On Tue, Oct 25, 2005 at 02:07:10PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> Saya takut hasilnya kan aneh!

semua 'orang perguruan tinggi' akan takut. ini alami.
semua pejabat akan takut. ini juga alami.

ceklis belum ada kok sudah takut duluan Pak :-)

> Anehnya adalah karena tanpa masukan, menghasilkan produk :D
> Banyak kegiatan di perguruan tinggi (at least di tempat saya)
> yang tidak ada dana pendukung (aka dari kantong sendiri) dan
> menghasilkan keluaran. Bagaimana cara ngukurnya?

jangan kasuistik dong. de facto dan de yure, yang namanya ijasah itu
menjadi bagian dari kehidupan bernegara. mau tidak mau oknum PT terlibat
dalam hal ini. kalau ada concern, ayo dibuat aturan mainnya soal
pengukuran public accountability. kalau reaksinya berujud: takut,
kuatir, atau lebih jelek menghakimi bahwa tidak akan bisa, nah .. itu
baru ruwet :-)

> Bisa, tapi akan sukar karena intake (masukan) ke PT sudah
> melempem. Wong nanya saja nggak bisa (atau nggak mau?)!

ini mirip bangsal kebidanan dan bangsal anak kalau dirumah sakit,
orang kebidanan cenderung meninggikan apgar score, sedang di bangsal
anak 'sengaja' diturun-turunin. tujuannya satu, biar tidak
disalah-salahkan. plus senjata: jangan mencari kambing hitam :-)

> Punya data soal ini? Atau hanya menduga?

berapa uang gedung masuk ITB, berapa uang SPP, berapa total mahasiswa
yang ditampung, berapa yang dibantu. silakan sebutkan saja Pak.

> Sebagai seorang wali di kampus, setiap semester saya pasti
> tanda tangan permohonan beasiswa dari 2 s/d 5 mahasiswa yang
> berasal dari keluarga miskin. Ada yang bapaknya berpenghasilan
> Rp 700 ribu/sebulan dengan 4 anak!

berapa persen? :-)

> Dalam satu kuliah saya, pernah saya mengajak mahasiswa untuk
> Ada mahasiswa ITB yang hanya makan 2 atau bahkan 1 kali sehari.

saya dulu makan nasi kucing Rp 150,- satu kali sehari (malam, biar bisa
tidur) supaya masih bisa bayar Rp 500,- per jam di rental komputer,
indekos Rp 12.500,-, bayar spp Rp 115.000,-, bayar uang gedung Rp 0,-
itu karena saya di fakultas kedokteran, kalau di teknik lain lagi,
fisipol lain lagi, kemungkinan lebih murah.

sekarang bisa gitu? turu kebon ... lantas orang mencari excuse bahwa
dulu murah kan karena disubsidi. lah .. subsidi itu sudah dipakai berapa
puluh tahun. kok kagak ada bedanya BBM vs PT(N). waktu itu, kalau tidak
kuliah di PTN, angon wedhus Pak. itu soal subsidi, belum soal hak
eksklusif PTN, yang sudah jadi anggota DPR/MPR masih membimbing
mahasiswa, berikut anomali lain, tapi tetap statusnya diatas
'disamakan'. mestinya statusnya diganti 'diridhoi' :-) belum bbrp guru
besar yang untuk memenuhi statuta PTS, namanya dipajang, dan tetap ada
embel-embel 'profesor'.

gitu Pak. Saya lihat institusi secara keseluruhan, bukan case-by-case,
bukan Budi Rahardjo.

> Bukan karena sibuk, tapi karena gak punya uang.

ada dosen yang +/- setahun ndak pernah ke kampus tapi kerja di
perusahaan swasta. upss.. ini case-by-case ya hi..hi..

> On the contrary, itu solusi buat India.
> Seorang PhD di India hanya bisa jadi sopir taksi.
> Kalau dia ke Silicon Valley, dia punya chance lebih besar
> daripada sekedar sopir taksi.

walah .. saya tidak sedang ngomong kesempatan seorang bajaj bajuri untuk
jadi korup.. eh .. developer kelas kakap di SV. Tapi bagaimana
pengentasan Indonesia dari kondisi yang sekarang. CMIIW, seperti yang
saya sudah berkali-kali bilang: kalau cuman jadi *kacung* IT di SV,
Indonesia akan tetap terpuruk. Indonesia bisa bangkit dengan
pemberdayaan UKM dan sektor pertanian, sukur-sukur bisa merambah export.
seyogyanya semua resources, termasuk perguruan tinggi, mengarah ke situ.

> Pengalaman saya di luar, kerja dan hobby bisa blur.
> Saya masih ingat suatu saat lagi jalan-jalan di Silicon Valley.

saya sedang tidak berbicara sebagai adi atau budi rahardjo sebagai
pribadi. tetapi Indonesia sebagai civil society, punya/butuh aturan main
untuk itu.

> Waktu di Canada pun saya kerja melebihi requirement.
> Bahkan sebelumnya saya kerja voluntir, yang tentunya tanpa
> digaji. Tujuannya hanya satu: get the job done!

ini non-sense untuk pemberdayaan Indonesia.

> Problemnya, lagi-lagi ... kebanyakan orang hanya berteori alias
> ngomong doang. Tidak banyak orang yang rajin menghasilkan isi
> (content) secara lokal.  Detik.com merupakan salah satu yang
> konsisten.  Itulah sebabnya mereka berhasil.

untuk penyamaan visi orang ya harus ngomong Pak. sesekali coba datang
ke, misalnya, kalsel, susuri jalan antara banjarmasin - kota baru, kalau
mulai ada yang hijau-hijau, cari puskesmas. nah kalau ada anak-anak muda
main gitar di situ, seperti rumah biasa, cuman ada plang-nya thok yang
membedakan dari rumah yang lain, jangan kaget kalau yang satu lulusan
akademi gizi, satunya akademi kesehatan lingkungan. nah .. kalau sudah
sampai ke situ, kumpulin orang-orang sekitar, saya kasih tahu dulu,
capek lho Pak, jarak rumahnya *jauh-jauh*, setelah semua terkumpul
bilang ke mereka: GET THE JOB DONE!

jangan terlalu banyak bersemedi, nanti ilmu ginkangnya terlalu tinggi
jadi susah menjejakkan kaki ke bumi. masalah di Indonesia has nothing
todo with silicon valley. kecuali kita sedang membicarakan negara antah
berantah yang lain.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Kirim email ke