Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 02/III/22 - 30 Januari 2000 ------------------------------ SAAT PERS MEMPRODUKSI PROVOKATOR Oleh: Iwan Dharmakirti (OPINI): Munir, Koordinator Kontras yang terkenal itu sempat kesal membaca berita-berita di koran. Kekesalannya berkenaan dengan pernyataan Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat yang bernada skeptis pada pemerintahan Gus Dur karena tak mau memberlakukan keadaan darurat militer di Maluku. Munir menganggap itu berbahaya, lantaran sebagai bagian dari TNI, tak seharusnya pernyataan semacam itu diungkapkan. Tak sampai di situ kekesalan Munir, ia pun menyalahkan wartawan yang terlalu gampang meminta komentar pada orang yang tidak tepat. "Sebagai Kapuspen, ia hanya boleh menyampaikan soal internal TNI. Wartawan juga suka bikin ulah sih. Masih suka menanyakan soal politik pada Sudrajat," ujar Munir. Rasa kesal Munir beralasan. Bukan dalam konteks pernyataan Sudrajat saja. Pada hampir setiap peristiwa yang muncul bergantian, kebanyakan wartawan memang selalu menampung aneka macam komentar, tak peduli apa latar belakang dan spesialisasinya. Munculnya gejala verbalisme yang tidak proporsional. Kalau situasi negara dalam keadaan normal, barangkali tidak ada salahnya orang bicara terlalu banyak --paling banter dianggap orang gila. Tapi, dalam situasi masyarakat yang amat peka dan mudah bereaksi, tentu tak bijaksana mempersilakan orang-orang menjadi "provokator", meskipun mereka sendiri mungkin tak sadar. Akibatnya bisa runyam. Dalam kasus Ambon misalnya, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Happy Hendrawan dari Kontras setahun silam, salah satu penyebab berlarut-larutnya konflik di Ambon adalah karena pemberitaan pers yang diterima masyarakat setempat, justru memperkeruh suasana. Media massa tertentu cenderung menyudutkan kelompok muslim, yang lain lagi menyudutkan kelompok kristen. Keduanya sama-sama suka mengutip pendapat figur-figur yang partisan. Tak ada yang melarang orang untuk bicara. Tapi, membiarkan orang terlalu banyak bicara, selalu membawa kerugian. Bagaimanapun, untuk menyelesaikan masalah diperlukan tindakan, bukan melulu ucapan. Kegemaran berbicara justru bisa menghasilkan ketidakpekaan. Hal inilah yang tidak dirasakan oleh sebagian besar kita ketika Gus Dur memutuskan untuk menyelesaikan persengketaan PLN-Paiton Energy melalui jalur lobi. Dalam kasus Paiton, PLN terlanjur berada dalam situasi dilematis. Mengikuti kontrak yang ada, jelas akan merugikan PLN yang keuangannya sudah payah. Membatalkan kontrak berarti mengambil risiko berhadapan dengan negara-negara investor yang justru saat sekarang perannya amat dibutuhkan negara untuk mengatasi krisis. Dengan menggunakan lobi, yang akan diusahakan adalah win-win solution. Supaya tak ada yang dipermalukan. Cara lobi, biasanya lebih berhasil. Yang dihindari dari kasus ini, sebetulnya, adalah pusat perhatian dan komentar-komentar berbagai sumber yang tak pernah berhenti. Semakin banyak yang memperhatikan dan memberikan penilaian, kedua belah pihak terkait akan makin ngotot untuk menyatakan diri paling benar. Akibatnya, tak ada jalan tengah yang bisa ditempuh. Sadar atau tidak sadar, pers, sebagai corong pendapat, telah membuka jalan masuk bagi berbagai kegaduhan selama ini. Menarik untuk mendengar pendapat Parulian Manullang, redaktur Media Indonesia. Menurutnya, di tengah-tengah kekacauan seperti sekarang ini, sebaiknya para tokoh lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Wartawan pun sebaiknya lebih banyak memberitakan fakta dari pada sekedar opini simpang siur. Susahnya dengan pers sekarang, banyak yang sengaja mencari-cari sensasi. Untuk sebagian media massa, hal ini terkait erat dengan usaha mereka agar bisa survive di tengah-tengah krisis yang belum juga berakhir. Untuk meraih pelanggan seluas-luasnya, sejumlah surat kabar berani tampil dengan judul-judul sensasional. Sebut saja Rakyat Merdeka atau Harian Terbit. Kedua media ini sering menggunakan opini figur tertentu sebagai judul headline --hal yang lama-kelamaan dianggap wajar oleh masyarakat pembaca. Sebetulnya, di kalangan wartawan, banyak juga yang sudah menyadari misorientasi media massa tempat mereka bekerja. Namun, sulit bagi mereka untuk membebaskan diri dari kungkungan hirarki dan senioritas yang begitu kuat mencengkeram. Apalagi, bila mereka berada dalam lingkungan media yang jelas-jelas telah mengambil sikap partisan pada kelompok atau ideologi tertentu. Jangan dulu bicara media semacam Sabili dan media lain yang masih baru. Yang cukup populer semacam Republika pun, sudah dikenal partisan sejak pertama kali terbit. Harian ini sering menggunakan opini untuk memancing reaksi pembacanya. Seperti ketika menempatkan ucapan Gus Dur sebagai headline, berkaitan dengan kerusuhan di Maluku: "Korban Galela Hanya Lima." Tentu tidak semua kesalahan harus ditimpakan pada pers. Kegemaran bicara belakangan ini, harus diakui juga disebabkan euphoria demokrasi yang mendadak meluap mengikuti gerakan reformasi yang dibidani oleh mahasiswa. Selama puluhan tahun di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru, pers berada di bawah ancaman pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) bila secara eksplisit mengungkap fakta-fakta yang ada. Akibatnya, sejumlah media massa mengungkap fakta secara hati-hati. Sampai-sampai muncul istilah to read between the line atau membaca apa yang tersirat. Sejumlah media lain memilih menjadi jurubicara penguasa. Ketika datang era keterbukaan, dengan sendirinya muncul luapan informasi. Semua orang ingin bicara. Pers yang selama ini terkekang, sebagian juga ingin bicara. Caranya, menggunakan mulut para sumbernya dan menggarisbawahi ucapan-ucapan yang selaras dengan sikap para pengelola media. Pers kita kini, memang seperti "Taman Kanak-Kanak", mirip para anggota DPR ketika berada dalam forum dengar pendapat dengan Gus Dur beberapa bulan lalu. Semua berbicara tapi tak memperhitungkan dampak dari yang dibicarakan --sebagian lagi malah tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Masa ini adalah saat paling menentukan bagi kedewasaan pers Indonesia. Kalau tak ingin terus-terusan ketinggalan kelas, sudah saatnya pers tampil lebih baik. Jangan dulu berharap bahwa pers Indonesia bisa langsung menampilkan berita-berita investigatif dan komprehensif. Investigasi biayanya tak murah, bung! Untuk mendidik wartawan agar bisa menulis berita investigasi biayanya sungguh besar. Sementara gaji wartawan kita termasuk paling memprihatinkan di ASEAN. Jadi bisa dibayangkan sendiri kualitas macam apa yang dimiliki rata-rata wartawan kita saat ini. Karena itu, kalau memang terpaksa hanya bisa menampilkan berita opini, prinsip cover bothside sudah semestinya jadi acuan. Dalam situasi sekarang, ketika orang dapat dengan mudah terpancing, pers semestinya menampilkan informasi dan opini yang bisa menjernihkan suasana. Cukup sampai di sini kita memproduksi "provokator".Saatnya mengajak orang untuk mau mendengar. Rasanya, kesadaran semacam ini harganya tak mahal, kan? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html