Check out this new album I've put on Multiply. To add a comment to it, or see the other stuff I've posted, you'll need to join Multiply first if you haven't already (don't worry it doesn't cost anything).

You might be wondering what Multiply is -- it's a great new way to keep in touch. Check it out when you get a chance.

If you don't want to receive these messages, just let me know.

Order high quality photo prints on Multiply! The first time you order prints, your first 10 are free!

Click the "order prints" link below to order prints from this album.
Photo AlbumAhlan Wa Sahlan Negeri 1000 MenaraJul 19, '05 1:22 PM ET
for everyone
Inilah Kapas-Kapas di Langit
#3

Dubai, dinihari 6 Juli 2005;
Langkahku agak tersaruk-saruk dan kepala serasa keleyengan, ketika kami turun dari pesawat di Bandara Dubai. Inilah yang disebut jetlag, pikirku sambil bersiap untuk melesat ke toilet begitu kutemukan. Sementara tak kulihat hal yang sama terjadi pada ketiga rekan perjalanan; GG, Ikelana (Irwan Kelana) dan Cak Fauzil. Tentu saja ketiganya masih tampak bersemangat dan memiliki ekstra enerji. Kami bergantian menunggui troley sementara lainnya menyegarkan diri di toilet.
Cak Fauzil tetap bersemangat mengabadikan semuanya dalam kameranya yang canggih. Demikian pula Ikelana dengan kamera jurnalistiknya. Sementara GG kulihat lebih aktif merasai beberapa hal yang membuatnya penasaran; minum dari mesin aqua yang tersedia di pelosok bandara, menyapa rekan seperjalanan, memancing percakapan dengan orang asing dan sebagainya. Aku yakin semuanya itu untuk menambah catatan perjalanan, bahan tulisannya di kemudian hari.
Aku lebih suka mencatat semuanya dalam hatiku, tapi sesekali kubuka juga PDA dari Ninik Handrini; menuliskan istilah-istilah asing, nama makanan dan tempat-tempat yang bakal sulit bila hanya kukenang.
Ada kejadian lucu seputar penggunaan toilet di Dubai. Ketika usai melaksanakan hajat kecil, aku baru menyadari tak ada siukan ataupun shower untuk membersihkan diri. Ugh, apa harus keluar dulu, tergopoh-gopoh menyambar botol aqua seperti telah kulakukan di Changi?
Pandanganku segera kupertajam, oh, ini dia… kalau kuputar kerannya tentu akan menggelontorkan air? Maka, tanpa berpikir panjang lagi kuputar keran bertanda merah itu… cepraaat, waaatchaaau… gila meeen! Puanaaas!
Bisa kebayang gak, Sodara, bagaimana aku abrut-abrutan kepanasan? Fheeew, teror meeen!
Baju dalaman tak pelak lagi basah kuyup. Terpaksa aku sibuk membenahi diri, masih dengan gamis, tapi tanpa dalaman lagi. Aaaah, semoga bisa bertahan sampai Cairo. Insiden itu kupendam dalam-dalam di lubuk hatiku. Ini sungguh memalukan, pikirku menyesali keluguanku.
Setelah menunggu sekitar satu jam, kami dipersilakan kembali antri untuk memasuki pesawat. Kelas VIP, the firstclass, orang sakit, anak-anak dan lansia, barulah para penumpang kelas ekonomi seperti kami. Awalnya pemberitahuan melalui loudspiker itu kunafikan, tapi ternyata memang memiliki makna tersendiri, dimaksudkan agar penumpang disiplin menaati peraturan, tatakrama menumpang pesawat.
“Masih terasa nuansa kolonialnya,” komentar GG dari belakangku, pandangnya dikitarkan ke mana-mana, memotret segala yang ada di tentangan matanya.
“Bekas jajahan Prancis, ya,” sahutku.
“Seragam dan birokrasinya mirip di Indonesia,” tambah GG.
Sepenggal komentar itu biasanya berlanjut menjadi diskusi menarik, karena Cak Fauzil dan Ikelana segera pula menambahi. Demikianlah yang terjadi sepanjang perjalanan. Dasar penulis!
Cak Fauzil sudah lebih dulu mengasongkan paspornya ke petugas imigrasi. Dia diminta menunggu, bahkan kemudian digiring ke suatu sudut di belakang antrian. Ikelana melenggang mulus, GG dan demikian pula langkahku sama sekali tak terhambat..
Hatiku mulai diliputi gundah, “Kenapa dengan Ustad? Ada apa? Kok ditahan?” cerocosku memandangi sosok besar dengan tampang mirip Chinnes itu dari samping bilik petugas.
Ikelana menenangkan dalam nada bercanda; “Tenang saja, Teh… paling kepingin diajak ngobrol.”
“Ah, bagaimana ini serius kok!” imbuhku kian khawatir.
“Mungkin seperti di Indonesia,” komentar GG, lehernya menjulur-julur mengawasi Cak Fauzil. “Eeeh, apa iya mereka minta…”
GG tak melanjutkan, tapi kurasakan juga kekhawatiran mulai meliputi wajahnya. Kulirik wajah Ikelana pun menegang. Kami terpaksa berjalan lebih dulu sambil terus-menerus menengok ke belakang. Nun di sudut belakang antrian sana, Cak Fauzil duduk termangu-mangu, menanti… eksekusi?
Wuaduuuh, apa yang akan terjadi?
Apa mereka mengira Cak Fauzil mata-mata dari China? Hayyaaa?!
Detik demi detik, menit demi menit pun berlalu. Akhirnya, setelah limabelas menit terpisah dari sang Ustad. Sosok yang dinantikan itu pun melenggang ke arah kami dengan gayanya yang santai nian. Kami segera menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Rasa ingin tahu dan penasaran kami hanya dijawab mesem-mesem lelaki keturunan kyai Jombang itu.
“Ndak, ndak ada apa-apa kok. Hanya diajak ngobrol sebentar, ditanya-tanya maksud dan tujuan kita,” jelasnya kalem.
Bagiku bahkan sampai detik terakhir kami kembali di Tanah Air, berpisah di sebuah mesjid di kawasan Pasar Minggu, hal ini masih berupa misteri besar. Hanya Cak Fauzil yang tahu!
Kembali ke bangku semula tampak pesawat hampir kosong. Agaknya banyak juga penumpang yang turun di Dubai. Kami bisa memilih bangku sekehendak hati, tapi aku memutuskan tetap di tempat semula, dan mulai mencoba kembali tidur.
Leher, pinggang serasa pegal dan kaku-kaku, ketika mataku nyalang kembali beberapa jam kemudian. Televisi mungil di depan mataku memperlihatkan keberadaan pesawat kami; ketinggian, lokasi, waktu saat ini dan waktu Cairo, jam kedatangan… beda 4 jam!
Pramugari SQ kembali menawarkan minuman dan cemilan. Kelihatannya hanya sebagian kecil penumpang yang menyambutnya. Termasuk aku yang sama sekali tak berminat untuk memakan apapun. Rasa sakit di kuping dan kepala mulai tidak menyamankan. Obatnya hanya satu kukira, memejamkan mata rapat-rapat sambil berzikir!
“Sebentar lagi sampai, Teteh,” berkata Cak Fauzil begitu menampakku celingukan.
Ya, pesawat mungil di tentangan mataku menunjukkan pukul lima pagi. Tinggal beberapa menit lagi kami akan tiba di bandara Matour, Mesir. Aku melihat Cak Fauzil mengajak GG untuk sholat berjamaah dekat kabin belakang.
Aku memutuskan sholat subuh di tempat. Ada suatu kepasrahan, menghadirkan semacam aura dari rasa syukur yang tak terhingga, perlahan tapi pasti merambahi hatiku, jiwaku, keseluruhan diriku. Perasaan ini, kenikmatan tak tepermanai ini berhasil menyilih rasa sakit di kuping, mata dan kepalaku.
“Teteh harus jaga kesehatan, banyak minum dan mengkonsumsi Vit C,” nasihat sang Ustad tulus sekali sesaat kembali ke tempatnya, dan mulai menyantap menu terakhir dari pramugari SQ.
“Insya Allah, memang harus sehat,” sahutku merasa beruntung sekali mendapat simpati dari ketiga rekan. “Tenang saja, Ustad, kan sudah dicarger dulu minggu lalu…” Istilah dices, dicarger atau ngedrakula untuk kondisiku ini mengambil kamus ABG; just kidding coy-nya Butet.
Beberapa saat kemudian GG yang menghimbau dari bangku di depan kami, “Teteh, lihat tuh warna matahari!”
Benar! Nun di luar jendela pesawat menghampar kakilangit bersepuh keemasan. Entah di mana bulatan mataharinya. Di bawah kami tampak laut Merah yang terkenal dengan bayi Musa dilarung, padang sahara yang berselang-seling dengan kehijauan pertanian, kubus-kubus yang semakin membesar-membesar dan membesar…
“Ahlan wa sahlan Negeri Seribu Menara!”
***





DSC01095.JPG
  

DSC00927.JPG
  

DSC01096.JPG
  

DSC01096.JPG
  

DSC00823.JPG
  

DSC00837.JPG
  

DSC00816.JPG
  

DSC00806.JPG
  



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke