Kesalahpahaman tentang pemahaman (manhaj).

Berikut ini tulisan merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, 
kesalahpahaman tentang generasi terbaik, 
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/

Suatu kesalahpahaman lainnya yang telah berlarut-larut dan masih terjadi sampai 
zaman modern ini adalah kesalahpahaman tentang pemahaman (manhaj).  
Kesalahpahaman yang telah membuat umat muslim kebingungan, dalam keraguan dan 
bahkan menimbulkan konflik antara umat muslim sendiri.

Sebagian muslim atau kaum muslim mengikuti pemahaman  ulama Muhammad  bin Abdul 
Wahab, ulama yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah. Mereka disebut kaum 
Wahabi atau Salaf(i).

Kesalahpahaman terjadi karena mereka menyatakan bahwa pemahaman mereka adalah 
sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Mereka mengatasnamakan pemahaman mereka 
sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh. Lihat tulisan pada  
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/01/atasnama-salaf/

Kita sebaiknya tidak mengatasnamakan pemahaman kita atau kaum kita pada muslim 
lainnya atau kaum muslim lainnya. Kita harus tegas mengatakan atau mengakui 
sebagai pemahaman kita atau sebagai pemahaman kaum kita.  Begitu juga harus 
tegas mengatakan atau mengakui sebagai penafsiran kita, yang umumnya mengikuti 
nama yang menafsirkan atau yang memahaminya. Contoh Mazhab Syafi'i, Manhaj 
Asy'ariah, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir , Tafsir Buya Hamka dll.

Bagaimana pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh menjadi termasuk perihal yang 
ghaib karena waktunya sudah berlalu (Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu 
atau kejadian yang terjadi pada zaman dahulu, yang mana kita tidak hidup 
sezaman dengannya. Sehingga kita tidak bisa melakukan konfirmasi (temu-muka) 
akan pemahaman mereka sesungguhnya.

Apa yang kita lakukan adalah upaya pemahaman (ijtihad) terhadap tulisan, 
riwayat, lafadz, nash Al-Qur'an , Hadits, riwayat atau perkataan Salafush 
Sholeh, yakni para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan juga 
pemahaman-pemahaman ulama–ulama terdahulu.

Upaya pemahaman yang telah dilakukan dan disampaikan kepada muslim lainnya atau 
kaum muslim lainnya harus diakui oleh orang yang melakukan pemahaman  yang 
kelak harus mempertanggungjawabkan di akhirat nanti.  Kita tahu apapun lisan 
maupun tulisan kita harus mempertanggung jawabkan di akhirat nanti. Apalagi 
pemahaman kita menjadi dasar amal atau perbuatan muslim lainnya.

Oleh karenanya pemahaman dengan sistem guru-murid secara temu muka atau lisan, 
turun temurun (memperhatikan sanad/keterhubungan), sistem peng-ijazah-an pada 
suatu thariqah lebih baik dibandingkan pemahaman yang digali berdasarkan 
tulisan atau tekstual semata.

Bayangkan kemungkinan distorsi yang terjadi antara ulama Muhammad bin Abdul 
Wahab dengan ulama Ibnu Taimiyah yang terpaut ratusan tahun zamannya. Oleh 
karananya saya katakan bahwa ulama Muhammad bin Abdul Wahab, "mengangkat 
kembali" metode pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan dicampur dengan pemahaman 
pribadi beliau sendiri.

Jadi harus kita katakan dengan tegas dan mengakui bahwa  apa yang telah 
dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahab ataupun ulama Ibnu Taimiyah adalah 
pemahaman mereka masing-masing

Sehingga jika kita menemukan perbedaan pemahaman, kita masing-masing harus 
memutuskan dengan merujuk kepada  Al-Qur'an dan Hadits.

Kenapa saya katakan masing-masing pribadi yang memutuskan, karena kita 
bertanggung jawab pada pemahaman kita masing-masing, tidak bisa kita 
membebankan tanggung jawab kepada orang lain yang telah mengutarakan 
pemahamannya.  Pemahaman adalah dasar dari sebuah amal / perbuatan. Di akhirat 
nanti kita tidak bisa mengatakan bahwa perbuatan kita didunia dikarenakan buah 
dari pemahaman si fulan

Firman Allah,

"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang 
yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan 
antara mereka terputus sama sekali." (QS al Baqarah [2]: 166)

"Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke 
dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas 
diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal 
perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan 
keluar dari api neraka." (QS Al Baqarah [2]: 167)

Oleh karenanya, jika kita mengeluarkan sebuah pemahaman, kita wajib 
mengingatkan orang yang menerima pemahaman itu  untuk selalu merujuk pada 
Al-Qur'an dan Hadits.

Kesalahpahaman lain yang berhubungan dengan kesalahpahaman diatas adalah 
kesalahpahaman memahami hadits berikut,

Nabi bersabda yang artinya, "Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad 
ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah,  yang satu masuk surga  
dan yang lain masuk neraka".
Berkata para Sahabat : " Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya 
Rasulullah ?"
Nabi menjawab : (nama firqah) .

Kita dapat menemukan matan nama firqah yang berbeda  pada hadits atau riwayat 
lainnya.

Sebagian umat muslim "menggunakan" hadits di atas sebagai "keputusan" bahwa 
jama'ah  mereka adalah firqah "yang satu masuk surga". Bahkan lebih keji dengan 
menyatakan bahwa diluar jamaah mereka adalah sesat, ahlu bid'ah dan kafir. 
Naudzubillah min zalik.

Sangat berbahaya jika mengukur, menilai saudara muslim atau jamaah lainnya 
dengan batasan ukuran ilmu atau pemahaman kita sendiri, karena sesungguhnya 
tingkat pemahaman muslim terhadap agama adalah sangat berbeda-beda tergantung 
anugerah / karunia yang telah Allah berikan.

Sebagaimana firman Allah yang artinya, "Allah menganugerahkan al hikmah 
(kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang 
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah 
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang 
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)" (Al-Baqarah – 269).

Kita harus menghormati perbedaan pemahaman saudara-saudara muslim lainnya.

Hadits-hadits, riwayat-riwayat yang senada dengan di atas , kita pergunakan 
untuk selalu sadar dan merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Sebaiknya kita harus meyakini bahwa "keputusan" atau hasil bahwa "firqah yang 
masuk surga" adalah hak Allah sedangkan hak manusia hanyalah pada proses, upaya 
atau ikhtiar pemahaman semata.

Sedangkan petunjuk Allah dalam al-Qur'an  tentang kaum yang dicintaiNya ada 
dalam firmaNya  yang artinya,

"…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan 
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang 
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan 
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah 
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha 
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maidah: 54)

Pada zaman modern ini, malah kita dapatkan menemukan suatu kaum yang bersikap 
keras kepada orang muslim dan berlemah-lembut kepada orang-orang kafir. Kitapun 
dapat menemukan para penguasa negeri yang muslim namun seolah-olah  keras/tegas 
terhadap rakyatnya yang muslim dan tetap melanjutkan perjanjian dengan 
orang-orang kafir untuk mengolah anugerah Allah yakni hasil bumi, pertambangan 
dll.

Padahal Allah telah memperingatkan  kita lewat firmanNya yang artinya,

"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap 
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik" (Al 
Maaidah: 82).

Kita harus berupaya untuk termasuk kedalam kaum yang Allah cintai itu

Bagaimana agar kita  atau kaum kita dicintai Allah ?

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa'ad As-Sa'idy — radliyallahu `anhu, ia berkata: 
Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan 
berkata: "Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku 
beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia." Maka 
Rasulullah menjawab: "Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, 
dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan 
mencintaimu." (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Selengkapnya tentang zuhud, silahkan baca tulisan pada,

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/zuhudlah-di-dunia/

Inti dari zuhud itu adalah menjadi muslim yang memahami dan menjalankan seluruh 
pokok-pokok dalam ajaran agama Islam secara menyeluruh (kaffah), sebaiknya 
tidak menolak/meningkari satu pokokpun. Pokok-pokok ajaran dalam Islam yakni, , 
Islam (rukun Islam, fiqih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin), Ihsan (akhlak,  
Tasawuf).

Upaya untuk menjadi muslim yang terbaik, muslim sholeh, muslim berakhlakul 
karimah, muslim yang ihsan atau muhsin/muhsinin yakni muslim yang dapat 
seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa segala perbuatan 
di lihat Allah.

Muslim yang sholeh, sebagaimana Tauladan  kita, Junjungan kita, Nabi Muhammad 
shallallahu alaihi wasallam ketika mi'raj dan bertemu dengan para Nabi 
terdahulu disambut dengan sambutan "Saudaraku yang sholeh", "Nabi yang sholeh" 
atau "Anakku yang sholeh".

Begitu juga ketika mi'raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta`ala, Nabi 
Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, "Assalaamu'alaina wa'alaa 
`ibaadillaahish shoolihiin" yang artinya  "Keselamatan semoga bagi kami dan 
hamba-hamba Allah yang sholeh".  Do'a yang selalu kita baca pula setiap sholat.

Muslim yang sholeh yakni muslim yang selalu sadar dan mengingat Allah. Setiap 
perilaku kita / akhlak kita harus dengan mengingat Allah, seluruh waktu kita 
penuh berinteraksi dengan Allah.

Berinteraksi dengan Allah dengan cara berinteraksi dengan firman-firmanNya 
yakni Al-Qur'an. Seluruh perbuatan / akhlak kita harus selalu sesuai dengan 
tuntunan Al-Qur'an dan Hadits

"Dengan kitab (al Qur'an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti 
keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah 
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang 
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus" (QS-al 
Maaidah [5]: 16).

"Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang 
bertaqwa" (QS Al-Baqarah [2] : 2).

"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk 
orang-orang yang ragu"(QS  al Baqarah [2] : 147)

"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang 
telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang 
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quraan itu 
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali 
termasuk orang yang ragu-ragu" (QS al An'aam [6]: 114)

Wassalam

Zon di Jonggol
http://mutiarazuhud.wordpress.com

Kirim email ke