Identitas Karo
   
  Beberapa kali saya membaca atau pernah juga mendengar dari beberapa 
psikoterapist memaparkan soal kematengan atau kedewasaan seorang manusia. Ada 
yang berkesan dan ada juga yang sangat berkesan sangat dalam bagi saya. Salah 
satu misalnya bahwa kedewasaan adalah kalau sudah melewati ’batas’ (threshold) 
kehadiran. Atau dengan perkataan lain, orangnya betul-betul hadir ditempat, 
hadir seluruh jiwa raga, tidak hanya fisik, seperti ’kebiasaan’ orang Karo yang 
mengatakan "gelah enggo idah kalak kita je, pedahna saja ngenca". Apakah 
kehadiran seperti ini harus dilaksanakan, bagi orang Karo kelihatannya harus, 
karena dengan demikian maka yang bersangkutan akan selamat dari bakal kritikan 
atau tuduhan macam-macam lainnya dibelakang hari. Hal ini bagi orang Karo 
sangat penting sesuai pula dengan sifat-sifat Karo yang mementingkan ’kedalam’ 
artinya penderitaannya bisa lebih besar dibandingkan dengan maksud kritikan itu 
sendiri, apalagi bagi yang melontarkan keritik pun kadang-kadang
 hanya asal lepas saja tanpa pikir atau tanpa ’prasaann’. 
  Tentu bisa juga beragam penafsiran atas pernyataan ’batas’ (threshold) 
demikian, apa lagi kalau dihubungkan dengan latar belakang tiap orang, secara 
pengalaman maupun pengetahuan. 
   
  Hari Minggu 9 Des 07 saya menyaksikan Tari Pisosurit yang dipentaskan oleh 
grup penari Perkumpulan Indonesia di Göteborg Swedia pada pesta Perayaan Natal 
2007 Perkumpulan itu. Apalah tari pisosurit bagi orang Karo, sudah biasa 
melihat atau mendengar, dan tari yang boleh dikatakan bukan baru juga. Bagi 
saya sebagai orang Karo dan satu-satunya pula orang Karo yang menyaksikan 
pertunjukan itu, jadi banyak pilihan bagaimana saya menempatkan diri sebagai 
penonton diantara hadirin dan penonton lainnya yang jumlahnya cukup banyak 
memenuhi seluruh ruangan pesta. 
   
  Ada persamaan saya dengan yang lain-lain, sama-sama merasa gembira menikmati 
lagu, tari dan terutama pakaian adat Karo yang dibawakan penari-penari yang 
sangat lemah lembut dan dengan lagu yang lemah lembut pula (tipical Karo). 
Perbedaannya juga sungguh banyak terutama bagi saya, dan sebagai orang Karo, 
hanya saya pulalah yang mengetahui perbedaan itu, karena latar belakang tadi, 
pengalaman, pengetahuan dan sejarahnya. Dari satu segi, saya bisa melihat tari 
pertunjukan pisosurit ini seperti biasa saja, tidak ada tambahan yang baru. 
Tetapi sebaliknya rasanya tidak puas kalau melihat begitu saja dan selesai. 
Saya sendiri juga tidak mengerti mengapa datang pikiran demikian. ’Katakanlah 
dan ceritakanlah pengalamanmu sendiri, dari situ kau bisa mengembangkan dirimu 
sendiri’, sering juga saya dengar. Ini biasa juga dikatakan refleksi diri. 
Betulkah demikian? Yah, sering juga ada benarnya, misalnya sering kita 
mengatakan, ’ah mengapa saya tadi tidak berbuat sebaliknya’ atau
 ’mengapa saya sebutkan kata-kata yang bodoh itu’. Jeleknya ialah bahwa kita 
sering selesai disitu saja, atau dpl tidak ada kelanjutan, sudah tidak ada 
energi untuk membikin analisa yang lebih luas, artinya tidak ada perkembangan 
atau sudah menyetop kemungkinan perkembangan diri sendiri. Bisakah saya 
mengembangkan diri dari sini? Peristiwa yang sederhana ini? Hanya salah satu 
dari puluhan peristiwa harian tiap hari. 
   
  Tari Pisosurit adalah salah satu pencerminan budaya Karo, menunjukkan 
identitas Karo dari sudut budaya/kesenian. Identitas mempunyai kekuatan, the 
power of identity, bisa disalurkan untuk membantu perkembangan diri, Karo 
maupun masyarakat, setidaknya dalam rangka pengetahuan umum orang Indonesia 
tentang budaya banyak suku negeri kita. Ketika seorang teman mengatakan tari 
itu dari Kalimantan, ada teman lain cepat bereaksi mengatakan yang sebenarnya, 
tari Pisosurit adalah tari Karo dari Sumatra. Ada lagi yang mengatakan tari 
Batak Karo, yang juga cepat diperbaiki oleh yang lain (bukan Karo) bahwa tari 
itu adalah tari orang Karo bukan Batak atau Batak Karo dan bahwa Batak tidak 
sama dengan Karo. 
   
  Saya merasakan hasil jerih payah orang-orang Karo selama ini di Eropah sudah 
menunjukkan hasil, kekuatan identitas Karo terlihat ada, berdiri sendiri dan 
tidak jadi bayangan kekuatan identitas Batak seperti ratusan tahun pengalaman 
yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial (100 tahun Karo sinik). 
   
  Dalam menyksikan tari Pisosurit diatas salah satu hadirin yang turut 
menikmati dan bangga adalah Duta Besar RI di Swedia Ibu Linggawati Hakim, 
spesial datang dari Stockholm bersama rombongannya. Sama dengan hadirin 
lainnya, Bu Duta melihat tari itu asyik sekali dan juga dapat penjelasan 
asal-usul tari itu. Dalam pidatonya juga mengatakan bagaimana pentingnya 
menjaga kelestarian budaya-budaya etnis sebagai jembatan keakraban bagi 
multi-etnis Indonesia dalam perkembangannya kedepan. 
   
  Bujur ras mejuah-juah
  MUG
   
   
  Catatan:
  Dalam pembicaraan Ketua Perkumpulan dengan Ibu Duta Besar, telah disepakati 
bahwa Perwakilan Indonesia menyanggupi memberikan sumbangan atau membelikan 
perlengkapan tari (pakaian adat Karo) dari Indonesia dengan bantuan Deplu di 
Jakarta. 
  Bagi teman-teman milis yang bisa memberikan informasi dimana bisa dibeli 
pakaian tari adat Karo bersama harga belinya, sudilah kiranya memberitahukan, 
atau bisa langsung berhubungan dengan Deplu soal pakaian adat Karo di Swedia, 
atas persetujuan Perkumpulan Indonesia di Göteborg dengan Duta Besar RI di 
Swedia Ibu Linggawati Hakim. Perkumpulan Indonesia di Göteborg mengucapkan 
terimakasih sebelumnya.
   
  MUG an Perkumpulan Indonesia di Göteborg
   
  --

       
---------------------------------
Låna pengar utan säkerhet.
Sök och jämför hos Yahoo! Shopping.

Reply via email to