Arif Widianto wrote: ... > Oke sih, kalau ada payment gateway untuk industri yang sudah dikenal > reputasinya. Tapi industri online yang besar itu mungkin tidak marak dan > tumbuh kalau online patikelir tidak tumbuh, hal seperti ini mungkin dikenal > dengan istilah Long Tail, revenuenya tidak kalah oleh industri mapan seperti > itu. Bayangkan banyak orang bisa jual sablon kaos yang keren, stiker, > desain, program kecil-kecilan, lelang, tuker-menukar barang, mereka tinggal > bayar model paypal. Transaksi oke, barang diantar. > > Yang jadi masalah kan carding? Kalau micro-payment, saya rasa payment > gateway mungkin tidak ada masalah. Misal, uang realnya ditahan dulu di bank, > baru setelah jumlah tertentu akan ditransfer ke rekening si X misalnya. > Bukan begitu, mohon koreksi... > > Seandainya pay.indo.com misalnya bisa mewujudkan micro-payment di indonesia, > wooa alangkah senangnya.......
Sabar... sabar... ;-) Kita coba masuk satu-per-satu. Untuk yang mau jualan sablon kaos, ukiran, batik, dsb, kita tawarin dulu lewat http://shop.rajacraft.com. Biar jadi member dulu di situ, buka toko sendiri, dan pay.indo.com fasilitasi transaksinya. Model ebay lah. Untuk yang partikelir, problem utama untuk payment gateway adalah authentikasi orangnya - how do I know you are who you say you are? KTP gak unique, bank account jaringan pemalsuannya ada, etc. Kalau partikelir A mau transaksi dengan partikelir B dengan menggunakan layanan company C, siapa yang akan menanggung resiko gagal transaksinya si A/B/C? Bayangkan, kita pernah kerjasama untuk infaq saja banyak yang menyumbang pake kartu kredit fraud... Kalo liat diskusi di thread sebelah tentang social network, saya menduga mungkin ada solusi yang bisa muncul dari social network. Misalnya, dalam satu jaringan ada orang yang sudah bisa saling percaya, bahkan dengan transaksi ratusan juta rupiah tanpa bukti transaksi. Kalau Budi Rahardjo vouches for me, harusnya itu kan worth some value untuk credibility thus untuk transaksi. Dan seterusnya. Atau model si Grameen Bank yang terkenal untuk micro creditnya. Yang menerima kredit harus anggota satu komunitas, dan komunitasnya me-recommend. Juga ada "social punishment"-nya kalo si penerima kredit gak bayar/default. Mas Arif punya ide gak untuk problem authentikasi dan building credit rating untuk partikelir ini? Satu konsekuensi bisnis sebenarnya dari persoalan di atas adalah lebih mahal / lebih repot bikin bisnis ini di Indonesia. Dengan effort yang lebih rendah, banyak pasar lain yang lebih bisa/lebih cepat berkembang. Dan rational investor, tentu saja akan lebih memilih pasar yang bisa lebih cepat berkembanganya. Think about that... Cheers, --Eka Ginting indo.com