Precedence: bulk ISTIQLAL (31/1/2000)# DHAHAR KEMBUL Oleh: KH Cholil Bisri Kecuali tempat ibadah bagi agama yang dibolehkan hidup di negeri ini, Masjid Agung Ngayogyakarta juga peninggalan budaya dan warisan arsitektur abad 18 yang sangat bernilai. Andaikata peninggalan tak ternilai itu sampai terbakar, betapa menyakitkan dan alangkah ruginya Indonesia. Siapa pun pelaku pembakaran dan yang menaruh bahan peledak disana, pastilah dia setan yang terkutuk. Taruh kata, pelakunya mengaku beragama Islam dengan maksud agar umat Islam marah besar (atau cuek saja), maka pastilah dia makhluk yang tidak berhati dan sangat patut disebut sebagai muslim sesat yang sedang kehilangan iman. Karena orang beriman tentu tahu, Gusti Allah melarang dan tidak suka kepada orang yang berbuat kerusakan di atas bumi. "Wa laa ta'tsau fil ardli mufsidiin". Dan jangan kamu berkeliaran di atas bumi dengan berbuat kerusakan. SQ.II:60 (dan lihat pula SQ VII:73, XI:84, XXVI:183, XXIX:36 atau SQ II:11, XII:27, XXVI:152, XXVII:48 dan seterusnya). Jika ada yang berprasangka, pelaku pembakaran itu tidak hanya bermaksud membuat kerusakan. Lebih dari itu dia (atau mereka) tentu sedang membangun provokasi, berbuat namiimah dan menumbuhkan kebencian antarumat beragama. Berarti dia (atau mereka) telah berusaha mengoyak-ngoyak integrasi dan kerukunan di antara warga bangsa. Dia (atau mereka) dengan demikian telah mengufuri nikmat Allah. "Fa kafarot bi an'umi l-Laha fa adzaaqoha l-Lahu libaasa l-ju'l wa l-khaufi bimaa kaanuu yashna'uun". Lalu (ahli) qoryah itu mengufuri nikmat-nikmat Allah. Maka Allah mencicipkan kepadanya pakaian lapar dan rasa takut (rasa lapar dan rasa takut membungkus habis sekujur tubuh mereka seperti pakaian yang membungkusnya) disebabkan oleh apa yang mereka perbuat. QS.XVI:112. Bahkan lebih dari itu, dia (atau mereka) - boleh jadi - sedang berdaya upaya untuk menamatkan Indonesia. Orang yang punya prasangka begitu, tidak salah. Andaikata umat Islam marah besar dan - secara serampangan - menduga pelaku perusakan itu orang-orang di luar Islam, lalu dengan serampangan pula melakukan "pembalasan", apakah tidak hancur-hancuran negeri ini. Apakah ada rasa yang dapat dinikmati. Apakah ketakutan dan rasa takut bisa dicegah. Masya Allah. Bayangkan. Jika ada yang berdalih, semua kejadian yang menyakitkan dan melukai nurani bangsa ini hanyalah sebuah "akibat" dari akumulasi "sebab-sebab", apakah harus ditoleransi kerusakan yang ditimbulkan? Jika benar "ontran-ontran" yang sangat merugikan banyak orang itu akibat dari keterlambatan penanganan, geliat ketertindasan yang lama, pesta kebebasan yang harus dipuasi sepuas-puasnya, atau balas dendam yang harus impas, apakah cucuk (sepadan) kehilangan yang dialami dengan kerugian dan ketakutan berkepanjangan yang diderita. Jika benar bayaran harus sesuai dengan harga jual, apakah tindakan antem krama dan "nggebyah uyah padha asine", sudah dianggap pantas dan begitu seharusnya? Apakah sebagian dari masyarakat-bangsa ini sudah terjangkiti penyakit qulub qosiyah (hati nan mengeras, sekeras granit), sampai-sampai tega menindas orang-orang tertindas, sehingga musti memelaratkan orang-orang yang papa, hingga mentala menyakiti orang-orang yang telah lama sakit dan melukai orang-orang yang telah sengsara? Kang Jalil mengatakan kepada saya yang dia tidak habis pikir melihat, mendengar dan membaca perilaku para elite. Mereka yang dengan sadar menerima amanah untuk "menjaga" negara yang merdeka berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ini, mengapa berkesan "rebut pengaruh". Saling sindir dan sepertinya mereka tidak pernah duduk semajelis untuk membincangkan urusan amanah, urusan ummah. Saling menganggap dirinya paling benar adalah kesan paling mengemuka, meski - mungkin - tidak demikian adanya. Padahal bukan tidak mungkin, mereka itu bisa menemukan titik temu dan menentukan diagnosis yang tepat untuk menyembuhkan penyakit "krisis", manakala mereka menyempatkan diri duduk-duduk bareng, sambil berkelakar dan tertawa-tawa lebar seperti layaknya saudara lagi bercanda. Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bung Akbar, dan Kang Wiranto (bisa ditambah dengan Kang Matori, Pak Hamzah, Om Hartono, dan Bang Muhibuddin), boleh melupakan jabatan mereka masing-masing untuk - sekali-sekali - dhahar kembul satu tembor seperti apa yang pernah dilakukan oleh kiai-kiai pesantren ketika bernostalgia atau petinggi-petinggi masa lalu dengan golf. Saya berkeyakinan, jika itu dilakukan niscaya persoalan bangsa bisa dijawab dengan segera. Bukankah tidak ada persoalan dunia yang tidak bisa dipecahkan. Mangga. Wallahu a'lam-lah. *) KH Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien, Leteh, Rembang (Artikel ini disadur dari harian Suara Merdeka, Semarang, Senin, 31/1/2000) ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html