Punten teu kungsi katarjamahkeun kana bhs. Sunda, mangga bae geura ilo, mai pikareueuseun.
KangYa TTS Penampilan Krakatau di Festival Jazz Toronto Oleh: Franki Raden MUSIM panas sudah setengah jalan, namun udara Toronto masih sering membuat orang menggigil. Untuk anggota Krakatau yang sebagian tinggal di Bandung, mungkin udara seperti ini malah lebih cocok ketimbang musim panas yang biasanya melekit. GRUP jazz kondang Indonesia ini tampil di Toronto di dua tempat yang sangat bergengsi. Pertama, Toronto Jazz Festival (TJF), yang tahun ini menggondol nama-nama besar, seperti Oscar Peterson, Gary Burton, Jean Luc Ponty, Stanley Clark, Al Dimeola, John Scofield, George Benson, Wynton Marsalis, Joey De Francesco, dan Michel Camilo, di samping segudang pemusik jazz lokal yang sangat berwibawa, seperti grup para dosen musik jazz di University of Toronto and York University. Penampilan Krakatau yang kedua bertempat di Royal Conservatory of Music (RCM), sebuah pusat kegiatan musik yang sangat berwibawa di Kanada. Penampilan Krakatau itu merupakan bagian dari Krakatau North America Tour 2004, yang berlangsung di berbagai tempat dari tanggal 3 Juni 2004 sampai 19 Agustus 2004. Di TJF (yang disponsori oleh TD Canada Trust), Krakatau tampil di pusat lokasi festival, yaitu di panggung Nathan Philips Square di depan City Hall. Penampilan grup kondang Indonesia ini memang bukan di panggung utama, tetapi terobosan ini tetap sangat berarti bagi nama baik dunia musik jazz Indonesia. Para penonton yang bersedia terjemur terik matahari di siang hari bolong ini sangat antusias menyambut Krakatau. Sebagian dari mereka malah mengatakan bahwa ini grup musik jazz terbaik yang pernah mereka tonton. Sebagian penonton di RCM juga berkomentar sama. Di RCM malah ada penonton yang datang khusus dari luar kota untuk mendengarkan kilah Krakatau. Yang menarik untuk diamati dari peristiwa ini adalah bagaimana para penggemar jazz (termasuk juga para pemain jazz lokal yang hadir di antara penonton) di kota budaya Kanada ini dapat menikmati musik Krakatau yang sangat problematik. Pertama-tama, tangga nada musik Krakatau dibangun di atas unsur pentatonik Sunda yang mungkin tidak biasa bagi telinga para pencinta musik jazz di Kanada. Di samping itu, ketika musik mereka melantun ke bagian berimprovisasi, tangga nada yang digunakan oleh Dwiki Dharmawan (keyboard), Pra Budi Dharma (bas), Zainal Arifin (bonang multi-laras), Yayon Dharsono (vokal, suling, dan rebab), dan Ubiet (vokal) tidak lagi terdengar seperti musik pentatonik, yang mungkin masih mudah dicerna. Saat itu tangga yang mereka gunakan sudah menjelma menjadi tangga nada yang berjarak serba kecil (microtonal) karena mereka menggabungkan tangga nada slendro, pelog, madenda, dan matraman sekaligus dalam satu oktaf. Konsekuensi dari penggunaan gabungan sistem tangga nada Sunda ini adalah berubahnya ketinggian tiap-tiap nada pada instrumen mereka yang tidak lagi berpatokan pada ketinggian nada internasional (piano). Akibatnya, pada bagian-bagian improvisasi ini secara melodik musik mereka terdengar sangat ruwet, berputar-putar, dan sulit untuk dicerna. Pada dua lagu pertama, penonton di depan panggung Nathan Philips Square tampak masih sulit mengikuti alur dan arah musik Krakatau. Kebetulan repertoar mereka di sini juga tidak membantu. Dramaturgi lagu-lagu mereka pada bagian-bagian awal ini terasa lamban. Apalagi nomor Bebuka yang dimainkan sebagai nomor pembuka memiliki bagian intro yang agak berkepanjangan. Selain itu, mereka juga tidak berhasil mendapatkan balance maupun kualitas suara yang baik sekalipun sudah membawa dua orang penata suara dari Indonesia (atau mungkin justru karena itu?). Musik Krakatau memang menawarkan tantangan baru, tidak hanya bagi para pendengar dan penata suara (yang mungkin tidak biasa dengan instrumen tradisional), tetapi juga bagi para pemain Krakatau sendiri. Dengan bertumpu pada tangga nada pentatonik asli Sunda, musik mereka dengan sendirinya berada dalam wilayah musik heterofonis (multi-layer) gamelan. Sementara itu, lagu-lagu mereka masih diciptakan dengan pola pemikiran musik homofonis (melodi plus akor) Barat. Dwiki dan Pra yang menjadi pemikir Krakatau sadar akan hal ini, tetapi mereka tampaknya belum berhasil menemukan jalan keluar yang pas. Saat ini yang terdengar dari musik Krakatau adalah semacam dualisme. Pada saat memainkan bagian (melodi) lagu, musik mereka menjadi musik pentatonik Sunda yang kental. Namun, pada saat memasuki bagian improvisasi, musik mereka berubah menjadi musik jazz "just intonation" yang sangat mengambang (bukan modal, bukan tonal, dan tidak juga atonal). Dewasa ini sebenarnya perkembangan musik jazz sudah jauh sekali. Beberapa grup jazz, seperti Orchestre National de Jazz de France (yang tampil di panggung yang sama) memainkan musik "jazz" yang merupakan sebuah kolase dari berbagai genre, bak musik John Zorn, tokoh musik eksperimental Amerika yang paling menonjol saat ini. Namun, bedanya dengan Krakatau, sekalipun selalu berubah-ubah, musik mereka memiliki arah dan bentuk yang jelas, tidak mengambang. Kalau kita mendengarkan dengan cermat, musik free jazz semacam Cecil Taylor atau Rosco Mitchell sekalipun masih memiliki kualitas ini. Pandangan saya ini masih didasarkan pada telinga ("modern") sebagai ukuran enak tidak enaknya musik. Barangkali di "era pascamodern" ini para pencinta musik memang harus melaras pendengaran mereka kembali agar bisa mencerna musik-musik yang menawarkan fenomena baru seperti Krakatau. Lepas dari masalah estetika tadi, penampilan Krakatau di TJF sempat mengundang radio jazz kondang di Toronto, Jazz FM, dan kritikus jazz, majalah Jazz Times, yang bergengsi untuk mewawancarai mereka. Pada siaran keesokan harinya di Jazz FM, mereka mengawali hasil pemutaran wawancara tersebut dengan komentar yang mengatakan bahwa "kemunculan Krakatau menandakan bagaimana eklektiknya TJF. Band ini berhasil memukau penonton di hari kedua festival". Yang menarik, penampilan grup yang berikut sesudah Krakatau, yaitu Ron Davis, kadang tampak terbawa ke dalam suasana tangga nada pentatonik Sunda yang digunakan Krakatau. Sebelumnya Ron Davis, pianis jazz kondang Toronto, memang diajak untuk jam session di studio rekaman oleh Krakatau dan sangat mengagumi grup Indonesia ini. Jerih payah Krakatau yang dimotori oleh Dwiki Dharmawan dan Pra Budi Dharma selama 20 tahun ini memang tidak sia-sia. Perjalanan keliling mereka ke bagian utara Benua Amerika (Amerika Serikat dan Kanada) agaknya mendapat sambutan yang menarik. Di Vancouver konon mereka mendapat sukses yang luar biasa. Dari sana saya menerima e-mail dari Pra Budi Dharma yang berbunyi demikian, mas, we were having a blast di Vancouver!! penonton sekitar 4.5000 org with many support dr org2 indo…heboh!! berhubung ini gig terakhir kita main habis2an kebawa emosi penonton…pokoknya semua org seneng, jadi panitia minta kita main lagi tahun depan di vancouver jazz fest. Dengan begitu, saya pikir Krakatau telah berhasil membuka pintu dunia internasional bagi grup-grup jazz Indonesia yang lain. Masalahnya adalah (1) siapa yang sanggup bertahan main dalam satu grup sekian lama? dan (2) siapa yang sanggup tampil dengan gaya musik sendiri, bukan jiplakan dari negeri orang? Franki Raden Profesor di Fine Arts Cultural Studies Program, Faculty of Fine Arts, York University, Toronto, Canada __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/0EHolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas UrangSunda --> http://www.UrangSunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/