hehe. Punten upami tos maca
Tina PR
Beda Sedikit Guru dan Satpam
Oleh Dr. AFIF MUHAMMAD, M.A.

LEBIH banyak diam daripada berbicara, itulah Bu Mega. Akan tetapi, sekalinya
berbicara langsung menonjok. Akibatnya, dalam konteksnya dengan kedudukan
beliau sebagai presiden dan Ketua PDI Perjuangan, pernyataannya menjadi
sering kontraproduktif. Beberapa bulan yang lalu beliau menyatakan di depan
para pejabat tentang ketidaksediaannya menaikkan gaji pegawai negeri sipil
(PNS). Menurut Bu Mega, pegawai negeri sipil kurang produktif. Sayang Bu
Mega tidak mengemukakan secara jelas sebab-sebab rendahnya produktivitas
para PNS. Beliau hanya mengemukakan contoh rendahnya produktivitas tersebut
dengan pelayanan para PNS yang dinilainya lamban dan berbelit-belit.

Menteri Faisal Tamin segera menindaklanjuti pernyataan Bu Mega dan -- Senin
14 Juli yang lalu -- para pegawai negeri harus menjalani Sensus Kepegawaian,
mengisi data kepegawaian yang mereka miliki sejak awal hingga akhir. Yang
juga kontraproduktif adalah pernyataan terakhir Bu Mega yang mengatakan
bahwa beliau pusing oleh situasi negara yang semrawut. Bagaimana tidak
kontraproduktif jika seorang presiden mengeluh seperti itu.

PNS (pegawai negeri sipil) adalah para pegawai yang digaji oleh negara. Oleh
karena itu besar-kecilnya gaji mereka didasarkan atas kemampuan negara.
Jumlah gaji yang mereka terima bervariasi tergantung dari tinggi-rendahnya
pendidikan dan panjang-pendeknya pengalaman mereka. Itu berarti bahwa,
sekalipun seorang pegawai memiliki pendidikan tinggi, tetapi jika pengalaman
kerjanya masih pendek, gajinya pun rendah. Sebaliknya, sekalipun seorang
pegawai hanya mengenyam pendidikan rendah, asal pengalamannya sudah matang,
gaji yang diterimanya bisa cukup besar.

Walaupun begitu, rentangnya tidak terlalu lebar. Salah seorang dosen kawan
saya di pascasarjana yang berijazah doktor (S-3) dan sudah mengabdi hampir
15 tahun, memperoleh gaji Rp 1.890.000,00 (angka ini merupakan pembulatan).
Akan tetapi, seorang satpam yang baru diangkat menjadi calon pegawai negeri
sipil (CPNS) menerima sekira Rp 650.000,00. Kalau satpam ini sudah bekerja
dua tahun, gajinya naik menjadi sekira Rp 850.000. Jadi, perbandingan gaji
seorang dosen yang bergelar doktor dengan seorang satpam berijazah SMU
adalah 2:1 lebih sedikit.

Dlihat dari perbandingan pendidikan dan imbalan yang diperoleh masing-masing
PNS (doktor dan satpam) di atas, rentang gaji tersebut terasa tidak adil,
dan sungguh-sungguh membuat orang menjadi malas menuntut ilmu sebab jika Pak
Satpam ingin menjadi doktor, ia butuh waktu tambahan sekira 10 tahun lagi,
4-5 tahun untuk S-1, 2-3 tahun untuk S-2, dan 3-5 tahun untuk S-3. Waktu
selama itu terhitung cepat. Normalnya 12-15 tahun. Alasannya ada seorang
senior saya yang hari ini berada di semester 22 untuk masa studi program
doktornya. Itu menunjukkan betapa beratnya menjadi seorang doktor.

Akan tetapi, mungkin Pak Satpam akan membalas dengan mengatakan bahwa beban
kerja mereka berbeda. Satpam harus bekerja setiap hari, bahkan setiap minggu
mendapat giliran piket malam, sedangkan Pak Doktor hanya dikenai beban kerja
12 sks yang dapat dilaksanakan dalam dua hari. Lalu, Pak Doktor akan
menukas, "Benar, kelihatannya kami (para doktor) hanya bekerja dua hari,
tetapi bimbingan-bimbingan, konsultasi-konsultasi, mempersiapkan bahan
perkuliahan, memeriksa tugas-tugas yang kami lakukan di luar perkuliahan,
tak kalah beratnya dengan piket malam untuk seorang satpam."

Namun di Indonesia gaji bukanlah penghasilan. Gaji adalah upah yang
diperoleh seseorang dari pekerjaan "tetapnya", sedangkan penghasilan adalah
seluruh pendapatan yang dia peroleh dari pendapatan yang pertama tadi plus
pendapatan-pendapatan lain yang dia peroleh dari pekerjaan-pekerjaan
tambahannya. Seorang satpam jelas sulit mendapat pekerjaan tambahan.
Kalaupun ada, itu pasti jaga malam di pabrik-pabrik dan itu sangat kecil
kemungkinannya, sedangkan Pak Doktor memiliki kesempatan yang sangat banyak
untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Pak Doktor, karena pendidikannya yang tinggi, sangat berpeluang untuk
menduduki jabatan yang menghasilkan pendapatan tambahan yang jumlahnya
kadang-kadang melebihi gajinya. Dia juga bisa menulis di koran dan majalah.
Untuk sekali menulis di "PR", misalnya, dia akan menerima honor yang
besarnya sama dengan sepertiga, bahkan ada yang sampai satu kali gaji Pak
Satpam. Jadi, untuk mendapatkan penghasilan tambahan sebesar gaji sebulan
Pak Satpam, dia cukup menulis satu-dua tulisan saja. Penelitian, menulis
buku, memberikan ceramah, seminar, dan mengajar di perguruan tinggi swasta
adalah "tambang" lain seorang doktor. Jika semuanya itu dikumpulkan,
penghasilan Pak Doktor bisa mencapai 5-10 kali penghasilan Pak Satpam.

Akan tetapi, apakah kondisi semua satpam dan doktor seperti itu? Hampir bisa
dipastikan "ya." Oleh karena itu, pegawai negeri sering diidentikkan dengan
fasilitas dan fasilitas adalah penghasilan tambahan. Faslitas-fasilitas
seperti itu biasanya terkait dengan jabatan. Artinya, jika seorang pegawai
negeri berstatus dosen dan memiliki jabatan tertentu, misalnya menjadi dekan
dan ketua jurusan, jabatan itu akan memberinya fasilitas-fasilitas
(membimbing, menguji, penelitian) yang dapat memberikan tambahan penghasilan
di luar gaji tetapnya. Sebaliknya, jika dia hanya menjadi dosen tanpa
jabatan, penghasilannya akan semata-mata bersumber dari gaji tetapnya dan
itu mungkin hanya dua kali penghasilan seorang satpam.

Dengan demikian, besar-kecilnya penghasilan pegawai negeri sangat bergantung
pada fasilitas dan fasilitas tersebut sangat terkait dengan jabatan. Inilah
yang kemudian ditengarai sebagai biang keladi terjadinya korupsi dan kolusi.
Karena seperti kita maklumi bersama, jika seorang pejabat menangani sebuah
projek, dia dapat memperoleh penghasilan tambahan berkali-kali lipat dari
gajinya. Itu pulalah yang membuat orang-orang Amerika terheran-heran. Secara
rasional mereka mengalkulasi, dengan gaji sekecil itu mana mungkin seorang
pegawai negeri bisa memiliki televisi, motor, mobil, bahkan rumah besar
berharga ratusan juta? Mereka tidak tahu bahwa televisi, motor, rumah, dan
mobil yang dimiliki para pegawai negeri sipil itu berasal dari projek-projek
yang mereka tangani, atau merupakan barang-barang kreditan yang baru lunas
mereka bayar selama empat atau lima tahun. Hampir semua pegawai negeri
mendapatkan barang-barang mereka yang terbilang mahal dengan cara seperti
itu. Saya pernah bertanya kepada salah seorang kawan saya sesama dosen
tentang mobil *second* yang dia miliki. Lalu, kami terlibat pembicaraan
berikut ini.

"Mobil itu cicilan, Mas," kata kawan saya menjelaskan.

"Bayarnya?" tanya saya pura-pura tidak tahu.

"Ya, potong gaji," jawabnya ringan-ringan saja.

"Berapa?" tanya saya ingin tahu.

"Ya, sisa dua ratus lima puluhan lah," jawabnya.

"Lalu, untuk istri dan anak-anak?"

"Ya, dari *ladang tikoro*," jawabnya sambil tertawa.

*Ladang tikoro* yang dia maksudkan adalah penghasilan-penghasilan yang dia
dapatkan dari ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian yang dia berikan.
Kawan saya itu memang seorang yang pandai ceramah. Dia sering diundang
menyampaikan ceramah dan pengajian di berbagai tempat. Menurut pengakuannya,
dia sama sekali tidak memasang tarif untuk itu. Akan tetapi, dengan setengah
berbisik dia mengatakan bahwa setiap kali "manggung" dia sedikitnya mendapat
"amplop" seperempat gajinya sebagai dosen. Saya tahu betul bahwa dalam
seminggu dia minimal diundang ceramah dua atau tiga kali. Sebulan berarti
delapan sampai sepuluh kali. "*Paingan atuh,*" komentar saya sambil tertawa
dalam hati.

Guru adalah orang yang mengemban tugas sebagai pengajar dan mengajar adalah
jabatan fungsional. Jika statusnya adalah pegawai negeri sipil, gajinya ya
tidak banyak berbeda dengan gaji seorang satpam yang pangkatnya sama
dengannya. Bedanya hanya sedikit, yakni tunjangan fungsionalnya yang tidak
mencapai seratus ribu. Bagaimana dengan Pak Doktor yang menjadi dosen?
Dilihat dari tugasnya, dosen adalah guru juga. Cuma, tempat kerja yang
berbeda membuat gaji dan penghasilan menjadi berbeda sekalipun sama-sama
pegawai negeri. Jika seseorang mengajar di perguruan tinggi, dia disebut
dosen dan jika mengajar di sekolah tingkat TK hingga SMU, dia disebut guru.

Untuk bisa menjadi guru seseorang harus menempuh pendidikan khusus, ada D-1,
D-2, D-3, S-1, S-2, dan S-3. Perbedaan tingkat pendidikan ini memberi
kewenangan yang berbeda. Lulusan D-1, misalnya, berwenang mengajar di TK,
S-1 di SMU, dan S-3 di program pascasajana. Perbedaan pendidikan dan tempat
tugas ini diikuti dengan perbedaan tunjangan fungsional yag berbeda. Dengan
begitu, ada perbedaan tunjangan fungsional bagi pengajar di tingkat SMU ke
bawah, dengan pengajar di tingkat perguruan tinggi. Tunjangan fungsional
seorang dosen sedikit lebih besar dari guru. Akan tetapi, seperti dikatakan
di atas, ya tidak banyak terpautnya dengan gaji seorang satpam.

Untuk ke depan, nasib guru akan semakin "menggembirakan". Otonomi daerah
telah memberi peluang sangat besar kepada sekolah-sekolah untuk mengelola
dirinya sendiri. Dalam aspek administrasi akademiknya, otonomi tersebut
terkesan masih merepotkan. Namun pada saat yang sama, ia memberi kesempatan
kepada para guru untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik sebab mereka
dapat merancang pengembangan sarana pendukung kegiatan belajar-mengajar
sesuai dengan kemampuan masyarakat (orang tua siswa), dan tidak lagi hanya
menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat yang jumlahnya sangat
tidak memadai. Dewan-dewan sekolah dibentuk menggantikan BP3 yang ada
sebelumnya. Lalu, mulai dioperasikanlah konsep yang selama ini disebut
dengan Manajemen Berbaris Sekolah (MBS). Hasilnya, sumbangan pembangunan
menggelembung. Lonjakannya tidak tanggung-tanggung. Seorang kawan saya tahun
ini memasukkan salah seorang putranya ke salah satu SMUN favorit di Bandung
dan dia mengeluhkan sumbangan pembangunan yang katanya naik lebih dari 150%
dari tahun sebelumnya.

"Berapa?" tanya saya sambil lalu.

"Ya, satu setengah gaji saya sebulan, Mas," jawabnya setengah mengeluh.
Padahal, dia seorang dosen dengan golongan IV-b.

"Yah, asal SPP-nya masih terjangkau," komentar saya masih sambil lalu.

"Ya, itulah, Mas, SPP-nya juga naik tiga kali lipat," katanya dengan keluhan
lebih dalam.

"Ah, untuk Anda *kan *masih terjangkau," komentar saya sambil memandang ke
arahnya.

"Insya Allah," katanya yakin, "Tetapi untuk mereka yang berpenghasilan
rendah?" tambahnya dengan nada sedih.

Sumbangan sarana pendukung kegiatan belajar-mengajar itu tentu saja tidak
hanya digunakan untuk membangun dan merenovasi ruang-ruang kelas atau
melengkapi peralatan laboratorium, tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan para guru. Tentu saja tidak tanpa imbalan apa pun. Di situ
dirancanglah berbagai kegiatan semisal pelajaran-pelajaran tambahan. Dengan
semua itu diharapkan mutu lulusan sekolah dapat meningkat dengan baik.

Fenomena di atas terjadi di semua sekolah sejak dari TK hingga SMU, bahkan
perguruan tinggi. Mereka seakan-akan sedang mengalami eforia yang membuat
mereka begitu bersemangat, sampai-sampai lupa bahwa di saat perekonomian
negeri kita masih semrawut seperti sekarang ini, biaya mahal seperti itu
sangat memberatkan banyak orang. Sekarang ini, sekolah-sekolah tak ubahnya
seperti barang dagangan yang dijajakan di warung-warung. Jika dulu harganya
ditentukan oleh pemerintah, kini ditentukan sendiri oleh pengelola sekolah
masing-masing dengan harga yang bervariasi sesuai dengan kualitas yang
dimiliki masing-masing sekolah. Terserah masyarakat mau beli yang mana. Kuat
membeli yang mahal silakan, kalau tak kuat cari yang lain!

Tiba di sini, kita boleh tersenyum dan bersamaan dengan itu mengelus dada.
Tersenyum, karena Sang Umar Bakri sebentar lagi dapat mengganti sepedanya
dengan motor atau bahkan dengan mobil. Mengelus dada karena anak Pak Satpam
yang otaknya encer kayak susu cair, sulit memperoleh bangku di sekolah yang
dapat mengembangkan potensinya. Dengan begitu, tidak ada lagi yang
melindungi konsumen (masyarakat, orang tua siswa). Akibatnya, akan banyak
siswa pintar yang tidak akan dapat melanjutkan pendidikannya ke
sekolah-sekolah yang baik jika mereka tidak memiliki biaya untuk itu.

Lantas, akankah terjadi "yang bisa pintar adalah si kaya, sedangkan si
miskin semakin bodoh," dan berikutnya, "yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin?" Di sini, mestinya pemerintah segera menetapkan
"harga" standar yang rasional. Tentu saja tidak harus sama, tetapi ada
rentangan tertentu. Juga, para pengelola mestinya tidak menaikkannya secara
drastis, tetapi bertahap. Ya, seperti kenaikan harga bensin, telefon, dan
tarif dasar listrik begitulah.

Sekalipun saya seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi (yang tentu saja
juga guru), tetapi saya juga orang tua murid. Oleh karena itu, perkembangan
dunia pendidikan sekarang ini cukup menggembirakan saya. Sebagai sesama
guru, saya gembira dengan adanya harapan bahwa saudara-saudara saya sesama
guru akan dapat memperbaiki nasibnya dan sebagai orang tua siswa saya
berharap bahwa dengan kenaikan-kenaikan biaya itu, mutu pendidikan anak-anak
kita akan semakin baik. Kita dapat mengejar ketertinggalan kita dari bangsa
lain dengan lebih cepat. Akan tetapi, keprihatinan masih menyertai saya
karena saat ini saya tinggal di sebuah pemukiman yang banyak warganya
berprofesi sebagai tukang cangkul, pengangkut sampah, pedagang bala-bala,
buruh nyuci, dan penggali sumur. Mereka ini selalu mengeluhkan mahalnya
harga-harga, bahkan di tempat lain sudah ada yang bunuh diri. *Wallahu A`lam
bish Shawab. *

*Penulis* *pengajar dan Asisten Direktur Bidang Akademik Program
Pascasarjana IAIN Bandung.*
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1003/13/0801.htm

On 12/15/06, surtiwa surtiwa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:


--- reksagantra <[EMAIL PROTECTED] <reksagantra%40yahoo.com>> wrote:

Hanjakalna teh sanes...anu jelas contona di pausahaan
mah (Non Rumah sakit) profesi dokter...Sr Dokter
posisina eta teh diniley kinten2 sami sareng Sr
Engineer/Sr Lawyer/ Sr Finance...janten dibawah
Manager..kumargi ngan pelaksana. lamun manehna nek
kana lepel manajerial janten Medical Officer kaakara
lepelna teh naek janten Manajer. Tapi tingali di
penileyan masyarakat.ka dokter...luhur pisan..sakolana
.lami..awis..

Biasana dihiji pausahaan anu gajihna sok rada mokaha
eta anu nyepengan posisi anu gancang nambihan nilai
tambah...sapertos Corporate Planner...Business
development...Strategic Marketer...jrd.

> Patarosan sim kuring: Naha eta teori teh
> ngaapresiasi core bussiness
> hiji pausahaan, nu hartosna maparin nilai lebih ka
> hiji profesi nu
> dianggap asset atanapi mesin produksi utama?
> Contona: Di usaha pers,
> nya wartawan nu janten mesin utamana teh. Di
> universitas, nya dosen.
> Di rumah sakit, nya dokter. Di milis, nya kuncen.
> Hehehe...
>
> Baktos,
> Pun Maman
>
>
>

__________________________________________________________
Do you Yahoo!?
Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.
http://new.mail.yahoo.com



--
tantan hermansah
www.tantanhermansah.co.nr

"jig geura narindak; jeung omat ulah ngalieuk ka tukang!"
--siliwangi--

Kirim email ke