Dina koran Kompas (Jumat, 2/3) poe ieu aya dua budak keur ngojay sataker
kebek di  Cikaengan di Kampung Bantar Bodas, Desa Simpang, Kecamatan
Cibalong, Kabupaten Garut. Sapatu/sendal, buku jeung baju seragamna
diacungkeun meh teu baseuh. Unggal poe bolak-balik kudu ngojay 70 meter, rek
indit/balik sakola..
Matak sedih, matak watir, ceurik hate teh...
Kumaha nya raraosan para pejabat/para pamingpin nu resep pidato jeung resep
korupsi ninggali eta kanyataan??

agushermawan


*Sebuah Perjuangan, 70 Meter Menuju Masa Depan *

*Adhitya Ramadhan*

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Pagi itu di tepi Sungai Cikaengan
cerah. Udara pagi masih dingin menusuk kulit. Di tepi Sungai Cikaengan di
Kampung Bantar Bodas, Desa Simpang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut,
Jawa barat, berkumpul sejumlah warga. Ada anak-anak, ada pula orang dewasa.

Yang dewasa ada yang memakai sarung dan ada pula yang masih bertelanjang
dada. Terlihat ada yang membawa anaknya yang masih balita. Sementara ada
beberapa anak kecil yang memakai seragam sekolah dasar putih merah.

Begitu sampai di tepi sungai, anak laki-laki yang berseragam SD itu kemudian
menanggalkan seragamnya dan langsung menyeberangi Sungai Cikaengan yang
lebarnya 70 meter pada kondisi air normal. Seragam putih merah, sandal
jepit, tas, buku, dan topi mereka pegang dengan tangan kanan, sementara
tangan kirinya untuk berenang.

Anak-anak perempuan kebanyakan masih memakai pakaian sehari-hari. Mereka
biasanya diseberangkan oleh orangtuanya atau siapa pun yang kebetulan ada di
tepian sungai.

Beberapa di antara mereka ada yang belum mandi. Biasanya, sekalian
menyeberang sungai sekalian mereka mandi.

Sungai Cikaengan yang bermuara ke laut selatan itu memisahkan Kecamatan
Cibalong, Garut, dengan Desa Campakasari, Kecamatan Bojonggambir,
Tasikmalaya. Mereka sekolah di SDN Karyasari yang letaknya terpencil di
Kabupaten Tasikmalaya.

Letak Desa Campakasari sekitar 100 kilometer dari pusat kota Tasikmalaya dan
45 kilometer dari Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan
Kecamatan Bojonggambir.

Untuk mencapai SDN Karyasari dari Kantor UPTD Pendidikan perlu waktu sekitar
dua jam dengan ojek, dengan ongkos Rp 60.000 sekali jalan. Itu pun kalau
tidak hujan. Jika hujan, ongkos pun semakin tinggi dan waktu tempuh bisa
bertambah lama.

Pada kondisi normal, kedalaman air Sungai Cikaengan setinggi dada hingga
leher orang dewasa. Pada kondisi ini, biasanya anak laki-laki dapat
menyeberang sendiri, sedangkan anak perempuan diseberangkan dengan
berpegangan pada tangan orangtua mereka.

Kadang-kadang jika kedalaman air mencapai leher orang dewasa, anak-anak
diseberangkan dengan digendong di pundak orang dewasa yang menyeberangkan.

Begitu sampai di seberang, di Desa Campakasari, anak laki-laki itu langsung
memakai kembali seragamnya. Anak perempuan berganti pakaian di sebuah gubuk
di ladang, tidak jauh dari sungai. Baju mereka yang basah dijemur di dekat
SDN Karyasari.

Setelah itu, mereka masuk sekolah seperti anak-anak yang lain, yang tidak
harus menyeberangi sungai.

Setelah lonceng pulang berbunyi, anak-anak tadi kembali berganti "seragam".
Baju seragam sekolah ditanggalkan dan "seragam" untuk menyeberang sungai
yang tadi dijemur dipakai kembali. Mereka berjalan beriringan menuju sungai.


Di sana sudah menanti orangtua yang siap menyeberangkan anak-anaknya.
Kalaupun orangtuanya tidak ada karena masih di kebun, biasanya mereka
dibantu diseberangkan oleh siapa saja yang kebetulan hendak menyeberang
sungai.

Aktivitas rutin menyeberangi sungai tersebut dilakukan oleh sekitar 20 siswa
SDN Karyasari yang terletak di Desa Campakasari, Kabupaten Tasikmalaya. SDN
Karyasari adalah SD terdekat dari Desa Simpang. Memang ada madrasah
ibtidaiyah, tetapi jaraknya tiga kilometer dengan kondisi jalan yang hancur.
Akibatnya, ketika air sungai pasang, anak-anak tadi terpaksa tidak sekolah
karena air sungai meluap. Lebarnya bisa mencapai 100 meter dengan kedalaman
lebih dari dua meter.

Jika air naik sewaktu anak- anak pulang sekolah, mereka terpaksa menginap di
sekolah atau di rumah saudaranya. Air sungai biasanya baru surut sekitar
satu minggu. Selama itu juga mereka harus terus berada di sekolah atau rumah
saudara dengan hanya berbekal seragam sekolah dan "seragam" menyeberang.

Resti (12), siswa kelas VI SDN Karyasari, mengatakan, memang rasanya sungguh
membosankan setiap hari harus menyeberang sungai. Namun, itu mau tidak mau
tetap dia lakukan karena ia ingin mendapat ilmu pengetahuan di sekolah.
"Saya ingin tetap meneruskan sekolah biar nanti bisa jadi guru," ujarnya
mantap.

Meskipun sudah bosan setiap hari menyeberangkan anak- anak, tokoh masyarakat
dari Desa Simpang, H Toto Subhatori mengatakan, anak-anak tetap harus pergi
ke sekolah. "Pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak. Kami ingin
anak-anak kami yang di kampung ini tidak ketinggalan dari anak-anak kota
dalam hal pendidikan. Itu sebabnya, walau bosan dan kesal, mereka harus
tetap kami antar," tutur Toto.

Masyarakat sempat beberapa kali membeli perahu sebagai alat penyeberangan,
tetapi terbawa arus ketika air pasang tiba. Akhirnya masyarakat bosan dan
lelah harus mengeluarkan uang berulang kali untuk membeli perahu.

Tidak adanya jembatan yang menghubungkan Desa Simpang dengan Desa
Campakasari amat berpengaruh terhadap angka putus sekolah di daerah
setempat. Menurut Toto, masih banyak anak-anak di desanya yang tidak sekolah
karena merasa lelah jika harus menyeberang sungai setiap hari menuju
sekolah. Tidak jarang, anak-anak berhenti sekolah karena alasan yang sama.

"Coba saja ada jembatan, pasti banyak yang sekolah, apalagi SDN Karyasari
bagian dari sekolah satu atap dengan SMP," kata Wawan Burhanudin, Kepala SDN
Karyasari.

Menurut Wawan, seharusnya pemerintah memberi perhatian lebih pada sekolah
terpencil karena memiliki peran yang tidak kecil pada program wajib belajar
sembilan tahun.

Wawan mengakui, bantuan multimedia, seperti komputer, proyektor, televisi,
dan alat musik, memang diberikan pemerintah pusat. Namun, semua itu tidak
beroperasi optimal akibat belum adanya aliran listrik ke sekolah tersebut.
Oleh karena itu, kata Wawan, sebaiknya pembangunan pendidikan di daerah
terpencil melibatkan sektor lain yang saling terkait.

Peningkatan mutu pendidikan juga harus dibarengi pembangunan infrastruktur.
Misalnya, jembatan yang selama ini diharapkan warga Desa Simpang tentu
bukanlah tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional.

Kepala Seksi Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya Ahmad
Juhana menuturkan, di Tasikmalaya ada 114 sekolah terpencil. Biasanya,
infrastruktur ke sekolah tersebut rusak parah bahkan hancur dan belum ada
aliran listrik. Masyarakat di sekitar sekolah pun identik dengan masyarakat
ekonomi lemah dan tertinggal.

"Kemampuan pemerintah sangat terbatas untuk menangani sekolah terpencil.
Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan pihak ketiga," kata Ahmad Juhana.

Keberadaan sekolah di daerah terpencil jelas ikut menyukseskan program wajib
belajar sembilan tahun. Menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi perhatian
lebih kepada mereka. Sekolah di daerah terpencil tak dapat dilihat sebelah
mata.

Kirim email ke