Aya makalah ti milis tatanggi yeuh, punteun bilih aya anu teu sapuk

 

 

Mengaduk Konflik Poso dengan Terorisme 

Oleh : 

Mohammad Shoelhi
Wartawan, Anggota PWI, Penulis Buku 'The Posonese Tragedy'

Lewat delapan tahun, konflik Poso belum juga berakhir. Kini konflik
menjadi runyam dengan masuknya Densus 88 Antiteror yang hendak
menangkapi orang yang tertera dalam daftar pencarian orang (DPO). Dengan
dalih menangkap mereka yang masuk dalam DPO, ternyata operasi Densus 88
benar-benar merupakan serangan bersenjata dengan target umat Islam. Pada
insiden 22 Januari lalu itu, 15 orang (termasuk 1 polisi) dilaporkan
tewas tertembak, 4 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 10 - 15
tahun, dan ternyata semuanya tidak tercantum dalam DPO.

Muslim sebagai target
Sejak awal kejadian hingga sekarang, umat Islam memang selalu
dikambinghitamkan dan dijadikan target dalam setiap operasi berdalih
'menumpas teroris', termasuk di Poso. Begitu konflik Poso pecah, segera
dikoarkan bahwa teroris masuk Poso untuk membikin kerusuhan. Padahal,
semua tahu, bahwa pecahnya konflik Poso dimulai dengan pembunuhan atas
pemuda muslim, Ahmad Ridwan, oleh pemeluk agama lain, dan upaya kelompok
agama lain pimpinan Herman Parimo untuk membunuh pejabat pemda Poso.
Sialnya, ketika umat Islam melakukan pembelaan diri, mereka dituduh
sebagai teroris. 

Tindakan sangat biadab dilakukan kelompok non-Islam terhadap umat Islam,
seperti dipertontonkan di Pesantren Walisongo Poso. Itu fakta yang tak
dapat dibantah dan tak terlupakan Muslimin di negeri ini. Sebanyak lebih
1.000 jiwa dibantai, dan sebagian lainnya dikurung di masjid untuk
kemudian dibakar. Apakah dengan demikian bila umat Islam melakukan
tindakan lalu bisa disebut teroris? Dan para pembantai itu disebut
pahlawan yang perlu dibela dan dilindungi? Kendati si pemimpin penjagal,
Fabianus Tibo, sudah dieksekusi, apakah penjagal lainnya boleh dibiarkan
terus-menerus membuat kerusuhan? Sedangkan, umat Islam yang dijadikan
target kerusuhan terus disudutkan?

Kita masih ingat kesaksian Tibo di pengadilan, bahwa ada orang-orang
yang dikatakannya lebih bertanggung jawab dalam konflik Poso, yaitu
Tungkanan (purn TNI), Ladue (purn TNI), Theo Manjayo (purn TNI),
Limpadeli (PNS), Erik Rombot (PNS), Edy Bungkundapu (PNS), Yahya Patiro
(PNS), Obed Tampai (PNS), Ruagadi Son (PNS), Angky Tungkanan, HX
Sagilipu, Yanis Simangunsong, Vence Angkou, Herry Banibi, Sarjun Gode,
dan Guntur Tarinje, yang seharusnya juga ditangkap, diadili, dan
dihukum. Tapi, mereka dibiarkan bebas berkeliaran.

Rangkaian peristiwa dalam konflik berdarah ini selalu menelan korban
dari kalangan umat Islam. Dalam insiden yang melibatkan kelompok Muslim
dan kristen di Taripa, Toyado, Labuan, Tentenna, dan Sintuwulemba,
terjadi serentak pada Mei 2000, lebih 1.000 umat Islam tewas dibunuh
dengan berbagai cara sadis, dan lainnya mengungsi, serta seluruh harta
bendanya dibakar dan dimusnahkan. Pada kurun Juni - Juli 2000, kembali
terjadi insiden di Tagolu, Sintuwulemba, Lembomawo, Watuawu, Ranononcu,
Pandiri, Kelei, Padang Marari, Poso Pesisir, dan Buyung Katedo, ratusan
umat Islam dibantai dan mayatnya dibuang ke sungai dan dikubur dalam
lobang-lobang pekuburan. 

Sementara itu, dalam inisden yang melibatkan aparat keamanan di
Kalimanya (April 2000), puluhan umat Islam tewas dan terluka oleh
berondongan tembakan Brimob; di Mapane (Oktober 2001), belasan umat
Islam tewas dan cedera juga oleh berondongan Brimob. Dalam insiden
Toyado (Desember 2001), 7 warga muslim tewas dan hilang, beberapa
terluka oleh berondongan tembakan TNI; dan seorang warga Poso tewas oleh
tembakan Polisi Resort Poso (November 2003).

Siapa yang teroris?
Kalau umat Islam selalu dijadikan target pembunuhan oleh kelompok dari
agama lain, sementara aparat keamanan (polisi/TNI) juga mengarahkan
target penghentian konflik dengan menembaki umat Islam, lantas ada pihak
keluarganya dari Jawa masuk ke Poso untuk memberi pertolongan, bukankah
ini wajar? Tapi apa yang terjadi, aparat menuding mereka sebagai teroris
yang menyulut kerusuhan.

Bahkan, dalam wawancara dengan ANTV (25/1/07), Irjenpol Arsyad Mboi,
Kepala Desk Anti-teror Menkopolhukham, dan AM Hendropriyono, mantan
Kepala BIN, secara tegas mengatakan bahwa yang membuat kerusuhan di Poso
adalah Jamaah Islamiyah. Persoalannya, bagaimana mereka yang membela
saudaranya yang teraniaya bisa dikatakan teroris, sedangkan para
pembantai umat Islam yang notabene combatant, bersenjata tajam dan senpi
seperti M-16 dan Thompson, serta punya rencana dan langkah rapi untuk
menghabisi umat Islam dengan cara sadis tak disebut teroris? 

Pada umumnya gerakan teroris tidak anti-pemerintah RI tapi
anti-pemerintah Amerika Serikat (AS). Di Poso, adakah gerakan teroris
menghancurkan fasilitas dan kepentingan asing serta menelan korban orang
asing, seoerti di Bali atau Jakarta? Nihil. Yang ada hanyalah umat Islam
yang membela diri. Maka, tidak tepat mengaduk terorisme dengan tragedi
Poso yang sangat menyakitkan hati. Konflik Poso jangan dipalingkan ke
isu terorisme internasional bikinan AS.

Sangat tidak etis dan tidak bertanggung jawab pejabat pemerintah dan
negara memberikan statement yang menyesatkan untuk membodohi rakyatnya.
Dalam hal combatant atau teroris bersenjata, masyarakat tahu siapa yang
menguasai senjata di negeri ini? Siapa yang mengedarkan senjata di
masyarakat? Siapa yang tidak menjaga gudang senjata yang meledak di
markas polisi di Tantui? Siapa yang menumpuk ratusan senjata dan amunisi
di rumah mendiang Brigjen Koesmayadi dan untuk apa? Siapa jenderal yang
ditangkap di AS terkait dengan perdagangan senjata?

Lantas, mengapa dibesar-besarkan sipil Muslim teroris? Padahal, banyak
orang non-Islam bersenjata dan membantai ribuan jiwa tak pernah disebut
teroris. Dalam kasus Poso, kalau ada umat Islam ditangkap, ia diberi
label teroris dan dijerat dengan pasal UU Terorisme, sedang kalau ada
teroris beragama non-Islam ditangkap, ia hanya dikenai pasal KUHP.
Begitu juga, mereka yang terlibat dalam konflik sebelum Perjanjian
Malino diputihkan, sedang mereka yang terlibat sesudahnya terus diburu.
Padahal, tidak ada pasal hukum yang membedakan perkara antara sebelum
dan sesudah Perjanjian Malino. Jika konflik Poso hendak diselesaikan,
rekayasa seperti itu harus lebih dahulu dihentikan.
 

Kirim email ke