Precedence: bulk


Dini S. Setyowati:

                          PUTRA FAJAR
                          (lanjutan)

     SEMENTARA desas-desus mengatakan, bahwa Sukarno memang
selalu lemah terhadap segala sesuatu yang berbau Jepang. Lebih
buruk lagi bahkan dikatakan, Sukarno selalu membudak saja pada
"Saudara Tua" itu.

     Apakah benar begitu? Kasto seorang kawan dekat Sukarno,
sudah sejak jauh sebelum jaman perjuangan fisik. Karena itu
Kasto tahu benar, betapa penuh resiko Sukarno memainkan
taktiknya. Ia harus berhadapan dengan balatentera yang baru
turun dari Gunung Fuji, dan yang sedang berjaya di seluruh
medan perang melawan Sekutu. Kasto juga mengerti benar,
pertimbangan strategis apa maka Sukarno mengambil langkah yang
demikian itu.

     Banyak orang menuduh Sukarno seorang kolaborator. Apalagi
di kalangan orang Barat, khususnya Belanda. Tapi teman-teman
Sukarno yang benar-benar mengenalnya dari dekat, tidak satu
orang pun meragukan jiwa patrotiknya.

     Serbuan Jepang ke seluruh kawasan Asia Tenggara dimulai
dalam akhir tahun 1941. Tapi penelitian yang seksama terhadap
situasi kawasan itu sudah sejak lama dilakukan oleh Jepang.
Terutama terhadap kawasan negara-negara jajahan, termasuk
jajahan Belanda dan Inggris. Hal yang justru mendapat
perhatian Jepang ialah gerakan nasional di negara-negara
jajahan tersebut. Dengan pemahamannya terhadap cita-cita dan
arah gerakan nasional negara-negara jajahan, maka Jepang
mempropagandakan perang penaklukannya sebagai perang
pembebasan terhadap penjajahan. Tindakan ofensif pembebasan
dari penjajahan, oleh Saudara Tua terhadap Saudara Muda, demi
terciptanya kemakmuran di seluruh Asia Timur Raya. Bebas
merdeka dari penjajahan Barat. Jepang tampil sebagai kesatria
Samurai, pembela keadilan yang telah lama dinanti-nantikan
bangsa-bangsa terjajah.

     Balatentera pendatang dari Negeri Matahari Terbit yang
tidak diundang ini, di dalam siasatnya sudah memperhitungkan
gelora perasaan dan semangat rakyat yang ingin merdeka. Dikaji
dan ditangkapnya semangat perlawanan rakyat terhadap bangsa-
bangsa penjajahan di negeri masing-masing, untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan mencapai ambisinya sebagai "pemimpin" Asia
Timur Raya.

     Di mana-mana, di negeri-negeri jajahan di Asia Tenggara,
niat buruk kaum militeris Jepang itu tidak segera diketahui.
Juga rakyat di Hindia Belanda tidak. Sebagian besar mereka
bahkan menyongsong kaum agresor dari negeri Matahari Terbit
ini sebagai pahlawan, yang datang dengan hati suci untuk
membantu rakyat negeri-negeri jajahan melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.

     Situasi psikis massa yang jenuh dengan penderitaan, dan
dibuai oleh impian tentang keadilan dan kemakmuran yang
demikian itu, dimanfaatkan dengan amat pandai oleh Jepang.
Ditiupnya berbagai ramalan tentang jaman Kalabendu yang akan
segera berakhir, dan jaman Ratu Adil sudah datang di ambang
pintu. Dibangunnya mitos, bahwa pohon waru pun sekarang
condong ke timur laut, dan bahwa putih biji jarak sekarang
terletak di bawah. Di mana-mana, balatentara jago-jago kate
itu, disambut dengan seruan "Dai Nippon Banzai!"

     Pada tahun 1942 Jepang menjanjikan hak otonomi kepada
bangsa Indonesia, dan bahkan "kemerdekaan 100% di kelak
kemudian hari". Tetapi untuk itu dituntut syarat. Yaitu
meningkatkan perlawanan terhadap "musuh bangsa Asia", Inggris
dan Amerika, di bawah panji-panji Tiga-A: Nippon Pelindung
Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia!

     Dikelabui siasat-siasat yang lihai, dan dibuai janji-
janji yang manis itu rakyat Indonesia menjadi teperdaya.
Mereka tidak segera pandai melihat musuh di dalam selimut
sendiri, apalagi segera bangkit melakukan perlawanan. Walaupun
demikian, pengalaman-pengalaman pahit yang datang silih
berganti dari hari ke hari, akhirnya membukakan mata rakyat.
Maka terbukalah kedok Jepang sebagai Saudara Tua, dan
tampaklah wajah sebenarnya yang bengis fasistis dan agresif
militeristik.

     Tahun-tahun pendudukan Jepang merupakan masa gelap yang
penuh penindasan dan penghisapan tuan penjajah baru. Teror
merajalela di mana-mana tak henti-hentinya. Segala yang
bernada Indonesia dan berwarna tradisi setempat secara
sistematis ditolak dan dibersihkan. Kamp-kamp tahanan penuh
sesak, barisan-barisan pekerja rodi romusha terus mengalir.
Puluhan ribu orang-orang muda Indonesia dikirim sebagai
pekerja paksa ke negara-negara tetangga, seperti Burma,
Muangthai, Indochina untuk membangun bangunan-bangunan
prasarana perang. Banyak dari mereka yang mati kelaparan atau
diserang wabah penyakit. Jika ada sedikit yang berhasil
melarikan diri, mereka kembali ke kampung halaman dalam
keadaan kesehatan yang mengenaskan.

        SESUDAH Jepang berhasil menginjakkan kakinya di bumi
Indonesia, langkah pertama yang dilakukannya ialah mendekati
para pemimpin pergerakan nasional. Terutama Jepang sangat
tertarik pada diri Sukarno, yang pada saat itu sudah tampil
sebagai tokoh legendaris di seantero negeri jajahan. Pada
waktu Jepang mendarat, Sukarno masih di Padang, kota tempat
pembuangannya. Sukarno sendiri benar-benar dalam kedudukan
yang sangat berat dan sulit untuk mengambil keputusan yang
tepat. Rakyat menaruh harapan dan kepercayaan kepadanya.
Sesudah Belanda angkat kaki, di satu pihak rakyat menunggu
tindakan kongkret yang hendak diambil pemimpin kepercayaannya
itu, di lain pihak Jepang tentu ingin menggunakan demi
kepentingannya.

     Tetapi Sukarno tidak gentar menghadapi situasi itu. Dari
tempat pembuangannya ia mengikuti proses perkembangan perang
dunia dengan seksama. Meskipun ia tidak mengalami langsung
sepak terjang fasis Jerman dan Jepang, tetapi secara akal
sehat ia menolaknya. Ia juga mengetahui bahwa rakyat tidak
langsung menangkap tipu muslihat Jepang. Karena itu tidak akan
mungkin pada saat itu membangkitkan rakyat, dan mengajaknya
untuk bergerak melakukan perlawanan. Maka ia sampai pada
keputusan nekad, mengikuti dan masuk ke dalam permainan
Jepang.

     Janji-janji hadiah muluk Saudara Tua tentang kemerdekaan
Indonesia di kelak kemudian hari, diketahuinya benar hanyalah
isapan jempol belaka. Tapi suara lidah panjang Sang Samurai
itu dipegangnya kuat-kuat. Dengan kata lain, ia bersedia
bekerja sama tapi bukan tanpa syarat. Syarat itu ialah
perjuangannya yang selama itu terputus, oleh karena ditangkap
dan diasingkan Belanda, bisa diteruskan. Perjuangan Sukarno
tidak lain yaitu untuk mencapai Indonesia Merdeka dengan
kedaulatan internasional. Syarat Sukarno itu terpaksa tidak
bisa ditolak oleh Jepang. Jepang yang sampai saat itu masih
hendak meneruskan perangnya, berambisi merampas Indonesai
sebagai negeri yang kaya raya dengan bahan mentah. Tetapi jika
Jepang berjanji tentang kemerdekaan Indonesia di kelak
kemudian hari, maka yang dimaksud sebagai negara merdeka ialah
sebagai negara yang berotonomi dengan pemerintah boneka. Dan
dalam hubungan ini, bagi mata Jepang, Sukarno dilihatnya bisa
menjadi anak yang patuh.

SAAT itu musim semi tahun 1942.

     Sejak perundingan ber-vivere peri coloso dengan beberapa
laksamana Jepang, yang berlangsung di bekas tangsi Belanda,
mulailah Sukarno dengan permainannya sebagai anak patuh
Jepang. Sukarno dihadapkan pada soal yang maha sulit. Yaitu
bagaimana bisa menjelaskan kepada rakyat Indonesia, yang
sepanjang riwayat perjuangannya menjadi titik pangkal dan
tumpuannya, bahwa langkah permainan yang diambilnya bukanlah
suatu langkah kolaborasi. Tetapi merupakan satu manuver
politik taktis.

     Pulang dari berunding, ia kembali ke Padang. Di kalangan
partainya, PNI, hanya ada satu orang yang saat itu paling
dipercaya olehnya. Seorang cendekiawan. Itulah Drs. Mohamad
Hatta. Kepada dialah Sukarno menceritakan siasatnya dalam
berhadapan dengan Jepang. Tidak mungkin hal itu diumumkan
secara terbuka di dalam partai. Karena kalau diumumkan, pasti
akan terdengar oleh telinga Jepang. Dan kalau itu terjadi,
pasti akan berlanjut dengan tindakan eksekusi terhadap
dirinya.

     Dengan demikian mulailah suatu babak perjuangan baru bagi
Sukarno. Perjuangan setengah legal dan setengah konspiratif.
Bentuk perjuangan semacam ini, baik secara lahiriah maupun
mental sangat berat. Karena harus siap menghadapi banyak
risiko, banyak kesalahpahaman, banyak pengorbanan menyedihkan
yang seringkali harus disaksikannya dengan mata kepala
sendiri. Tanpa daya untuk mengulurkan tangan pertolongan.

     Babak perjuangan baru ini juga menciptakan polarisasi di
dalam kekuatan kaum pergerakan. Dalam memperjuangkan cita-cita
yang sama untuk kemerdekaan bangsa dan tanahair, mereka
memilih jalan masing-masing yang berbeda-beda. Gerakan
revolusioner kaum buruh dan tani mengalami pukulan berat.
Apalagi sudah sejak jaman penjajahan Belanda gerakan ini
menjadi sasaran utama dari teror pemerintah jajahan.  Banyak
aktivis mereka mati dibunuh, dan tidak sedikit juga yang
hilang tak tentu rimba mereka. Walaupun begitu pemerintah
Belanda tidak berhasil menumpas mereka. Di bawah penindasan
dan syarat-syarat yang berat kaum komunis bekerja keras secara
ilegal. Segera sesudah Jepang masuk, terbentuklah kelompok-
kelompok perlawanan yang baru. Pemuda, mahasiswa, buruh pabrik
dan perkebunan, begitu juga buruh tani, ikut menggabungkan
diri untuk mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan.

     Sudah barang tentu tujuan perjuangan kaum Komunis itu pun
sejalan dengan tujuan perjuangan Sukarno dan kaum nasionalis:
Mencapai Indonesia Merdeka.  Akan tetapi sudah pada ketika itu
juga mereka menghubungkan cita-cita kemerdekaan Indonesia
dengan cita-cita pembangunan masyarakat yang berkeadilan
sosial. Masyarakat tanpa klas penindas, di mana rejeki dibagi
sama rata.

     Perjuangan revolusi nasional merupakan langkah pada babak
pertama. Sedangkan langkah berikut yang harus mereka teruskan,
ialah memasuki babak revolusi sosialis. Dengan demikian
sesudah kaum penjajah asing angkat kaki dari bumi Indonesia,
jalan perjuangan mereka akan berpisah dari jalan perjuangan
Sukarno. Jelas Sukarno akan menempuh jalan bersama klasnya,
yaitu burjuasi nasional, pemilik kapital nasionalis dan kaum
agama.

     SEJATINYA perlawanan revolusioner yang nyata, sehingga
menyebabkan Jepang semakin kewalahan di medan perang dan di
pedalaman, dilakukan kelompok-kelompok bawah tanah yang
dipimpin oleh kader-kader Komunis. Gerbong-gerbong kereta api
meledak berderet-deret, depo-depo penyimpanan senjata, amunisi
dan logistik militer didinamit atau dibakar, produksi barang
di pabrik-pabrik disabot, terowongan-terowongan penggalian
bijih tambang ambruk runtuh didinamit.

     Polisi rahasia dan polisi keamanan Jepang, Kempeitai,
sudah kehilangan orientasi menghadapi  aksi-aksi sabotase yang
tak kunjung habis dan selalu tak terduga itu. Bersamaan waktu
itu mantan para pemimpin PNI, di bawah pimpinan Sukarno,
bekerja keras menyusun program permainan sandiwara dan
mencalonkan kader-kader untuk pemerintah Indonesia di bawah
pengawasan Jepang.

     Ketika itu Sukarno sudah yakin benar, bahwa Jepang tidak
akan keluar sebagai pemenang dari "Perang Suci Asia Timur
Raya". Tentara Sekutu akan memukulnya sama sekali, dan pada
saat itulah akan datang kesempatan bagi Sang Merah Putih untuk
berkibar bebas di atas bumi Indonesia. Tentang ini ia bahkan
sudah meramalkannya, dalam salah satu karangannya, pada saat
udara Perang Pasifik mulai kemelut. Karena itu, untuk
menghadapi saat bersejarah tersebut, PNI harus siap dengan
kader-kadernya yang sanggup mengatur adminsitrasi negara yang
baru berdiri. Sementara itu kelompok revolusioner meneruskan
gerakan bawah tanah di seluruh negeri.

     Sukarno sudah siap dengan langkah berikut.

     Dia akan menyambut hasrat pemerintah militer Jepang di
Jawa, untuk membentuk pasukan cadangan di garis belakang,
yaitu yang disebut Pasukan Pembela Tanah Air atau PETA. Satu
pasukan yang, dalam pikiran Sukarno, bisa menjadi embrio
terbentuknya tentara nasional Indonesia di kemudian hari.
Untuk sementara PETA ini akan ditugasi membantu Jepang
menciptakan ketertiban situasi, dan menjaga stabilitas
keamanan negara. Pasukan inilah yang kelak, dalam pikiran
Sukarno, bisa menjadi embrio bagi terbentuknya tentara
nasional Indonesia, yang akan menjadi inti bagi struktur
pertahanan Indonesia yang merdeka.

     Sukarno sendiri yang memilih tokoh-tokoh untuk
membantunya dalam menyusun pasukan sukarela itu. Para calon
perwira pasukan ini dicarinya dari kalangan burjuasi nasional,
seperti orang-orang muda keturunan ningrat, anak-anak tuan
tanah besar atau kecil, intelektuil Islam dan anak-anak
saudagar pribumi.

     Jepang mengawasi gerak-gerik Sukarno dengan curiga. Tapi
tidak bisa berbuat apa-apa. Situasi medan perang berkembang
terus memburuk bagi pihaknya. Sedangkan di garis belakang,
langkah-langkah Sukarno pada kenyataannya masih berjalan
menurut selera mereka. Sebaliknya di kalangan kaum pergerakan
sendiri, Sukarno terus-menerus dikritik dan dicacimaki oleh
mereka yang tak mengerti manuver taktiknya itu. Hujatan dan
tuduhan yang tak kunjung henti dan tak ditutup-tutup itu
justru menguntungkan Sukarno di mata Jepang. Sukarno aktivis
konspiratif yang berhasil memainkan sandiwara permainannya.
Cacimaki dilemparkan kepadanya, terutama karena ia - antara
lain - menyokong pengerahan dan pengiriman romusha ke negara-
negara tetangga Asia Tenggara; juga pengerahan dan pengiriman
perempuan muda dari berbagai daerah ke bordil-bordil, untuk
melayani kebutuhan seks serdadu-serdadu Jepang.

     Tuduhan-tuduhan itu, entah benar atau salah, tidak
dilayani oleh Sukarno. Yang penting baginya, bagaimana menjaga
agar kepercayaan Jepang kepadanya tidak berkurang, sebaliknya
bahkan semakin mantap. Dalam kata-kata tersamar yang selalu
diulang-ulangnya ketika itu Sukarno menegaskan:

     Bahwa jalan perjuangan selalu menuntut pengorbanan, yang
seringkali sangat besar. Inilah yang selalu kita rasakan
paling berat. Tapi niscaya jalan inilah yang akan mengantar
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan ...*** (BERSAMBUNG)

(ed.:  Hersri)

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke