Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 02/III/22 - 30 Januari 2000 ------------------------------ DULANG RUPIAH DARI PEMILU LOKAL (EKONOMI): Setelah kalahkan Sri Bintang dalam bursa calon Ketua PPL, Agus Miftach ajukan anggaran 220 milyar rupiah. Dana Pemilu 1999 belum dipertanggungjawabkan. Setelah the six million dollar man kini ada 'manusia 220 milyar'. Rupiah memang, tetapi terbilang sangat besar. Bedanya jumlah uang sebesar itu bukan untuk merubah manusia menjadi bertulang baja. Justru kebalikannya, diusulkan oleh politisi-politisi bermuka setebal baja. Simak saja rekap rancangan biaya penyelenggaran pemilu lokal tahun 2000 yang diajukan Panitia Pemilu Lokal (PPL) KPU. Total anggaran dibagi masing-masing untuk ongkos pusat sebesar 99,7 milyar rupiah dan daerah 117 milyar. Selain itu dianggarkan dana cadangan sebesar 3,2 milyar rupiah. Dalam situasi ketertatihan bangun dari krisis ekonomi, jumlah sebesar itu dinilai masyarakat sebagai pemborosan belaka. Memang betul demokrasi tidak gratis, tapi masakan tidak ada solusi efektif dan hemat biaya. Salah-salah memunculkan trauma tersendiri atas mahalnya ongkos memetakan aspirasi. Angka di atas dijumlah dari beberapa pos pengeluaran. Berturut-turut meliputi uang jasa kerja (Rp 5,9 milyar), belanja barang (Rp 49,2 milyar), biaya operasi (Rp 29,8 milyar) dan biaya lain-lain mencapai 14,9 milyar rupiah. Sejauh ini Ketua PPL Agus Miftach hanya berkilah bahwa semua berdasar masukan dari para gubernur, bupati dan walikota bersangkutan. Ia juga keberatan menjelaskan beberapa sub item dalam beberapa pos terutama pengeluaran untuk uang jasa kerja. Rincian pengeluaran uang jasa kerja mencakup uang kehormatan/tunjangan untuk penasehat/pimpinan/anggota PPL (Rp 1,6 milyar) dengan masa kerja 11 bulan sejak Nopember 1999, sekretariat PPL (Rp 2,5 milyar) selama 13 bulan sejak Nopember 1999 dan uang lembur selama 13 bulan sebesar 345 juta rupiah. Dua item lain dalam pos ini adalah uang duka sebesar 40 juta rupiah dan jaminan keselamatan kerja PPL dan sekretariat selama 6 bulan masing-masing 1 juta (yang berarti sama dengan Rp 1.392.000.000). Indikasi mark up dana tertera juga dengan adanya rancangan belanja untuk membeli alat pendukung pemilu lokal. Terdiri dari: radio SSB (292 unit), komputer PC pentium dengan printer Epson (39 unit), mesin tik manual double folio (379 unit), faksimili (49 unit), kalkulator (19.409 unit), handy talky (500 unit), dan telepon selular berikut kartu perdananya sebanyak 500 unit. Pertanyaannya, dikemanakan perlengkapan yang pernah dibeli pada pemilu nasional Juni lalu? Apa iya mesti membeli baru dengan biaya 12,3 milyar rupiah? Ini masih belum ditambah dengan niatan membeli kendaraan roda empat sebanyak 75 unit dengan harga tiap mobil mencapai 95 juta rupiah. Ada pula rencana pembelian 290 unit kendaran roda dua dan speed boat sebanyak 26 unit. Sejatinya niat menyelenggarakan pemilu lokal patut dipertanyakan. Undang-undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu faktanya tidak memuat satu ketentuan pun mengenai hal ini. Bahkan istilah pemilu lokal sama sekali tidak dikenal. Dalam UU itu hanya termaktub mengenai pemilu susulan dan pemilu ulangan. Untuk ini pun UU menegaskan selambat-lambatnya 30 hari setelah hari pemungutan suara dilangsungkan. Artinya? "Mestinya terhitung 30 hari sejak 7 Juni 1999-lah pemilu susulan dan atau ulangan dilangsungkan". Demikian pernyataan bersama beberapa organisasi pemantau pemilu di Jakarta (19/1). Sementara alasan yang dikemukakan Ketua Panitia Pemilu Lokal (PPL) Agus Miftach adalah konsekuensi dari pemekaran wilayah. Seperti diketahui terdapat 16 propinsi termasuk Maluku Utara sebagai propinsi baru mengalami pemekaran wilayah. Padahal UU yang mengatur status DPRD I dan II di wilayah termekarkan belumlah keluar. Peraturan pemerintah yang memuat ketentuan aturan tambahan tentang pemilu lokal juga sama sekali nihil. Dengan kehampaan legitimasi, toh Agus Miftach tetap nekat. Di acara talk show "Indonesia Baru" yang dipandu pengamat politik Eep Syaefulloh Fatah, Miftach berargumen aspirasi rakyat di daerah "baru" tersebut harus diwakili. "Demokrasi juga harus dirasakan oleh mereka, bukan?" tukas Miftach. Menimpali pernyataan Agus, anggota KPU Andi Malarangeng malah meminta agar KPU menyelesaikan dulu laporan pertanggungjawaban proses pelaksanaan pemilu, 7 Juni 1999. Menurut Mallarangeng, semua anggota KPU menjadikan pengalaman itu sebagai suatu pelajaran. Hingga tidak ada lagi mimpi buruk tentang kinerja KPU di masa mendatang. Malarangeng menambahkan kalau pemilu lokal mau dilaksanakan lembaga KPU perlu direstrukturisasi dulu. Anggota-anggota KPU harus berasal dari kalangan non-partisan dan independen. Tap MPR Nomor IV tahun 1999 kan meminta begitu? Selama ini terbukti, sikap partisan anggota KPU hanya menyebabkan terjadinya perdebatan berlebihan. "Mimpi buruk" Malarangeng tampaknya merujuk pada keterlambatan KPU menetapkan hasil pemungutan suara meski teknologi yang digunakan paling canggih dalam sejarah pemilu Indonesia. "Kepentingan politik pula yang menjadi akar terjadinya perubahan peraturan penetapan kursi oleh KPU," lanjut Malarangeng. Kendati pemungutan suara telah selesai dilakukan. Sementara biaya evaluasi pelaksanaan pemilu 1999 sendiri menelan biaya sebesar 1,4 milyar rupiah. Dari gedung di Jalan Imam Bonjol itulah pernah terdengar rumor perebutan proyek-proyek KPU. Siapa memenangkan tender pasokan komputer, tender iklan layanan dan sebagainya. Masakan sekarang mata air yang sama hendak didulang ulang. Kok tidak kering-kering ya? (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html