemimpin redaksi mentertawakan cara ini masih dilakukan di zaman seperti ini. "Kalau di zaman Soeharto sih kita bisa maklum. Tapi zaman Gus Dur?" ujar seorang pemimpin redaksi. Nah, selama ini (hingga kini masih), Antara diberi hak monopoli penyalur berita-berita dan foto-foto dari kantor-kantor berita asing. Media massa di Indonesia tak bisa membeli langsung berita atau foto dari kantor-kantor berita asing, namun harus melalui Antara dengan dipungut fee. Dengan cara kotor inilah, Antara menghidupi over head cost-nya. Rupanya, Parni tak rela digusur-gusur dari Antara. Lalu, ia mengadu ke Amien Rais, Ketua MPR yang dulu adalah "kawan" Parni di Republika dan ICMI. Amien adalah salah satu redaktur ahli di Republika. Dulu, Amien secara rutin menulis rubrik Resonansi di harian itu. Parni melapor, ia digusur orang yang didatangkan Gus Dur dari luar menejemen Antara. Amien tampaknya gusar juga pada Gus Dur. Apalagi, Parni meniupkan isu bahwa Antara akan di-Kompas-kan. Tahu artinya? Ya, benar dikristenkan. Dan, isu murahan ini digunakan orang-orang Antara untuk menolak Budiarto dan Parakitri. Dengan isu ini, Parni agaknya ingin menyentil sintimen lama Amien agar tergerak menolong Parni untuk tetap berkuasa di Antara. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html