Oleh
 : DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A   
Seseorang
 yang tidak mampu membeli rumah secara tunai, biasanya akan membelinya 
secara kredit lewat Bank, karena Bank biasanya memiliki produk kredit 
yang bisa dimanfaatkan untuk membeli rumah. Nama produk ini adalah KPR 
(Kredit Pemilikan Rumah). Gambarannya adalah jika harga rumah tersebut 
adalah Rp 140 juta, maka orang tersebut harus harus membayar dulu berapa
 persennya, umpamanya membayar dulu 60 juta cash. Pembayaran ini oleh 
pihak Bank Konvensional dianggap sebagai uang muka (Down Payment = DP). 
Kekurangannya sebesar 80 juta terpaksa dia meminjam ke bank. Bank 
Konvensional langsung membayarnya ke developer rumah. Hutang tersebut 
harus dia bayar ke pihak Bank secara berangsur. Cara menghitung cicilan 
adalah dengan cara melihat berapa besar hutangnya, lalu setiap bulan 
ditambah dengan bunga sekian persen. Bulan depannya begitu juga 
seterusnya, setiap ada sisa hutang langsung ditambah bunga sekian 
persen. Dan begitu seterusnya sampai lunas. Umpamanya dia harus membayar
 80 juta itu selama 15 tahun, setelah dihitung-hitung, maka setiap 
bulannya dia harus membayar 1 juta. Sehingga kalau dikalkulasikan 
berarti dia harus membayar ke bank sebanyak 180 juta. Itupun bisa 
berubah-rubah tergantung pada naik-turunnya suku bunga.
Transaksi
 seperti ini termasuk bagian dari riba yang diharamkan oleh Islam. 
Karena dia meminjam uang ke bank sebanyak 80 juta dan harus 
mengembalikannya sebanyak 180 juta, atau bahkan lebih. Dalam konsep 
Islam orang yang meminjam 80 juta, maka yang dikembalikan juga harus 80 
juta. Inilah yang dimaksud dengan istilah Qardhun Hasan (Pinjaman yang 
Baik) karena memang pinjaman itu pada dasarnya adalah untuk membantu, 
bukan untuk mencekik. Berbeda dengan yang dilakukan Bank sebagaimana 
dalam kasus KPR, secara lahir, kelihatannya Bank sebagai pihak yang 
membantu, tetapi pada hakekatnya bank hanya ingin mencari untung. Kalau 
begitu bagaimana solusinya yang halal, jika kita memang butuh kepada 
rumah tersebut sedang uang muka tidak mencukupi?
Ada 
beberapa solusi, diantaranya adalah kita meminjam uang untuk membayar 
kekurangan tersebut kepada pihak tertentu yang mau meminjamkan uang 
tanpa bunga. Jika tidak mendapatkannya, maka kita bisa pergi ke Bank 
Syari’ah. Di Bank Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit 
berbunga, tetapi dengan cara jual beli yang halal atau menurut istilah 
Arabnya adalah (Bai’ al Murabahah li al Amir bi as Syiraa’). 
Mekanismenya adalah kita memesan pada Bank Syari’ah agar membelikan 
rumah yang kita inginkan dari developer. Kemudian pihak Bank Syari’ah 
membeli rumah tersebut dari developer, lalu Bank Syari’ah tadi menjual 
lagi rumah tersebut kepada kita dengan cara mencicil. Biasanya dengan 
harga yang lebih tinggi daripada harga beli dari developer.


Di Bank
 Syari’ah, transaksinya tidak menggunakan kredit berbunga, tetapi dengan
 cara jual beli yang halal atau menurut istilah Arabnya adalah (Bai’ al 
Murabahah li al Amir bi as Syiraa’)

Tetapi 
setelah dihitung-hitung ternyata harganya hampir sama atau bahkan lebih 
tinggi dari pada harga jika kita berhutang lewat Bank Konvensional 
dengan program bunga KPR. Kalau begitu apa bedanya membeli lewat bunga 
KPR dengan membeli lewat Bank Syari’ah, jika akhirnya harga yang harus 
dibayar sama?
Kalau 
kita mau meneliti dengan seksama, antara keduanya ada 
perbedaan-perbedaan yang menyolok, diantaranya:
Pertama:
 Dalam bunga KPR, pihak Bank Konvensional hanya meminjamkan uang dan 
tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika
 pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya. Sedang cara yang kedua, 
status Bank Syari’ah adalah sebagai pedagang, karena Bank membeli 
langsung dari pihak developer secara penuh. Setelah rumah tersebut 
dibeli oleh Bank Syari’ah, secara otomatis rumah tersebut menjadi milik 
Bank secara penuh. Kemudian kita baru membelinya dari Bank secara 
berangsur. Seandainya terjadi apa-apa, seperti gempa atau banjir 
sehingga rumah tersebut tiba-tiba hancur sebelum diserahkan kepada kita,
 maka pihak Bank yang menanggung resikonya. Berbeda dengan Bank 
Konvensional, yang tidak mau menanggung resiko apapun jika terjadi 
apa-apa, karena status rumah tersebut memang bukan miliknya.

Perbedaan: 
Bank Konvensional bukan pemilik rumah, 
sementara bank syariah sebagai pemilik rumah karena telah membelinya 
dari developer.
Jika sebelum dibeli, rumah hancur atau 
rusak Bank syariah akan bertanggung jawab, ikut menanggung resiko. 
Berbeda dengan bank konvensional, tidak mau menanggung resiko.
Transaksi di Bank Syariah adalah jual 
beli biasa, tidak riba. Sementara kredit rumah di bank konvensional akan
 terlibat riba.

Kedua:
 Ketika membayar cicilan di dalam Bank Konvensional kita akan terkena 
riba. Sedang dalam Bank Syari’ah transaksi yang dilakukan tidak 
melibatkan bunga, tapi jual beli biasa. Keterangannya adalah bahwa harga
 rumah dalam Bank Syari’ah sudah jelas, umpamanya 240 juta dengan 
dicicil selama sepuluh tahun. Maka tiap bulan dia membayar 2 juta, tidak
 berubah sampai lunas. Sedang dalam Bank Konvensional pembayaran tiap 
bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik-turun tidak karuan. Jika 
suku bunga bank naik, maka kredit yang sudah berjalan pun ikut 
disesuaikan. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga 
baru yang lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar.
Yang 
jelas, sistem yang digunakan oleh Syariah Islam jauh lebih unggul dan 
lebih aman, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Dan kepada siapa saja 
yang sudah terlanjur membeli rumah dengan sistem bunga KPR (Kredit 
Pemilikan Rumah) di Bank Konvensional bisa memindahkan KPR tersebut ke 
Bank Syariah. Mudah-mudahan Allah membimbing kita kepada jalan-Nya yang 
lurus. (PurWD/voa-islam.com)
* Penulis meraih gelar Doktoral dalam 
bidang Syariah dari Universitas Al Azhar, Kairo, tahun 2007.



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to