Aya sababaraha stereotif negatif ngeunaan US nu asalna ti seler sejen
  1. US teh gengsian;
  2. Lalaki US bareuki kawin;
  3. US mah barudak keneh geus karawin;
  4. awewe US mah tukang dangdan;
  5. "Sunda" teh cenah wancahan tina "Suka Dandan"
  6. US mah cenah elehan, euweuh nanaonna;
  7. aya anu nyarita kieu "Saya sih nggak rela kalo saudara perempuan saya menikah sama pria US";
  8. di daerah sejen aya nu ngalarang anak awewena kawin jeung lalaki US
  9. tatangga kuring ti seler sejen ngomong kieu ka anakna "Jangan kawin sama perempuan US, Perempuan US mah menang tampang doang";
  10. aya nu nyarita kieu "US sih kalo berantem beraninya main belakang (baca : nyantet/neluh)". anu pang gorengna meunang cap tukang neluh teh urang Garut jeung urang Sukabumi;
  11. UJ leuwih kolot tibatan US;
  12. awewe UJ teu meunang kawin jeung lalaki US;
  13. awewe US alus lamun kawin jeung lalaki UJ;
  14. US mah boros cenah.
  15. aya nu ngomong deui cenah kecap "Sunda" teh wancahan tina "Asu Nang Anda";
  16. Pelacur rata - rata US cenah.

Citra Negatif Perempuan Sunda
Oleh CHYE RETTY ISNENDES

ME melontarkan tuduhan yang bisa ditafsirkan lain. Pertama, tuduhan
itu ditujukan pada semua perempuan Sunda karena tidak ada klasifikasi
perempuan Sunda dari golongan mana atau dalam wacana seperti apa.
Kedua, bahwa di balik kecantikan perempuan Sunda itu, katanya,
tersembunyi berbagai sifat negatif, yaitu pemalas, suka bersolek, dan
bergaya seperti orang-orang kaya, serta selalu mengandalkan
pendapatan dari suaminya. Ketiga, selain menuduh, ME juga
memperbandingkan dan mempertentangkan perempuan suku Sunda dengan
perempuan suku lain (Jawa). Disebutkan bahwa perempuan suku Jawa
adalah pekerja, yang baginya bekerja adalah sebuah kehormatan (apakah
dengan tidak bekerja perempuan Sunda tidak punya kehormatan?).
Keempat, ada sinyalemen bahwa perempuan Sunda lebih suka menjual
dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tak halal daripada harus
bekerja!

Parahnya, pernyataan dalam tulisan ME tidak disertai dengan hasil
penelitian yang relevan atau setidaknya pengumpulan angket dari
responden dan penyeimbang wacana, sehingga tulisan itu merusak citra
perempuan Sunda secara keseluruhan. Parahnya lagi, tulisan di ME itu
dimuat pada internet, diketengahkan di dunia maya, yang aksesnya
mendunia. Jadi jelaslah bahwa tuduhan itu dibaca oleh mereka dari
berbagai suku bangsa, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga orang
asing yang mengerti bahasa Indonesia dan akrab dengan dunia maya.
Walaupun, katanya lagi, berita itu sudah dihapus di internet dan
pengelola portal CBN sudah meminta maaf, tetapi berita yang tercetak
di majalah tetap tersebar dan dibaca oleh pembaca yang mewakili
dunianya masing-masing.

Tulisan dalam ME sebenarnya adalah sebuah stereotipe (pelabelan) yang
sengaja dilekatkan pada satu jenis kelamin dan satu suku bangsa
tertentu. Dalam tataran feminisme, ini adalah bentuk lain dari
ketidakadilan gender yang bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua;
stereotipe terhadap perempuan (Sunda) dan stereotipe terhadap suku
bangsa Sunda. Wawancara yang dilakukan oleh ME untuk mendukung
wacananya juga hanya sepintas dan "kejam". Wawancara-wawancaranya
dilakukan hanya pada laki-laki yang tidak jelas kapabilitasnya,
sedangkan perempuan Sunda sendiri tidak diberi kesempatan untuk
membela diri atau setidaknya menjelaskan fenomena yang ada. Sungguh
suatu bentuk lain dari ketidakadilan. Ketidakadilan gender,
ketidakadilan jurnalistik, juga ketidakadilan budaya! Sungguh, ke
manakah sekarang perempuan Sunda membawa persoalan ini? Ke LBH, ke
Menteri Pemberdayaan Perempuan, atau ditelan saja kepahitan dan
ketidakadilan ini karena kalau dilaporkan kawas lauk buruk milu mijah
dan ngagegedekeun SARA?

Memang, wacana perempuan Sunda yang distereotipekan seperti kasus di
atas, sebenarnya berkembang di masyarakat yang bukan suku Sunda. Saya
sendiri pernah ditanyai soal itu, yang, bila dikutip, pertanyaannya
berbunyi seperti ini, "Benar tidak sih perempuan Sunda itu boros dan
suka sekali bersolek?"

Pertanyaan itu, tentu saja, disebabkan oleh perbedaan budaya yang
sangat mendasar. Pertanyaan itu juga tidak salah apabila tidak
dilekati kebencian etnis. Kewajiban kitalah orang (perempuan) Sunda
untuk menjawabnya dengan arif, yaitu memberikan pengertian tentang
kebenaran budaya yang berbeda dari kebenaran budaya daerah yang satu
dengan kebenaran budaya daerah lainnya. Celakanya bila stereotipe itu
dilekatkan oleh kaum cendekia dan didagangkan di forum ilmiah.

Berbicara tentang karakteristik dan jati diri, seharusnya kita sadar
bahwa perempuan Sunda kini adalah refleksi dari perempuan Sunda masa
silam. Kata Gilles Deleuze, masa kini adalah citra aktual dan masa
lalu adalah citra virtual, citra dalam cermin. Karena itu,
aktualisasi diri perempuan Sunda masa kini bisa dilihat dari cermin
masa lalunya. Tepatnya, perempuan Sunda masa kini teraktualisasikan
oleh masa silam dan tertuliskan di dalamnya.

Kita tahu, budaya Sunda dalam tataran sejarahnya banyak mengalami
persentuhan dengan dunia luar. Belum lagi alam yang memanjakan
manusia Sunda, hutan yang hijau, tanah yang subur, air yang tak
pernah berhenti mengalir. Tetapi memang, apabila ingin memahami
bagaimana sesungguhnya perempuan Sunda itu, kita harus mencarinya
dari masa lalu, secara khusus di antaranya dari nilai-nilai yang
tersimpan dari kebenaran yang lisan dan tertulis atau, menurut
Derrida, dari the active trace yang menghias konteks kekinian dan
dari ketertidurannya pada masa lalu atau kenyataan inskripsi-
inskripsi yang ada.

Ajip Rosidi pernah menulis bagaimana karakter perempuan Sunda itu
dalam Manusia Sunda (1984). Dengan menggali nilai-nilai manusia Sunda
dari tokoh-tokoh sastra yang tipikal, Ajip Rosidi menghadirkan sosok
Purbasari Ayu Wangi dari tataran Sunda Kuno, duo wanoja luar biasa
dari tataran Kamari: Dewi Pramanik-Ratna Suminar dan, dari tataran
Kiwari: Raden Dewi Sartika. Ajatrohaedi menulis "Citra Wanita dalam
Sastra Sunda" (1992) dalam sebuah jurnal sastra UI yang mengulas
tokoh perempuan dalam karya sastra dan pengarang perempuan Sunda.
Nina Herlina Lubis menulis "Wanita dalam Sejarah" dalam "Tradisi dan
Transformasi Sejarah Sunda" (2000) yang menghadirkan citra perempuan
Sunda dalam ruang kesejarahannya.

Kemudian, Jakob Sumardjo menafsirulang 10 pantun Sunda dalam Simbol-
simbol Artefak Budaya Sunda (2003) dan menyoroti bagaimana pentingnya
kedudukan perempuan Sunda kuno, hingga mereka menempati dunia atas,
sedangkan laki-laki menempati dunia bawah, dan perempuan dan laki-
laki itu bertemu di dunia tengah. Tentulah mereka semua menulis
berdasarkan fakta yang ada, baik fakta pada tataran imajinatif yang
memancarkan karakter perempuan Sunda pada tokoh yang melegenda,
maupun fakta yang terekam oleh sejarah.

Berdasarkan penelusuran ilmiah yang ditulis oleh para ahli di atas,
tergambar perempuan Sunda itu penuh dengan kekuatan dari dunia atas
(kosmologi Sunda kuno), memiliki kecantikan yang seimbang (balance),
pekerja keras (adaptasi dan kreativitas), dan ulet (etos kerja),
sehingga mampu memimpin negara, memengaruhi arus politik, dan
menciptakan sesuatu yang baru. Bila saya kemudian menyimpulkan bahwa
perempuan Sunda masa kini adalah aktualisasi dari perempuan Sunda
masa silam yang berkedudukan tinggi, dipuja, dan dianggap sebagai
pusat kehidupan, pusat penciptaan, dan menjadi energi penceritaan,
maka tidaklah heran bila perempuan Sunda masa kini masih menyiratkan
hal-hal seperti itu: cantik, penuh kekuatan, tetapi juga pekerja
keras yang ulet. Dengan demikian, tuduhan yang dilontarkan oleh ME
dan anggapan-anggapan yang stereotipe itu tidaklah benar adanya.

Tetapi, apabila kita melihat para perempuan pekerja pabrik di Bandung
dan Jawa Barat yang notabene urban yang didatangkan dari suku bangsa
lain, itu kembali terkait dengan politik kapitalisme dan stereotipe
suku bangsa. Para perempuan Sunda distereotipekan sebagai perempuan
yang tidak mau bekerja keras dan meminta upah yang tinggi, sedangkan
para kapitalis itu tentu tidak mau rugi, mereka lebih memilih yang
lain yang dianggap ulet, menerima, dan mau diupah murah! Maka
terjadilah kesenjangan sosial dan stereotipe yang kian melekat.

Padahal, kalau kita menafsir ulang keberadaan pabrik tekstil di
Bandung dan Jawa Barat dengan tenunan, tentulah benang merahnya
sangat kentara. Dayang Sumbi dulu menenun (bekerja), Purbasari --
pemegang tampuk keratuan-- dan kakak-kakaknya, juga kakaknya yang
pemberang Purbararang menenun (bekerja), Dyah Pitaloka, putri
Pajajaran yang tegapati di Bubat, menenun (bekerja), juga Dewi
Pramanik. Lebih lagi Raden Dewi Sartika yang sangat mahir menyulam
dan menjahit. Demikian juga dengan perempuan-perempuan di Baduy.

Maka sekarang, tidaklah mungkin perempuan Sunda tidak bisa bekerja
dengan keras dan ulet sebagai pegawai pabrik tekstil, misalnya. Jadi,
sangat mendesaklah kiranya pemerintah Jawa Barat merevitalisasi
segala bentuk konsep dan aturan-aturan dalam berkehidupan daerahnya
hingga seharusnya peribahasa jadi pribumi di imahna sorangan ulah
jati kasilih ku junti; berkeadilan politik; mengembangkan keadilan
gender, khususnya untuk perempuan Sunda yang selama ini banyak
dijadikan objek dan dieksploitasi karena kebutuhan ekonomi yang tidak
adil; diterapkan dan menjadi kenyataan demi eksistensi etnis Sunda
sendiri.

Perempuan Sunda memang harus kritis dan sadar diri akan keber-Ada-
annya pada masa kini, untuk membentuk masa depan yang berkeadilan,
serta tidak melupakan masa lalunya. Terakhir, saya mengajak semua
orang untuk merenungkan kekurangan kita yang, entah kenapa, membuat
kita tidak merasa malu karenanya: gagap budaya.***

Penulis, staf pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda
FPBS UPI, menyelesaikan studi Pascasarjana di UGM.





PENTING..!

attachment akan dihapus & tidak diteruskan kepada seluruh member.

dilarang beriklan. pelanggaran atas peraturan ini akan dikenai sanksi berupa pencabutan membership.

terutama bagi pengguna ms outlook/outlook express, dihimbau untuk selalu mengupdate antivirusnya.



Yahoo! Mail Mobile
Take Yahoo! Mail with you! Check email on your mobile phone.

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke