Haturan Yayi Dhar. Lami teu tepang. Kuring rada kuay-kuay kana eta
pasualan. Sabengbatan aya kesan profesi wartawan keur "dirobeda". Upama
Yayi henteu "tabayun" na ieu milis, jigana geus cop wae kana eta
sangkaan. Keur mah eukeur hirup di lembur, seueur kakantun.

Copelna, jadi aya nu namper. Yen wartawan teh warga biasa nu keuna ku
owah gingsir. Hehehe! Emut waktos ngokolakeun Presidium Sema. Kuring
maphum, ketak Yayi harita. Upama tea mah ayeuna nuju kadeseh ku kaayaan,
sing tatag wae. Mudah-mudahan Yayi tiasa ngundeur hikmahna.

Duddy RS
Indihiang



--- In urangsunda@yahoogroups.com, jaka ekalaya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Assalamu alaikum,
>
> Hapunten sateuacana. Bok bilih aya kulawargi 'urang
> Sunda' nu ngabandungan perkawis kasus 'penyadapan sms
> wartawan TEMPO', sim kuring neda waktos sareng izinna
> kangge ngagelar ieu'klarifikasi'. Sanes kukumaha, mung
> mugia wae janten langkung jenre, kusabab din Koran
> Tempo 22/9, nami sim kuring dibawa-bawa.
>
> Punten, sareng hatur nuhun.
>
> Darmawan Sepriyossa
>
>
>
> Klarifikasi Atas Pelibatan
> dalam Kasus Tempo-Raja Garuda Mas
>
> Pada awalnya saya tidak berniat untuk membuat sebuah
> pernyataan tertulis, meski sejak tiga pekan terakhir
> nama saya selalu disebut-sebut dan dikaitkan dengan
> beredarnya salinan transkripsi percakapan pesan pendek
> (SMS) dari dan kepada telepon seluler wartawan Tempo,
> Metta Dharma Saputra.
> Selain pengkaitan itu masih sebatas rumors,
> desas-desus, yang membuat saya sukar mengalamatkan
> kepada pihak mana klarifikasi harus saya tujukan,
> secara psikologis aneka rumors itu belum membawa
> pengaruh pada diri saya.
>
> Hingga Sabtu pagi (22/9) lalu, ketika banyak teman
> meng-SMS dan meminta saya membaca Koran Tempo edisi
> hari itu. Pada sebuah halaman, tertulis berita yang
> mengindikasikan bahwa Koran Tempo menuding saya
> terlibat sebagai apa yang mereka yakini  `penyebar
> salinan hasil penyadapan SMS dari telepon seluler
> Metta'. Sejak itulah saya merasa harus membuat
> klarifikasi, agar berbagai pihak yang peduli dan
> menginginkan kejelasan persoalan ini, terutama yang
> berkaitan dengan diri saya, menjadi tahu duduk perkara
> yang sebenarnya.
>
> Izinkan saya merunut kembali peristiwa ini, dan
> keterlibatan saya di dalamnya.
>
> 1. Ahad, 26 Agustus 2007,
> Saat membuka internet di rumah (Ahad itu saya libur)
> pada situs Antara saya menemukan berita berjudul
> "Pengusaha Besar Disinyalir `Backing' Pembobol Asian
> Agri."  Pada berita yang turun menjelang magrib itu,
> antara lain tertulis, polisi menengarai dugaan adanya
> konspirasi dalam pemberitaan di sebuah media cetak
> nasional. Polisi menduga konspirasi tersebut terjalin
> antara seorang pengusaha nasional dengan seorang
> wartawan media cetak nasional berinisial "M" untuk
> mendukung Vincent, sumbernya, dan terpidana dalam
> kasus pembobolan Asian Agri. Disinyalir, dukungan
> tersebut diberikan melalui wartawan M tersebut, yang
> dalam tulisan itu disebutkan akan segera dipanggil
> Polda Metro Jaya.
>
> Tidak hanya itu, Antara juga menulis bahwa penyidik
> menyebutkan, sang pengusaha (ditulis "E" oleh Antara)
> telah memberikan dana sebesar Rp 70 juta kepada
> terpidana Vincent melalui wartawan media cetak
> nasional tersebut.
>
> Sampai di sini, sensitivitas saya sebagai wartawan pun
> muncul. Siapa "M"? Di media cetak nasional mana ia
> bernaung selama ini? Meski ada banyak hal yang belum
> ditulis dalam berita Antara  tersebut, ada pertanyaan
> besar yang secara refleks muncul pada diri saya,
> tidakkah sang wartawan—sebelum ia bisa tuntas
> menjelaskan persoalannya—layak dicurigai telah
> melanggar etika jurnalistik?
>
> 1. Senin 27 Agustus.
> Siang itu, sebelum masuk kerja, saya mendatangi rekan
> saya sesama alumnus Tempo, Setiyardi Negara, di
> kantornya di bilangan Mampang Prapatan, Jaksel.
> Selain hubungan pertemanan yang telah terjalin lama
> sejak sama-sama masuk Majalah Tempo pada 1998, saya
> pun punya utang tulisan untuk mengisi satu kolom di
> 69++, majalah gaya hidup gratis yang dikelola
> Setiyardi. Tidak hanya saya, beberapa alumnus, bahkan
> teman yang masih aktif di Tempo sendiri, sering
> membantu mengisi halaman secara gratis.
>
> Kami tahu Setiyardi masih merintis majalahnya itu.
> Kami pikir alangkah baiknya kalau bisa membantu.
> Minimal, Setiyardi tidak harus mengeluarkan dana lebih
> banyak lagi untuk membayar honor penulis, dan bisa
> menggunakan dana lebih efektif. Bayar gaji karyawan
> tepat waktu, misalnya.
>
> Saat itulah, saya tahu bahwa "M" yang ditulis Antara
> adalah Metta Dharma Saputra, rekan kami di Tempo. Saya
> tahu dari obrolan dengan Setiyardi, yang menceritakan
> hal tersebut dengan penuh peduli. Hal yang sama
> kemudian saya alami.
>
> Mengapa? Jujur harus saya akui, sejak bergabung dengan
> Majalah Tempo pada 1998, saya merasa mendapat banyak
> hal. Sejak bergabung, Tempo tidak saja telah menafkahi
> saya dan keluarga dari hasil keringat saya mengejar
> sumber, menggali berita dan menuliskannya. Lebih dari
> itu, kebanggaan akan profesi, pengetahuan dasar
> menggali berita, mewawancarai nara sumber,  dan cara
> menulis serta kiat-kiatnya, juga saya dapatkan dari
> Tempo.
>
> Adapun saya kemudian memutuskan keluar dari Majalah
> Tempo, itu sama sekali tidak menghalangi rasa cinta
> dan kebanggaan saya sebagai bagian dari keluarga
> alumni. Hingga sebelum maraknya masalah ini di Tempo,
> secara berkala saya masih sering datang ke kantor
> Majalah Tempo, Jalan Proklamasi 72 Jakarta. Biasanya
> pada malam Sabtu, saat deadline.
>
> Kalau sedang ada rejeki, kami biasanya keluar
> kantor,--paling ke TIM,  sekadar cari minum atau
> makanan kecil. Bila kebetulan bokek, kami puas hanya
> mengobrol di Proklamasi, hingga tulisan teman-teman
> kelar. Kebetulan, seorang rekan Tempo tinggal di
> wilayah Bekasi, sebagaimana halnya saya. Kami bisa
> pulang bersama dan urunan ongkos taksi, biasanya.
>
> "M" sebagai Metta juga kami ketahui dari copy surat
> pemanggilan polisi terhadap ybs. Saat itu pula kami
> berdua tercengang membaca salinan SMS Metta. Saya
> tidak bertanya darimana Setiyardi mendapatkan salinan
> tersebut. Selama enam tahun di Majalah Tempo, saya
> mengenal Setiyardi sebagai rekan satu angkatan yang
> ulet, tekun, punya loby yang bagus atas banyak nara
> sumber. Saya masih ingat, saat tahun 2000, diantara
> kawan seangkatan, Setiyardilah yang gajinya naik
> paling tinggi. Semua memang berhubungan dengan
> kemampuan dan loby dia. Jadi, ketika ia memiliki
> salinan itu, saya merasa wajar-wajar saja.
>
> Apalagi, wartawan,--bahkan wartawan malas
> sekalipun—bukan tidak mungkin sekali waktu dapat
> `bocoran' hanya gara-gara sedang beruntung alias hoky
> semata.
>
> Namun siang itu saya tidak berusaha mendapatkan copy
> salinan transkripsi SMS tersebut.
>
> Setiba di kantor, beberapa teman Republika juga
> ternyata ramai membincangkan hal itu. Akhirnya saya
> katakan, saya ada teman yang punya salinan transkripsi
> tersebut. "Besok saya bawa," kata saya. Malam itu,
> sepulang kerja saya menyempatkan waktu datang kembali
> ke Mampang dan mengambil copy salinan transkripsi SMS
> Metta tersebut.
>
> Malam itu, berbesar hati dengan temuan tersebut saya
> menelepon atasan saya, Wapemred Republika, Mas
> Nasihin. Inginnya saya minta kavling untuk menulis hal
> itu kepada Redpel saya, Mas Aris Hilman. Bagi saya
> saat itu, masalah tersebut sangat seksi untuk ditulis.
> Persoalannya, karena biasanya Mas Aris sukar dikontak,
> Mas Nasihinlah yang saya telepon.
>
> Hanya karena saat itu ybs tengah mengendarai mobil di
> jalan tol, obrolan juga tidak jelas. Selain bising,
> hubungan telepon juga sempat terputus. Hubungan
> telepon terhenti, bahkan mungkin saja tanpa Mas
> Nasihin bisa sepenuhnya mencerna apa yang saya
> utarakan.
>
> 3. Selasa, 28 Agustus.
>
> Pagi itu, saat membuka situs Detik.com, saya menemukan
> bahwa Detik sudah menulis persoalan tersebut lebih
> jauh lagi, malam sebelumnya (Senin malam, sekitar
> pukul 21.00). Pada berita berjudul "Polda Metro Masih
> Tunggu Saksi Pembobol Asian Agri", bahkan sudah tidak
> ada lagi inisial "M", melainkan sudah tertera jelas
> Metta Dharma Saputra.
>
> Pagi itu pula saya mengirimkan SMS kepada pendiri
> Tempo, Goenawan Mohammad (GM). Isinya, saya bertanya
> apakah GM telah memiliki atau setidaknya membaca
> salinan transkripsi SMS yang melibatkan Metta
> tersebut.
>
> Mengapa GM, bukan Bambang Harimurty ataupun Toriq
> Hadad yang masih menjabat di jajaran direksi Tempo?
> Enam tahun di Proklamasi meyakinkan saya bahwa GM-lah
> orang Tempo yang paling peduli soal etika pers.
> Mungkin karena kesibukan, GM tidak segera membalas SMS
> saya.
>
> Saat itu pun saya menelepon Alfian Hamzah, rekan saya
> di Pena Indonesia. Selain teman korespondensi sejak
> lama, Alfian juga jembatan paling cepat ke Farid
> Gaban—salah seorang mentor dan mantan atasan saya di
> Tempo--yang sukar dihubungi via telepon. Saya merasa
> berkepentingan meminta saran dan pandangan Farid soal
> itu. Dengan Alfian, kami akhirnya sepakat bertemu,
> hari berikutnya.
>
> Sorenya, pukul 17.07.35 WIB (masih tercatat di hp
> saya), GM membalas SMS saya. "Saya belum tahu
> perkaranya, Dhar. Ada apa?"  Saya balas bahwa ada
> kutipan SMS Metta yang membuat saya shock. Waktu itu
> saya tidak sempat menjelaskan apa saja kutipan SMS
> tersebut. Hanya saya sempat menulis soal kemungkinan
> adanya persoalan pelanggaran etika.
>
> Saya ingin menelepon GM sebetulnya. Hanya sejak dua
> hari sebelumnya operator telepon yang saya pakai
> memberi tahu bahwa kredit limit pulsa saya mepet.
> Karena GM tak lagi meng-SMS, hubungan SMS itu pun
> terputus hingga SMS balasan dari saya tersebut.
>
> Siang itu, di Republika sendiri saya akhirnya tak jadi
> membawa usulan untuk menulis soal temuan itu di rapat.
> Sebelum rapat, beberapa kawan menyatakan sesuatu yang
> membuat saya tahu diri. Tak mungkin kami menulis hal
> itu.   Rapat pun berjalan tanpa sekalipun membicarakan
> soal tersebut.
>
> Rabu, 29 Agustus
> Siang itu, saat bertemu Alfian di satu warung makan,
> Alfian terlibat pembicaraan telepon dengan Mardiyah,
> wartawan Tempo. Karena terdengar berkepentingan, saya
> akhirnya terlibat pembicaraan telepon dengan Mardiyah,
> via seluler Alfian. Saya katakan, kalau perlu
> salinannya, silakan ambil di Buncit.
>
> Sore itu, ke kantor datang seorang kurir dari Tempo
> untuk mengambil salinan transkripsi SMS Metta. Sore
> itu pun Budi Setyarso—rekan Tempo yang sedang bertugas
> di majalah—menelepon, dan sebagaimana Mardiyah, minta
> salinan. Karena masih tersisa satu, saya katakan
> datang saja ke Republika. Namun karena Budi baru bisa
> datang saat saya perkirakan pekerjaan saya sudah
> kelar, saya titipkan salinan itu di resepsionis.
>
> Beres kerja, saya kontak Alfian Hamzah di kantornya di
> Tebet. Saat Alfian bilang Farid ada di tempat, saya
> katakan akan datang. Farid bahkan minta saya datang,
> setelah kemudian saya kontak langsung dengan dia.
>
> Dalam perjalanan ke Tebet, Setiyardi mengontak seluler
> saya. Saya katakan, saya akan ke Farid, ke Tebet. "Ya
> udah, aku nyusul," kata Setiyardi.
>
> Setiyardi sendiri datang hanya bertenggang sekitar
> lima menit dari kedatangan saya di kantor Pena
> Indonesia. Segera saja saya, Alfian, Setiyardi dan
> Farid terlibat obrolan seputar SMS Metta. Farid
> sendiri, meski saat itu belum mengambil konklusi
> apapun--sangat peduli dengan persoalan tersebut.
> Sebagai tambahan, ia juga khawatir dengan fakta
> penyadapan  SMS itu. Jujur saja, sebagai pengguna hp,
> saya juga khawatir. Persoalannya, dalam urusan
> kepedulian kami akan Tempo, itu menjadi soal lain.
>
> Belum lagi diskusi berjalan setengah jam, datang SMS
> yang memberitahukan istri saya pingsan dan dibawa ke
> RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Saya segera minta diri
> pulang. Karena diskusi sendiri masih hangat, wajar
> bila Setiyardi tetap di tempat.
>
> Kamis, 30 Agustus
> Sejak hari itu saya sudah berada di Bandung untuk ikut
> pelatihan Bank Mandiri, hingga Sabtu 1 September.
> Tugas dari pimpinan. Siang itu saya menerima telepon
> dari S Malela Mahargasarie, salah seorang direktur
> Tempo. Ybs minta salinan dokumen tersebut. Saya
> katakan, buat apa minta ke saya, toh sudah ada dua
> orang Tempo yang punya.
>
> Ternyata, permintaan itu tampaknya hanya entry point
> untuk masuk kepada hal pokok, menuding saya sebagai
> penyebar salinan tersebut ke media-media massa. Saya
> katakan," Betul Mas, bila yang dimaksud media itu
> adalah Tempo. Saya memberikan salinan itu kepada dua
> orang Tempo, Mardiyah dan Budi Setyarso."  Telepon
> putus setelah basa-basi yang lupa saya ingat.
>
> Setelah 30 Agustus
> Persoalannya, setelah itu saya mendengar, dari
> beberapa teman yang menelepon, masalah kemudian
> merembet berbagai hal. Ada cerita bahwa saya dan
> Setiyardi mendapat uang sekian miliar dari RGM untuk
> memblow-up kasus itu. Kabar lain menyatakan saya
> melakukan roadshow, mendatangi berbagai media massa
> dan berkampanye untuk meminta menulis soal tersebut.
> Dan sebagainya dan lain-lain.
>
> Saya juga beberapa kali mendapatkan telepon dari
> beberapa teman Tempo. Mereka bertanya soal diskusi
> yang diadakan teman saya Setiyardi berkaitan dengan
> kasus tersebut. Saya jawab sejujurnya, saya tidak tahu
> dan tidak terlibat. Tetapi sebagaimana biasa, saya
> terlanjur mendapatkan cap, sehingga tampaknya, apapun
> yang saya katakan, tidak bisa teman-teman Tempo
> percayai.
>
> Sadar akan hal itu, saya kemudian berazam untuk tidak
> melayani permintaan wawancara oleh Tempo,--sesuatu
> yang saya prediksi akan dilakukan melihat betapa
> aktifnya Tempo menulis kasus tersebut, hari demi hari.
> Jujur, saya takut pernyataan saya hanya menjadi
> justifikasi atas sesuatu yang masih diperlukan Tempo
> untuk melibatkan saya dalam kasus ini.
>
> Benar saja, Senin (17/9) malam lalu, saya dihubungi
> seorang wartawan Koran Tempo, mengaku bernama Yoga.
> Dia langsung bertanya, dari siapa saya mendapatkan
> salinan transkripsi SMS  tersebut.  Saya tanya, apakah
> ini wawancara? Bila ya, saya tidak akan menjawab. Saya
> baru melayani pertanyaan Yoga saat ia menyatakan hanya
> ingin ngobrol. Saya pikir, satu dua kesalahan—paling
> tidak di mata saya-- tidak harus membuat saya
> kehilangan kepercayaan terhadap Tempo dan awaknya.
> Saya layani Yoga, adik angkatan saya tersebut ngobrol.
> Tidak lama, karena saya pun tengah mengerjakan halaman
> tambahan sebab sakitnya teman di Republika. Ketika dia
> bertanya lebih jauh, saya katakan, "Hubungi saja
> Setiyardi. Mungkin ia tahu lebih banyak."  Benar
> ucapan Yoga bisa saya pegang karena esoknya obrolan
> kami itu tidak diterbitkan.
>
> Kalau tidak salah, dua hari kemudian, Rabu (19/9),
> saya dihubungi rekan Tempo yang lain, Eni Saeni.
> Karena Eni minta wawancara, saya kembali tegaskan
> penolakan saya. Baru ketika Eni pun menyatakan hanya
> obrolan antarteman, saya  layani. Rasanya, dalam
> keterbatasan waktu untuk bertemu, alangkah kejinya
> kalau silaturahmi via telepon pun harus ditolak, bila
> memang ada waktu. Sebagaimana kepercayaan saya kepada
> ybs, Eni pun tidak menurunkan tulisan itu esok
> paginya.
>
> Saya baru dengan tegas menutup telepon ketika Jumat
> (21/9) siang dihubungi Adek Media Roza, rekan Koran
> Tempo yang lain. Adek terus terang minta wawancara,
> dan saya pun telah merasa cukup bila kembali harus
> ngobrol soal itu. Jadi ketika Adek terus mendesak
> saya, dengan berat hati saya kemudian mematikan hand
> pone.
>
> Tak ada wawancara, hingga kemudian Sabtu (22/9) pagi
> itu muncul kutipan saya di Koran Tempo. Satu hal yang
> tidak membuat apapun pada diri saya,--paling tidak
> hingga Senin (24/9) pagi ini, kecuali menghela nafas.
> Ya apa lagi, kecuali memaafkan.
>
> Satu hal saja ingin saya tekankan pada pernyataan saya
> ini, saya menolak tudingan sebagai penyebar salinan
> transkripsi SMS Metta, sebagaimana tampaknya sangat
> diyakini Tempo.
>
> Karena beranjak dari kepedulian saya akan Tempo,
> almamater tempat saya "menjadi" wartawan, kepedulian
> itu tentu harus  saya kubur di dasar hati saya,
> manakala respons Tempo terhadap apa yang saya lakukan
> itu justru sebuah tudingan. Satu hal yang saya
> simpulkan dari pembicaraan telepon dengan Mas Malela.
> Tiada hak saya untuk memaksa Tempo menjadikan kasus
> ini masalah internal mereka, bila memang mereka tidak
> menganggap ada masalah.
>
> Saya merasa telah cukup dengan memberitahu Mas GM dan
> memberikan salinan itu kepada dua orang awak Tempo.
> Selebihnya bagi saya, biarlah Tempo sendiri yang
> mengurusnya.
>
> Demikian, semoga bermanfaat.
>
> Jakarta, 24 September 2007
> Darmawan Sepriyossa
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
________________________________________________________________________\
____________
> Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone
who knows. Yahoo! Answers - Check it out.
> http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545433
>


Kirim email ke