S E J A R A H   MA S J I D   A G U N G   K  A  R  A  W  A  N  G  

--------------------------------------------------------------------------------

   PERKEMBANGAN MASUKNYA AGAMA ISLAM KE KABUPATEN KARAWANG 


--------------------------------------------------------------------------------

        Jalur perdagangan dan penyebaran dari pusat pemerintahan Islam di 
Damaskus dan Baghdad kenusantara dalam garis besarnya ada dua, yaitu : melalui 
daratan Tiongkok ketimur tengah yang disebut  "jalur sutra" dan melalui perlak 
di Aceh terus berlayar melalui Lautan India ke Gujarat dan Teluk Persia. 

      Sejak tahun 671 M, Kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya telah mengorganisir 
perdagangan rempah-rempah dan dengan menggunakan kapal dagang yang bertolak 
dari pelabuhan Muara sabak, dekat sungai Batanghari. Route pertama yang 
dipergunakan selama hampir seratus tahun adlah tetap yaitu Muara sabak, kapal 
pengangkut rempah-rempah melalui Cina selatan dan berhenti dulu di Cempa.Dari 
sini kapal berlabuh di Canton Tiongkok, kemudian barang dagangan ini diangkut 
oleh rombongan para pedagang yang menggunakan unta, lewat jalan darat langsung 
menuju Damaskus Syiria.

        Pada tahun 715 M,Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Dinasti Umayah, 
menemukan jalur perdagangan yang baru yang lebih menguntungan yaitu melalui 
Teluk persia terus keGujarat India, ke Perlak di Aceh, kemudian,kemudian 
langsung ke Kerajaan Sriwijaya. Untuk meningkatkan perdagangan dan penyebaran 
agama Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz Tahun 718 M, mengirim misi diplomatik 
ke Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Kalangga di Japara, sehingga perdagangan 
semakin menguntungkan dan Kota Damaskus menjadi kota perdagangan di Dunia. 
Namun tidak digunakan "jalur sutra" tentu sangat merugian Tiongkok, sehingga 
sehingga Kaisar dari Dinasti Tang yang memerintah abad VII-IX melakukan 
penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya dan Raja Sindrawarman yang telah 
memeluk agama Islam tewas terbunuh . 

        Kerenggangan diplomatik dengan pihak Tiongkok dapat dipulihkan kembali 
oleh Khalifah Harun Al Rasyid yang memerintah tahun 786-809 M, sehingga bukan 
saja melancarkan hubungan dagang, akan tetapi juga dalam penyebaran Agama 
Islam. Hal ini ditndai dengan bertambahnya Islam disumatra dan Malaka.seperti 
kesultanan Daya Pasai, Bandar Kapilah, Muara Malaya, Aru Baruman, dan 
kesultanan kuntu campa. Perdagangan yang melalui dua jalur tadi membawa 
kestabilan dan pemerintahan Kesultanan Islam di Sumatra dan Malaka dan 
penyebaran agama Islam antara Abad VII-XV makin meluas ke kota kota  pelabuhan 
di pulau Jawa. Pada Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan 
Laksamana Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 
63 buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25 000 orang untuk menjalin 
persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam. Dalam Armada Angkatan Laut 
Tiongkok itu rupanya diikutsertakan Syeh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar 
Agama Islam dikesultanan Malaka, Sebab  Syeh Hasanuddin adalah putra Ulama 
besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeh Yusuf Siddik yang masih ada 
garis keturunan dengan Syeh Jamaluddin serta Syeh Jalaluddin Ulama besar Mekah. 
Bahkan menurut sumber lain garis keturunannya sampai kepada Syaidina Husein bin 
Syaidina Ali ra, menantu Rosulullah saw. Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok  
pimpinan Laksaman Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan persahabatan 
dengan KI Gede Tapa Syah Bandar Muara Jati Cirebon serta sebagai wujud 
kerjasama itu dibangunlah sebuah menara dipantai pelabuhan Muara Jati.

        Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh Syeh Hasanuddin rupanya sangat 
mencemaskan penguasa Pajajran yang bernama Prabu Angga Larang, Sehingga 
dimintanya agar penyebaran tersebut dihentikan. Oleh Syeh Hasanuddin perintah 
itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa 
meskipun Dakhwah itu dilarang, namun kelak dari ketrunan Prabu Angga Larang ada 
yang akan menjadi Walillulah. Beberapa saat kemudian  Syeh Hasanuddin mohon 
diri kepada Ki Gede Tapa sendiri, sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa 
Ulama Besar, Sebab Ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. 
Oleh karena itu sewaktu Syeh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya yang 
bernama Nyi Subang Karancang dititipkan ikut bersama Ulama Besar ini untuk 
belajar Agama Islam di Malaka.

        Beberapa waktu kemudian Syeh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk 
kembali kewilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Untuk keprluan tersebut, maka telah 
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk Nyi 
Subang Karancang. Setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, Kemudian memasuki 
Muara Kali Citarum yang ramai dilayari oleh Perahu para pedagang yang memasuki 
wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya rombongan perahu 
singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang.Kedatangan rombongan Ulama Besar 
ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan di izinkan untuk 
mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat 
tinggal. 

 


--------------------------------------------------------------------------------

CAHAYA PELITA ISLAM 

DI PELABUHAN KARAWANG 


--------------------------------------------------------------------------------

 

        Nama Karawang berasal dari Bahasa Sunda KARAWA-AN, adalah Nama suatu 
kesatuan wilayah dan juga nama salah satu pelabuhan yang terletak ditepi kali 
Citarum pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Sebagai suatu Wilayah, 
Karwang sudah memegang peranan penting pada masa Pemerintahan kerajaan 
Tarumanegara yang berkuasa pada abad IV-VI M. Tim Arkelogi Nasional yang 
melakukan penelitian sejak tahun 1952 sampai sekarang, banyak menemukan 
peninggalan kerajaan Tarumanegara seperti bekas bangunan candi dan lain-lainnya 
di sekitar Desa Seragan Batu Jaya dan Desa Cibuaya. demikian juga adanya nama 
Patruman sebuah kampung di dekat Rengasdengklok, diduga bakas salah satu 
pelabuhan Tarumanegara. 

        Pertama kali Citarum beberapa abad yang lalu merupakan satu-satunya 
pilihan untuk jalur lalu lintas bagi kelancaran kegiatan perdagangan, 
pemerintah dan lain-lain. Kerajaan Pajajaran sebagai penerus kerajaan 
Tarumanegara yang memerintah pada abad VIII untuk kepentingan yang 
sama.Disebutkan juga bahwa Karawang sebagai salah satu pelabuhan penting 
kerajaan Pajajaran, seperti halnya pelabuhan Baten, Tanggerang, Sunda Kelapa 
dan Bekasi. Dari Pelabuhan Karawang ramai diperdagangan barang dagangan ke 
pelabuhan Sunda Kelapa, seperti madu, ikan kering dan hasil pertanian yang 
banyak dibeli oleh para pedagang Portugis. 

        Selain sebagai pelabuhan Karawang juga menjadi tampat persimpangan 
jalan darat dari Pakuan ibu kota krajaan Pajajaran ke Kawali (galuh). Kota yang 
dilewati adalah Cibarusah, Warunggede, Tangjungpura, Karawang, Cikao, 
Purwakarta, Sagalaherang, Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, 
bferakhir di Kawali. 

        Menurut Amir Sutaarga dalam bukunya "Prabu Siliwangi" halaman 58, jalan 
darat tersebut merupakan "High-way" nya kerajaan Pajajaran di masa itu. Sebab 
dengan adanya jalur jalan darat, dan kota-kota pelabuhan seperti Bnaten, 
Tanggerang, Sunda Kelapa, Bekasi, Karawang, maka seluruh wilayah Pajajaran 
terkontrol secara baik. 

        Pentingnya peranan pelabuhan Karawang, bukan saja pada masa 
pemerintahan Pajajaran dari abad VIII sampai abad XVI  M, yakni hampir 800 
tahun, akan tetapi sampai juga masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram yang 
telah mengangkat Bupati Karawang pertama Adipati Singaperbangsa dan Aria 
Wirasaba. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda dan 
Jepang. Pelabuhan Karawang memiliki 2 tempat penghentian.Untuk perahun yang 
datang dari arah Patarumanatau Laut Jawa berlabuh di Kampung Teluk Bunut. 
Sedangkan untuk perahu yang datang dari arah Cikao, berlabuh di kampung 
Nagasari Jebug. Perahun para pedagang ini tidak mau menelusuri Kali Citarum 
yang melingkari kampung Poponcol. Selain jaraknya cukup jauh yaitu hampir 5 Km, 
juga pada masa itu airnya deras dan banyak batu cadas. Sedangkan jika berhenti 
di pelabuhan Kampung Teluk Bunut dan Nagasari, anatara kedua tempat berlabuh 
itu jfaraknya cukup dekat dan hanya memerlukan jalan penghubung sepanjang 
kira-kira 400 meter. 

        Dengan adanya 2 pelabuhan tersebut maka akan timbul kegiatan muat 
bongkar, terjadinya jual beli sehingga dibutuhkan adanya pasar. Warung makanan 
minuman, tempat menginap bagi yang kemalaman. Sedangkan bagi petugas perwakilan 
pemerintah Pajajaran ada kegiatan memelihara keamanan dan ketertiban, 
pengawasan lalu lintas barang dan orang bepergian dan sebagainya. 

        Ke Pelabuhan Karawang dengan kesibukan seperti dijelaskan itulah, 
rombongan Syeh Quro dengan 2 perahunya itu singgah yang menurut Buku Rintisan 
Sejarah Masa Silam Jawa Barat terbitan tahun 1983-1984 disebut Pura Dalem. 
Mungkin yang dimaksud ialah kota (pura) dimana ada kegiatan petugas pemerintah 
di bawah kewenangan jabatan Dalem. Yang tidak lain ialah pelabuhan Karawang. 
Rombongan Ulama Besar ini lazimnya sangat menjunjung peraturan kota pelabuhan 
yang dikunjungi, sehingga aparat setempat sangat menghormatinya dan memberi 
izin untuk mendirikan musholla yang digunakan tempat untuk mengaji atau 
peasntren dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Lokasi yang dipilih untuk 
keperluan itu tentu tidak begitu berjauhan dengan kegiatan pelabuhan. Setelah 
beberapa waktu berada dipelabuhan Karawang, Syeh Quro menyampaikan Da'wahnya di 
Musholla yang dibangunnya penuh keramahan. Uraiannya tentang Agama Islam mudah 
dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, Karena Ia bersama santrinya langsung 
memberi contoh. Pengajian Al Qur'an  memberikan daya tarik tersendiri, karena 
Ulama Besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap 
hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatkan masuk Islam. 

        Berita tentang dakwah Syeh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah 
terdengar Prabu Angga Larang yang pernah melarang Syeh Quro melakukan kegiatan 
yang sama  tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon, seperti sudah 
disinggunkan pada bab II terdahulu. Sehingga ia segera mengirim utusan yang 
dipimpin oleh putera mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup 
Pesantren Syeh Quro. Namun ta'kala putera mahkot ini tiba ditempat tujuan, 
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu pembaca ayat-ayat suci Al 
Qur'an yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Karancang. Putar Mahkota yang 
setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi, itu 
mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu 
menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Karancang yang cantik itu. 
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyi santri dengan syarat maskawinnya 
harus "Bintang Saketi" yaitu simbol dari "tasbeh" yang berada di Negeri Mekah. 
Sumber lain menyatakan bahwa, hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu harus 
masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Isalam. Selain itu, Nyi 
santri juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak harus 
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah 
Rasa, sehingga beberapa waktu ke mudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat 
di Pesantren Quro atau Mesjid Agung sekarang dan Syeh Quro bertindak sebagai 
penghulunya. 

        Perkawinan di musholla yang senantiasa mengAnggungkan asma Allah SWT 
itu memang telah membawa hikmah yang besar. Para putera puteri yang dikandung 
oleh Nyi Subang Karancang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM 
bagi umat di sekitarnya. Nyi Subang Karancang sebagi isteri seorang Raja memang 
harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan  tetap memancarkan Cahaya 
Islam. Putera pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah 
melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Raden Rara Santang, 
meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran kemudian mendapat bimbingan dari Ulama 
Besar yang bernama Syeh Dzatul Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak 
beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran 
Cakrabuana memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon. Sedangkan 
Raden Rara Santang waktu di Mekah diperistri oleh Sulatan Mesir yang bernama 
Syarif Abdillah. Adik Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama 
Raden Kian Santang, pada masa dewasanya menjadi Munaligh untuk menyebarkan 
Agama Islam di daerah Garut. 

        Adapun Raden Nyi Mas Rara Santang setelah kawin dengan Syarif Abdillah, 
namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Dari perkawinan ini mereka dikarunai 
dua orang putera masing-masing bernama Syarif Hidayatullah, dan Syarif 
Nurullah. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan sultan diserahkan kepada 
Syarif Nurullah, sebab Syarif Hidayatullah setelah menimba ilmu Agama yang luas 
dari para Ulama Mekah dan Bagdad, ia bertekad untuk menjadi Mubaligh di 
Cirebion. Demikianlah tahun 1475 ia bersama ibunya berlayar ke Cirebon dan 
kedatangnya disambut dengan penuh kebahagiaan oleh Pangeran Cakrabuana atau 
Cakraningrat. Setelah usia Pangeran Cakraningrat cukup tua, Syarif Hidayatullah 
dipercaya untuk menggantikan kedudukannya dengan gelar Susuhunan atau Sunan. 
Pengangkatan Syarif Hidayatullah tersebut mendapat dukungan terutama dari Raden 
Fatah, Pemimpin Pesantren dan Sunan Bintoro, putera Raja Majapahit Brawijaya V, 
yang diangkat menjadi Sulatan Kerajaan Islam Demak I. Dalam rangka pembangunan 
Mesjid Agung Demak, Sunan Cirebon diundang untuk menetapkan kebijaksanaan 
tentang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Sidang para Sunan yang dikenal 
Wali Songo itu juga menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah diangkat menjadi ketua 
atau pimpinan dari Wali Songo, dengan gelar Sunan Gunung Jati. Dengan demikian 
apa yang dikatakan oleh Syeh Quro, bahwa kelak dari keturunan Raja Pajajaran 
ada yang menjadi Waliyullah, dan permohonan Nyi Subang Karancang perkawinannya 
dengan Prabu Siliwangi ada yang menjadi Raja, telah menjadi kenyataan. Sejarah 
juga mencatat, bahwa dengan berkembangnya kerajaan Islam yang mendapat dukungan 
dari Wali Songo, maka pengaruh kerajaan Majapahit dan Pajajaran semakin 
memudar. Bahkan pada tahun 1579 M, kerajaan Pajajaran lumpuh sama sekali akibat 
dikalahkan oleh Syeh Yusuf itu adalah Putera Sultan Hasanuddin atau cucu Sunan 
Gunung Jati, yang tidak lain masih keturunan Nyi Subang Karancang dari 
perkawinannya dengan Prabu Siliwangi yang diselenggarakan di Mesjid Agung 
Karawang. 

        Adapun kegiatan pesantren Quro yang lokasinya tidak jauh dari 
pelabuahan Karawang, rupanya kurang berkembangnya karena tidak mendapat 
dukungan dari pemerintah kerajaan Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi 
oleh Syeh Quro, sehingga pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di 
Masjid lebih dititik beratkan pada ibadah seperti sholat berjamaah. Kemudian 
para santri yang telah berpengalaman disebarkan kepedesaan untuk mengajarkan 
Agama Islam, terutama daerah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan. 
Demikian juga kepedesaan dibagian Utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo 
Kalapa dan sekitarnya. Banyak hal yang menarik dalam cara penyebarannya Agama 
Islam oleh Syeh Quro antara lain : 

1. Sebelum menyampaikan ajaran Islam dibangunnya terlebih dahulu sebuah Masjid, 
seperti halnya yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sewaktu 
melakukan Hijrah  dari Mekah ke Madinah, maka beliau terlebih dahulu membangun 
Masjid Quba. 

2. Dalam menyampaikan ajaran Islam ditempuhnya melalui pendekatan yang disebut 
Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur'an surat XVI An Nahl 
ayat 125, yang artinya : "Serulah kejalan tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) 
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan mereka dengan 
cara yang terbaik".  

3. Sebelum memulai Dakwahnya, telah disiapkan para kader penyebaran Agama Islam 
(Mubaligh-Mubalighoh) yang mampu berhubungan dengan masyarakat, termasuk Nyi 
Subang Karancang. Syeh Quro sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat dan 
sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya. 

4. Para Ulama dan tokoh masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa tempat 
pengabdian Syeh Quro sampai akhir masanya, ialah di Desa Pulo Kalapa Kecamatan 
Lemah Abang. 

5. Pengabdian Syeh Quro demgam para santri dan para Ulama generasi penerusnya 
adalah " menyalakan pelita Islam", sehingga sinarnya memancarkan terus di 
Karawang dan sekitarnya. 

        Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid 
yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat 
Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai 
Masjid Agung Demak dan Cirebon. 


--------------------------------------------------------------------------------

PEMBINAAN MASJID AGUNG OLEH 

PARA ULAMA DAN BUPATI KARAWANG


--------------------------------------------------------------------------------

        Dalam sejarah pembinaan masjid Agung ada 3 unsur yang melakukan 
pembinaan, dalam arti memimpin peribadahan, pemeliharaan dan pengembangan 
bangunan masjid yaitu para Ulama dan tokoh masyarakat, para jemaah serta para 
Bupati. Adipati Singanperbangsa yang menjabat sebagai Bupati Karawang pertama 
antara tahun 1633-1677 M, semula ia berkantor di daerah Udug-udug. Kemudian 
karena berbagai pertimbangan, ia memindahkan pelabuhan Karawang. Pilihan 
tersebut tentu karena di tempat ini telah ada pasar, ada masjid Agung, dan 
sarana penunjang lain, termasuk pelabuhan itu sendiri yang meperlancar kegiatan 
lalu lintas perdagangan, pemerintah, dan sebagainya. Oleh karena itu di dekat 
masjid Agung dibangun antara lain; alun-alun yang ditanami 2 pohon beringin di 
bagian kanan kirinya, kantor dan pendopo kebupaten, kantor keamanan dan tempat 
tahanan. Sehingga lingkungan pendopo kabupaten itu mencerminkan seuatu kegiatan 
pemerintah yang menjunjung aspirasi masyarakat yang demokratis, pemerintah 
memelihara budi pekerti rakyatnya, agar selain taat kepada pemerintah, juga 
taat kepada Allah dan Rosulnya. Untuk meningkatkan budi pekerti warga 
masyarakat maka Bupati adipati Singaperbangsa memperindah bangunan masjid dan 
direnovasi diselaraskan dengan kantor / pendopo kabupaten yang baru dibangun. 
Menurut Dra. Eny Suhaeny dan Drs. Tugiyono Ks dalam bukunya "Sejarah 
terbentuknya Kabupaten Karawang" halaman 22, Drs Uka Tjandrasasmita menyebutkan 
bahwa masjid AgungKarawang menggunakan model, bentuk dan kontruksi pasak yang 
sama modelnya dengan masjid Demak, meskipun besar bangunannya tidak sama. 
Penataan suatu kantor kabuipaten dengan memasukan unsur Alun-alun dan masjid 
serta kantor-kantor pendukung lainnya adalah sejalan dengan sistem pemerintahan 
kesultanan Islam pada masa itu atas gagasan Sunan Kali Jaga salah seorang 
anggota Wali Songgo yang menjadi penasehat kesultanan Islam pertama Bintoro 
atau Demak. Sebagaimana dimaklumi bahwa Bupati Karawang pada waktu itu 
merupakan bawahan dari Sulatan Agung yang bertekad untuk mempersatukan 
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dan sekitarnya dimana Karawang dipersiapkan 
sebagai pusat penyerangan tentara Mataram terhadap kedudukan tentara VOC atau 
Kompeni di Batavia, dan Karawang juga harus menjadi lumbung padi sebagai pusat 
logistik dari peperangan tersebut. Hampir selama 44 tahun Adipati 
Singaperbangsa melaksanakan tugas pemerintahannya dengan memfungsikan masjid 
Agung sebagai tempat beribadah dan memotivasi masyarakat agar berperan serta 
dalam menunaikan tugas-tugas kenegaraannya.

        Setelah Adipati Singaperbangsa meninggal dunia yang dimakamkan di 
Manggung Ciparage pada tahun 1677 M, tiga Bupati penerusnya tidak berkantor di 
Babakan Kartayasa, melainkan berkantor di daerah Pangkalan. yaitu ; Raden Anom 
Wirasuta atau Panatayda I yang menjabat Bupati antara Tahun 1677 - 1721 M, 
berkantor di Waru dekat Loji, dan Radeb Martanegara atau Panatayuda III 
menjabat antara tahun 1732 - 1752 M, juga berkantor diWaru Pangkalan. Rupanya 
Masjid Agung yang telah direnovasi oleh Adipati Singaperbangsa, tidak lagi 
diadakan penambahan dimasa pemerintahan Bupaati Karawang II,III,dan IV. Pada 
masa Bupati V yaitu Raden Muhamad Soleh atau Panatayuda IV,Kantor bupati 
dipindahkan kembali ke Babakan kertayasa. Bupati V  ini memerintah antara tahun 
1752 - 1786 M, dikenal sebagai dalem Balon. Rupanya Bupati ini mendapat 
kehormatan "naik nalon". Dari pemerintahan Kolonial Belanda, dan pada waktu itu 
hal tersebut  jarang terjadi.Ia termasuk pembina Masjid Agung, dan waktu 
meninggal Dunia ia dimakam kan dekat Masjid ini, tahun 1993 atas persetujuan 
para sesepuh, kerangka jenazahnya dipindahkan dan dimakamkan kembali dikomplek 
makam Bupati Karawang di Desa Manggung Jaya Cilamaya.  

        Sejak masa Bupati Karawang VI  sampai Bupati Karawang IX yakni antara 
tahun 1786 - 1827, tidak ada petunjuk dilakukannya perbaikan yang berarti 
apalagi perluasan bangunan dan sebagainya.Sebab sejak tahun 1827 para Bupati 
Karawang IX sampai bupati XXI atas kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda 
tidak lagi berkantor dikota Karawang melainkan keWanayasa dan Purwakarta, 
Sehingga sapat dipahami apabila para Bupati yang berkedudukan di Wanayasa dan 
Purwakarta perhatiannya kurang terhadap pembinaan Masjid Agung secara langsung, 
kemunginan dipercayakan kepada wedana atau camat yang bertugas dikota Karawang. 

        Setelahberlakunya Undang Undang no 14 tahun 1950 tentang pembentukan 
daerah daerah Kabupaten dilingkungan Propinsi Jawa Barat maka kabupaten 
Karawang terpisah dari kabupaten Purwakarta dan Ibukotanya kembali di Karawang. 
Sedangkan BUpati Karawang masa itu dijabat oleh Raden Tohir Mangkudijoyo yang 
memerintah tahun 1950 - 1959, pada tahun 1950 atas persetujuan para Ulama dan 
Umat Islam, Mesjid Agung diperluas pada arah bagian depan dengan bangunan 
permanen ukuran 13 x 20 m ditambah menara ukuran kecil dan satu Kubah ukuran  3 
x 3 m dengan tinggi 12 m, atap dari seng adapun luas tanah mesjd termasuk makam 
adalah 2.230 m.                      

-----Original Message-----
From: urangsunda@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Behalf Of :: Yayan Mulyana ::
Sent: Tuesday, 27 September, 2005 7:58 AM
To: kisunda@yahoogroups.com; urangsunda@yahoogroups.com
Subject: [Urang Sunda] Syeh Kuro


Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi
Oleh AHMAD MANSUR SURYANEGARA
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/22/teropong/lainnya2.htm

DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15,
menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan
damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua
Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki
Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah
santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan
pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi
dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah
tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran
Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga
Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro

Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh
Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya
pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu
Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh
Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di
Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa
adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki
Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa
dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.

Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya
Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar
Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng
Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak
hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata
juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden
Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan
gelar Sang Prabu Siliwangi.

Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi
Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih.
Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa.
Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu
Awang.

Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini,
antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi
memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh
kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah
wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan
pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi
mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang
Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah
menantu Ki Gedeng Tapa.

Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh
Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran
kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama
ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa.
Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin
aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa
perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna
memperkuat power of relation antar keduanya, maka
diikat dengan tali pernikahan.

Pengaruh eksternal

Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu
Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan
pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah,
Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah
tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan
Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu
Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian
membangun kekaisaran Mongol Islam di India.

Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah
di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat
dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644)
memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk
dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng
Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi
muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan
Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000
dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy,
dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon
Laksmana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang
mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.

Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan
perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan
membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang
didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya.
Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho
disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar Cirebon.

Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang
dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak
besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama
sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar di Cirebon.

Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh
di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam,
Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan
mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya
rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon
terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang
Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu
Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh
Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal
yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi
mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh
Datuk Kahfi dan Naik Haji.

Gunung dan guru

Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya
menuturkan, setiap dalam upaya pencarian guru pasti
tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah
menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu
berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga
menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di
Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan
kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.

Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda
di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di
Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait
aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak
berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu
Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang
berada di gunung.

Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra
putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan
putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru
ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini
Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.

Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula
berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap
dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran
Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung
Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango.
Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden
Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau
pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah
lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.

Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji
ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad
Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke
Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati
di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru
ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah
lulus diberi nama Nyai Eling.

Naik haji

Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran
Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata
dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang
dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula
Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji
dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya
dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif
Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah
wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua
adalah Syarif Nurullah.

Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji
Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati,
dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana
yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi,
diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu
Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik
Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara
masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama
menjadi Haji Mansur.

Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang
Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan
M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.

Silsilah Prabu Siliwangi

Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini.
Suatu artikel yang saya angkat dari karya Dr. H. Dadan
Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi
merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya
Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik,
Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya
Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya
Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja (1986).

Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan
Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti
Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah
Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru
pelabuhan Muara Jati.

Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki
Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri
dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki
Dampu Awang.

Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu
Siliwangi sebagai ke turunan ke-12 dari Maharaja
Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas,
Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu
Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu
Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal
(6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu
Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu
Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi
tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan
nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi
pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama
tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.

Pengenalan Islam

Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah
dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari
Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh
putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri
Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan
Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh
Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.

Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua,
putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak
mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan
ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana.
Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori
meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk
Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk
Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.

Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan
ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah.
Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir.
Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri
Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru
Ki Wirabumi.***

-Penulis adalah ahli sejarah.





                
___________________________________________________________ 
How much free photo storage do you get? Store your holiday 
snaps for FREE with Yahoo! Photos http://uk.photos.yahoo.com



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links



 






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/0EHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke