Abdullah ibn Umar - Sahabat Rasul, Sahabat Malam
Diposting pada Selasa, 17-02-2009 | 15:55:45 WIB

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke 
atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya 
saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama 
ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad 
tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah 
(Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan 
perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibnu Umar.

Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang 
jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang 
tergoda memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi 
itu dengan mempertegas dirinya sebagai contoh gaya hidup zuhud dan salih, 
menjauhi kedudukan tinggi.

Ibnu Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan 
berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal 
salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibnu Umar mendapat 
karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia pulang, dan 
bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja 
yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua 
malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di 
neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka," 
begitulah diungkapkan Ibnu Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, 
Hafshah, keesokan harinya.

Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW 
bersabda:

"ni'marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru",

akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat 
malam dan banyak melakukannya.

Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibnu Umar tak pernah meninggalkan qiyamul 
lail, baik ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan shalat, 
membaca Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai 
ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar 
ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.

Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada 
Abdullah ibnu Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya:

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang 
saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai 
saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang 
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat 
menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun."

Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.

Pada kesempatan lain, Ibnu Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca 
QS 83:-6 yang maknanya:

Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-orang 
yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi 
mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah 
mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang 
dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.

Lantas Ibnu Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu 
lirabbil 'alamiin", ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. 
Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa 
duka mendalam dan banyak menangis.

Abdullah ibnu Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan 
begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila 
ia mendengar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia 
lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun 
di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari 
sudut matanya.

Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena 
mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi 
kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika 
pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.

Dermawan

Bagaimana mungkin Ibnu Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia 
pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak 
karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. 
Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, 
tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibnu Umar hanya 
sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.

Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju 
dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat 
Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan berutang. Maka 
Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman 
(maksudnya Ibnu Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju 
dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya? "Tidak 
sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, 
mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah tak lagi 
memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu, Ibnu Umar 
bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab keluarga Ibnu 
Umar.

Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak 
tinggi dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap 
dunia. Lihatlah Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, 
lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya 
makanan secara berutang."

Kedermawanan Ibnu Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi 
mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau 
golongan melarat kerap diajaknya makan bersama-sama. Ia pernah menyalahkan 
anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. 
"Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan 
orang-orang kelaparan."

Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam 
kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibnu Umar. Sifat santunnya, terutama 
kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk 
menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibnu Umar, dengan harapan 
mereka akan terlihat oleh Ibnu Umar dan diajak ke rumahnya.

Hati-hati

Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. 
Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak 
berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua 
pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun 
menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara 
jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".

Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan qadi, tapi Ibnu Umar menolak. 
Semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.

"Apakah antum tak hendak menaati perintahku?"

"Sama sekali tidak. Hanya saja, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: 
pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang 
mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad 
sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi 
tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar 
dibebaskan dari jabatan itu."

Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibnu Umar tak menyampaikan 
alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi 
salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah 
demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang takwa dan salih.

Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibnu Umar masih melihat di antara 
sahabat Rasulullah masih banyak yang salih dan wara' yang lebih pantas memegang 
jabatan itu. Ibnu Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan sampai berakibat 
jatuhnya posisi qadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.

Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar 
Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika 
mendapat serangan mematikan dari Abu Lu'lu'ah. Dalam keadaan terluka parah, 
sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul Mu'minin, 
bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan 
menggantikan engkau?"

"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku 
akan tunjuk dia sebagai pengganti." Salah satu sahabat berkata, "Saya akan 
menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar."

"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan 
itu. Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah 
dan dari keluargaku aku seorang diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang 
akan ditanya tentang hal-hal mengenai umat Muhamad saw ini."

Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para 
sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun 
memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang 
terdiri dari beberapa orang, dan orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang 
yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini, dan 
orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah 
Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 
Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."

Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibnu Umar hanya berhak 
memilih, tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai 
mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan 
luas ilmunya, wara', dan memiliki kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, 
Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.

Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap 
dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan qadi yang 
kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.

Syahid setelah Mengingatkan Penguasa

Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di 
Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah 
cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat 
terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang 
tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.

Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut 
ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang 
memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut 
para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di 
Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi 
berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi 
banyak diungkapkan penduduk Madinah.

Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah 
dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak 
setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara 
sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari 
para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.

Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan 
menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari 
Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut 
tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia 
juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada 
Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi 
ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama 
Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan 
sunni.

Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya 
ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, 
Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur 
Mu'awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di 
masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada 
di masjid itu.

Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan 
kesabaran Ibnu Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, 
Ibnu Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, 
"Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau 
meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj 
menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu 
Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang 
sudah pikun."

Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam 
Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau 
beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, 
Ibnu Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibnu Umar tak menjawab. 
Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi 
Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.

Ibnu Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab 
sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn 
Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara' 
dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman 
ketika Ibnu Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.

Menghindari Jabatan, Anti kekerasan

Benar, Ibnu Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh 
suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah 
sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai 
kelompok politik untuk menjadi khalifah.

Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat 
Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, 
"Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai'at 
kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa janganlah 
ada walau darah setetas tertumpah disebabkan daku." Massa di luar mengancam. 
"Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam 
begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.

Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn 
Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa 
paksaan. Jika bai'at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah 
ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara 
semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah 
terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang 
kesal lantas menghardik Ibn Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali 
engkau."

"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku 
berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut 
Ibnu Umar heran.

"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."

"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain 
tidak."

Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski 
demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibnu Umar tetap 
ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. 
Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda 
adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."

"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"

"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."

"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang 
manusia yang terbunuh disebabkan olehku."

Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.

"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan 
yang kuat lagi perkasa." Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn 
Yazid.

Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para 
pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa 
yang berkata 'Marilah salat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju 
kebahagiaan', akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah 
membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya' aku katakan: tidak!"

Ini bukan karena Ibnu Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat 
sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. 
Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. 
Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan 
pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu 
berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh 
menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.

Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun 
yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak 
mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar tak 
mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang 
menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di 
pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan 
atasku menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193, perangilah mereka itu 
hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas 
semata-mata karena Allah.

Ibnu Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik 
hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? 
Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari 
pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi 
Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha 
illallah"? 

http://www.muslimdaily.net/artikel/islami

Reply via email to