Assalamu alaikum, Hapunten sateuacana. Bok bilih aya kulawargi 'urang Sunda' nu ngabandungan perkawis kasus 'penyadapan sms wartawan TEMPO', sim kuring neda waktos sareng izinna kangge ngagelar ieu'klarifikasi'. Sanes kukumaha, mung mugia wae janten langkung jenre, kusabab din Koran Tempo 22/9, nami sim kuring dibawa-bawa.
Punten, sareng hatur nuhun. Darmawan Sepriyossa Klarifikasi Atas Pelibatan dalam Kasus Tempo-Raja Garuda Mas Pada awalnya saya tidak berniat untuk membuat sebuah pernyataan tertulis, meski sejak tiga pekan terakhir nama saya selalu disebut-sebut dan dikaitkan dengan beredarnya salinan transkripsi percakapan pesan pendek (SMS) dari dan kepada telepon seluler wartawan Tempo, Metta Dharma Saputra. Selain pengkaitan itu masih sebatas rumors, desas-desus, yang membuat saya sukar mengalamatkan kepada pihak mana klarifikasi harus saya tujukan, secara psikologis aneka rumors itu belum membawa pengaruh pada diri saya. Hingga Sabtu pagi (22/9) lalu, ketika banyak teman meng-SMS dan meminta saya membaca Koran Tempo edisi hari itu. Pada sebuah halaman, tertulis berita yang mengindikasikan bahwa Koran Tempo menuding saya terlibat sebagai apa yang mereka yakini penyebar salinan hasil penyadapan SMS dari telepon seluler Metta. Sejak itulah saya merasa harus membuat klarifikasi, agar berbagai pihak yang peduli dan menginginkan kejelasan persoalan ini, terutama yang berkaitan dengan diri saya, menjadi tahu duduk perkara yang sebenarnya. Izinkan saya merunut kembali peristiwa ini, dan keterlibatan saya di dalamnya. 1. Ahad, 26 Agustus 2007, Saat membuka internet di rumah (Ahad itu saya libur) pada situs Antara saya menemukan berita berjudul Pengusaha Besar Disinyalir Backing Pembobol Asian Agri. Pada berita yang turun menjelang magrib itu, antara lain tertulis, polisi menengarai dugaan adanya konspirasi dalam pemberitaan di sebuah media cetak nasional. Polisi menduga konspirasi tersebut terjalin antara seorang pengusaha nasional dengan seorang wartawan media cetak nasional berinisial M untuk mendukung Vincent, sumbernya, dan terpidana dalam kasus pembobolan Asian Agri. Disinyalir, dukungan tersebut diberikan melalui wartawan M tersebut, yang dalam tulisan itu disebutkan akan segera dipanggil Polda Metro Jaya. Tidak hanya itu, Antara juga menulis bahwa penyidik menyebutkan, sang pengusaha (ditulis E oleh Antara) telah memberikan dana sebesar Rp 70 juta kepada terpidana Vincent melalui wartawan media cetak nasional tersebut. Sampai di sini, sensitivitas saya sebagai wartawan pun muncul. Siapa M? Di media cetak nasional mana ia bernaung selama ini? Meski ada banyak hal yang belum ditulis dalam berita Antara tersebut, ada pertanyaan besar yang secara refleks muncul pada diri saya, tidakkah sang wartawansebelum ia bisa tuntas menjelaskan persoalannyalayak dicurigai telah melanggar etika jurnalistik? 1. Senin 27 Agustus. Siang itu, sebelum masuk kerja, saya mendatangi rekan saya sesama alumnus Tempo, Setiyardi Negara, di kantornya di bilangan Mampang Prapatan, Jaksel. Selain hubungan pertemanan yang telah terjalin lama sejak sama-sama masuk Majalah Tempo pada 1998, saya pun punya utang tulisan untuk mengisi satu kolom di 69++, majalah gaya hidup gratis yang dikelola Setiyardi. Tidak hanya saya, beberapa alumnus, bahkan teman yang masih aktif di Tempo sendiri, sering membantu mengisi halaman secara gratis. Kami tahu Setiyardi masih merintis majalahnya itu. Kami pikir alangkah baiknya kalau bisa membantu. Minimal, Setiyardi tidak harus mengeluarkan dana lebih banyak lagi untuk membayar honor penulis, dan bisa menggunakan dana lebih efektif. Bayar gaji karyawan tepat waktu, misalnya. Saat itulah, saya tahu bahwa M" yang ditulis Antara adalah Metta Dharma Saputra, rekan kami di Tempo. Saya tahu dari obrolan dengan Setiyardi, yang menceritakan hal tersebut dengan penuh peduli. Hal yang sama kemudian saya alami. Mengapa? Jujur harus saya akui, sejak bergabung dengan Majalah Tempo pada 1998, saya merasa mendapat banyak hal. Sejak bergabung, Tempo tidak saja telah menafkahi saya dan keluarga dari hasil keringat saya mengejar sumber, menggali berita dan menuliskannya. Lebih dari itu, kebanggaan akan profesi, pengetahuan dasar menggali berita, mewawancarai nara sumber, dan cara menulis serta kiat-kiatnya, juga saya dapatkan dari Tempo. Adapun saya kemudian memutuskan keluar dari Majalah Tempo, itu sama sekali tidak menghalangi rasa cinta dan kebanggaan saya sebagai bagian dari keluarga alumni. Hingga sebelum maraknya masalah ini di Tempo, secara berkala saya masih sering datang ke kantor Majalah Tempo, Jalan Proklamasi 72 Jakarta. Biasanya pada malam Sabtu, saat deadline. Kalau sedang ada rejeki, kami biasanya keluar kantor,--paling ke TIM, sekadar cari minum atau makanan kecil. Bila kebetulan bokek, kami puas hanya mengobrol di Proklamasi, hingga tulisan teman-teman kelar. Kebetulan, seorang rekan Tempo tinggal di wilayah Bekasi, sebagaimana halnya saya. Kami bisa pulang bersama dan urunan ongkos taksi, biasanya. M sebagai Metta juga kami ketahui dari copy surat pemanggilan polisi terhadap ybs. Saat itu pula kami berdua tercengang membaca salinan SMS Metta. Saya tidak bertanya darimana Setiyardi mendapatkan salinan tersebut. Selama enam tahun di Majalah Tempo, saya mengenal Setiyardi sebagai rekan satu angkatan yang ulet, tekun, punya loby yang bagus atas banyak nara sumber. Saya masih ingat, saat tahun 2000, diantara kawan seangkatan, Setiyardilah yang gajinya naik paling tinggi. Semua memang berhubungan dengan kemampuan dan loby dia. Jadi, ketika ia memiliki salinan itu, saya merasa wajar-wajar saja. Apalagi, wartawan,--bahkan wartawan malas sekalipunbukan tidak mungkin sekali waktu dapat bocoran hanya gara-gara sedang beruntung alias hoky semata. Namun siang itu saya tidak berusaha mendapatkan copy salinan transkripsi SMS tersebut. Setiba di kantor, beberapa teman Republika juga ternyata ramai membincangkan hal itu. Akhirnya saya katakan, saya ada teman yang punya salinan transkripsi tersebut. Besok saya bawa, kata saya. Malam itu, sepulang kerja saya menyempatkan waktu datang kembali ke Mampang dan mengambil copy salinan transkripsi SMS Metta tersebut. Malam itu, berbesar hati dengan temuan tersebut saya menelepon atasan saya, Wapemred Republika, Mas Nasihin. Inginnya saya minta kavling untuk menulis hal itu kepada Redpel saya, Mas Aris Hilman. Bagi saya saat itu, masalah tersebut sangat seksi untuk ditulis. Persoalannya, karena biasanya Mas Aris sukar dikontak, Mas Nasihinlah yang saya telepon. Hanya karena saat itu ybs tengah mengendarai mobil di jalan tol, obrolan juga tidak jelas. Selain bising, hubungan telepon juga sempat terputus. Hubungan telepon terhenti, bahkan mungkin saja tanpa Mas Nasihin bisa sepenuhnya mencerna apa yang saya utarakan. 3. Selasa, 28 Agustus. Pagi itu, saat membuka situs Detik.com, saya menemukan bahwa Detik sudah menulis persoalan tersebut lebih jauh lagi, malam sebelumnya (Senin malam, sekitar pukul 21.00). Pada berita berjudul Polda Metro Masih Tunggu Saksi Pembobol Asian Agri, bahkan sudah tidak ada lagi inisial M, melainkan sudah tertera jelas Metta Dharma Saputra. Pagi itu pula saya mengirimkan SMS kepada pendiri Tempo, Goenawan Mohammad (GM). Isinya, saya bertanya apakah GM telah memiliki atau setidaknya membaca salinan transkripsi SMS yang melibatkan Metta tersebut. Mengapa GM, bukan Bambang Harimurty ataupun Toriq Hadad yang masih menjabat di jajaran direksi Tempo? Enam tahun di Proklamasi meyakinkan saya bahwa GM-lah orang Tempo yang paling peduli soal etika pers. Mungkin karena kesibukan, GM tidak segera membalas SMS saya. Saat itu pun saya menelepon Alfian Hamzah, rekan saya di Pena Indonesia. Selain teman korespondensi sejak lama, Alfian juga jembatan paling cepat ke Farid Gabansalah seorang mentor dan mantan atasan saya di Tempo--yang sukar dihubungi via telepon. Saya merasa berkepentingan meminta saran dan pandangan Farid soal itu. Dengan Alfian, kami akhirnya sepakat bertemu, hari berikutnya. Sorenya, pukul 17.07.35 WIB (masih tercatat di hp saya), GM membalas SMS saya. Saya belum tahu perkaranya, Dhar. Ada apa? Saya balas bahwa ada kutipan SMS Metta yang membuat saya shock. Waktu itu saya tidak sempat menjelaskan apa saja kutipan SMS tersebut. Hanya saya sempat menulis soal kemungkinan adanya persoalan pelanggaran etika. Saya ingin menelepon GM sebetulnya. Hanya sejak dua hari sebelumnya operator telepon yang saya pakai memberi tahu bahwa kredit limit pulsa saya mepet. Karena GM tak lagi meng-SMS, hubungan SMS itu pun terputus hingga SMS balasan dari saya tersebut. Siang itu, di Republika sendiri saya akhirnya tak jadi membawa usulan untuk menulis soal temuan itu di rapat. Sebelum rapat, beberapa kawan menyatakan sesuatu yang membuat saya tahu diri. Tak mungkin kami menulis hal itu. Rapat pun berjalan tanpa sekalipun membicarakan soal tersebut. Rabu, 29 Agustus Siang itu, saat bertemu Alfian di satu warung makan, Alfian terlibat pembicaraan telepon dengan Mardiyah, wartawan Tempo. Karena terdengar berkepentingan, saya akhirnya terlibat pembicaraan telepon dengan Mardiyah, via seluler Alfian. Saya katakan, kalau perlu salinannya, silakan ambil di Buncit. Sore itu, ke kantor datang seorang kurir dari Tempo untuk mengambil salinan transkripsi SMS Metta. Sore itu pun Budi Setyarsorekan Tempo yang sedang bertugas di majalahmenelepon, dan sebagaimana Mardiyah, minta salinan. Karena masih tersisa satu, saya katakan datang saja ke Republika. Namun karena Budi baru bisa datang saat saya perkirakan pekerjaan saya sudah kelar, saya titipkan salinan itu di resepsionis. Beres kerja, saya kontak Alfian Hamzah di kantornya di Tebet. Saat Alfian bilang Farid ada di tempat, saya katakan akan datang. Farid bahkan minta saya datang, setelah kemudian saya kontak langsung dengan dia. Dalam perjalanan ke Tebet, Setiyardi mengontak seluler saya. Saya katakan, saya akan ke Farid, ke Tebet. Ya udah, aku nyusul, kata Setiyardi. Setiyardi sendiri datang hanya bertenggang sekitar lima menit dari kedatangan saya di kantor Pena Indonesia. Segera saja saya, Alfian, Setiyardi dan Farid terlibat obrolan seputar SMS Metta. Farid sendiri, meski saat itu belum mengambil konklusi apapun--sangat peduli dengan persoalan tersebut. Sebagai tambahan, ia juga khawatir dengan fakta penyadapan SMS itu. Jujur saja, sebagai pengguna hp, saya juga khawatir. Persoalannya, dalam urusan kepedulian kami akan Tempo, itu menjadi soal lain. Belum lagi diskusi berjalan setengah jam, datang SMS yang memberitahukan istri saya pingsan dan dibawa ke RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Saya segera minta diri pulang. Karena diskusi sendiri masih hangat, wajar bila Setiyardi tetap di tempat. Kamis, 30 Agustus Sejak hari itu saya sudah berada di Bandung untuk ikut pelatihan Bank Mandiri, hingga Sabtu 1 September. Tugas dari pimpinan. Siang itu saya menerima telepon dari S Malela Mahargasarie, salah seorang direktur Tempo. Ybs minta salinan dokumen tersebut. Saya katakan, buat apa minta ke saya, toh sudah ada dua orang Tempo yang punya. Ternyata, permintaan itu tampaknya hanya entry point untuk masuk kepada hal pokok, menuding saya sebagai penyebar salinan tersebut ke media-media massa. Saya katakan, Betul Mas, bila yang dimaksud media itu adalah Tempo. Saya memberikan salinan itu kepada dua orang Tempo, Mardiyah dan Budi Setyarso. Telepon putus setelah basa-basi yang lupa saya ingat. Setelah 30 Agustus Persoalannya, setelah itu saya mendengar, dari beberapa teman yang menelepon, masalah kemudian merembet berbagai hal. Ada cerita bahwa saya dan Setiyardi mendapat uang sekian miliar dari RGM untuk memblow-up kasus itu. Kabar lain menyatakan saya melakukan roadshow, mendatangi berbagai media massa dan berkampanye untuk meminta menulis soal tersebut. Dan sebagainya dan lain-lain. Saya juga beberapa kali mendapatkan telepon dari beberapa teman Tempo. Mereka bertanya soal diskusi yang diadakan teman saya Setiyardi berkaitan dengan kasus tersebut. Saya jawab sejujurnya, saya tidak tahu dan tidak terlibat. Tetapi sebagaimana biasa, saya terlanjur mendapatkan cap, sehingga tampaknya, apapun yang saya katakan, tidak bisa teman-teman Tempo percayai. Sadar akan hal itu, saya kemudian berazam untuk tidak melayani permintaan wawancara oleh Tempo,--sesuatu yang saya prediksi akan dilakukan melihat betapa aktifnya Tempo menulis kasus tersebut, hari demi hari. Jujur, saya takut pernyataan saya hanya menjadi justifikasi atas sesuatu yang masih diperlukan Tempo untuk melibatkan saya dalam kasus ini. Benar saja, Senin (17/9) malam lalu, saya dihubungi seorang wartawan Koran Tempo, mengaku bernama Yoga. Dia langsung bertanya, dari siapa saya mendapatkan salinan transkripsi SMS tersebut. Saya tanya, apakah ini wawancara? Bila ya, saya tidak akan menjawab. Saya baru melayani pertanyaan Yoga saat ia menyatakan hanya ingin ngobrol. Saya pikir, satu dua kesalahanpaling tidak di mata saya-- tidak harus membuat saya kehilangan kepercayaan terhadap Tempo dan awaknya. Saya layani Yoga, adik angkatan saya tersebut ngobrol. Tidak lama, karena saya pun tengah mengerjakan halaman tambahan sebab sakitnya teman di Republika. Ketika dia bertanya lebih jauh, saya katakan, Hubungi saja Setiyardi. Mungkin ia tahu lebih banyak. Benar ucapan Yoga bisa saya pegang karena esoknya obrolan kami itu tidak diterbitkan. Kalau tidak salah, dua hari kemudian, Rabu (19/9), saya dihubungi rekan Tempo yang lain, Eni Saeni. Karena Eni minta wawancara, saya kembali tegaskan penolakan saya. Baru ketika Eni pun menyatakan hanya obrolan antarteman, saya layani. Rasanya, dalam keterbatasan waktu untuk bertemu, alangkah kejinya kalau silaturahmi via telepon pun harus ditolak, bila memang ada waktu. Sebagaimana kepercayaan saya kepada ybs, Eni pun tidak menurunkan tulisan itu esok paginya. Saya baru dengan tegas menutup telepon ketika Jumat (21/9) siang dihubungi Adek Media Roza, rekan Koran Tempo yang lain. Adek terus terang minta wawancara, dan saya pun telah merasa cukup bila kembali harus ngobrol soal itu. Jadi ketika Adek terus mendesak saya, dengan berat hati saya kemudian mematikan hand pone. Tak ada wawancara, hingga kemudian Sabtu (22/9) pagi itu muncul kutipan saya di Koran Tempo. Satu hal yang tidak membuat apapun pada diri saya,--paling tidak hingga Senin (24/9) pagi ini, kecuali menghela nafas. Ya apa lagi, kecuali memaafkan. Satu hal saja ingin saya tekankan pada pernyataan saya ini, saya menolak tudingan sebagai penyebar salinan transkripsi SMS Metta, sebagaimana tampaknya sangat diyakini Tempo. Karena beranjak dari kepedulian saya akan Tempo, almamater tempat saya menjadi wartawan, kepedulian itu tentu harus saya kubur di dasar hati saya, manakala respons Tempo terhadap apa yang saya lakukan itu justru sebuah tudingan. Satu hal yang saya simpulkan dari pembicaraan telepon dengan Mas Malela. Tiada hak saya untuk memaksa Tempo menjadikan kasus ini masalah internal mereka, bila memang mereka tidak menganggap ada masalah. Saya merasa telah cukup dengan memberitahu Mas GM dan memberikan salinan itu kepada dua orang awak Tempo. Selebihnya bagi saya, biarlah Tempo sendiri yang mengurusnya. Demikian, semoga bermanfaat. Jakarta, 24 September 2007 Darmawan Sepriyossa ____________________________________________________________________________________ Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545433