Artikel heubeul anu kinten2 masih relevan dijaman
konversi BBM kana gas LPG....

[Proletar] Indonesia Alami Krisis Bahan Bakar Minyak
Ambon
Tue, 21 Jun 2005 16:01:14 -0700

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/22/02.htm

Indonesia Alami Krisis Bahan Bakar Minyak 
  --Selama ini, masyarakat berpandangan BBM adalah
anugerah yang berlimpah 
sehingga tidak ada alasan harga BBM mahal (baca:
sesuai ongkos produksi). 
Karena paham ini demikian berkarat, setiap kenaikan
harga BBM akan diikuti 
kenaikan harga barang lainnya. 

TIDAK pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Indonesia
yang kaya dengan minyak 
bumi akan berada di ambang krisis bahan bakar minyak
(BBM). Persediaan BBM 
semua jenis rata-rata hanya 17,5 hari. Bahkan cadangan
bensin (premium) hanya 
12,7 hari dan solar 14,5 hari. Sedangkan minyak tanah
25,3 hari. Kekhawatiran 
akan krisis ini terungkap pada rapat kerja Komisi VII
DPR dengan Menteri Energi 
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro
serta Direktur Utama PT 
(Persero) Pertamina Widya Purnama, Senin (20/6).

Ada beberapa penyebab mengapa kita yang kaya minyak
ini justru akhirnya harus 
mengalami krisis minyak. Sejak krisis moneter 1997,
investasi bidang 
perminyakan tidak berkembang. Kita tidak mampu lagi
membiayai mega projek 
pembangunan kilang sekelas Balongan yang sarat modal
dan teknologi. Sementara 
ironi terjadi, justru ketika ekonomi kita mengalami
krisis, konsumsi BBM kita 
malah naik rata-rata 6%. Bahkan jumlah kendaraan
bermotor naik. Data terakhir 
Ditjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan
menunjukkan jumlah kendaraan 
bermotor di Indonesia ini mencapai 26 juta unit. 

Akhirnya, Indonesia terpaksa mengimpor sebagian
kebutuhan minyaknya. Bahkan 
jumlah minyak yang diimpor melebihi minyak yang kita
ekspor. Dengan kata lain, 
kita menjadi net oil importer country. Untuk
mengembalikan status kita sebagai 
net oil exporter dibutuhkan beberapa kilang sekelas
Balongan. Tetapi itu 
membutuhkan biaya rata-rata 1,5 miliar dolar AS dan
masa pengerjaan paling 
cepat tiga tahun. Karena itu, kita perkirakan status
net oil exporter paling 
cepat bisa kita gapai dalam 2010.

Sementara itu, harga minyak dunia terus berfluktuasi.
Hingga Minggu kemarin, 
harga minyak dunia menyentuh 58 dolarAS/barel. Dengan
demikian, subsidi minyak 
kita membengkak terus. Ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa nilai rupiah kita 
anjlok. Karena itu, keuangan negara dan Pertamina pun
cekak. Bahkan beberapa 
penyuplai minyak dunia menolak letter of credit (L/C)
Pertamina karena khawatir 
perusahaan berlambang kuda laut itu tidak mampu
membayar. Pemerintah (Menteri 
Keuangan) memang telah memutuskan untuk membayar
subsidi Rp 1,3 triliun setiap 
bulan, namun itu belum cukup untuk memulihkan arus kas
(cashflow) Pertamina. 

Selain itu, kita berpendapat bahwa UU Nomor 22/2001
tentang Migas, telah 
menyebabkan Pertamina kehilangan sumber pendapatannya.
Dengan UU itu, status 
Pertamina berubah dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
menjadi PT Persero. 
Dengan perubahan status itu, tidak ada lagi kontrol
Pertamina terhadap pemegang 
contract production sharing (KPS) terutama ketika kita
memerlukan minyak mentah 
untuk keperluan domestik. Perubahan status itu juga
telah menghilangkan fee 
retensi sebesar Rp 15 triliun. Padahal fee ini menjadi
pendapatan Pertamina 
selama 30 tahun.

Undang-undang inilah yang kemudian dikritisi secara
tajam oleh para pengamat 
perminyakan. Dengan UU ini, pemerintah dinilai terlalu
cepat melakukan penataan 
status Pertamina dari BUMN menjadi persero. Sementara,
usaha pemerintah untuk 
mempersiapkan dan menyadarkan mental masyarakat tidak
optimal.

Mengubah status sebuah BUMN adalah pekerjaan yang
relatif lebih mudah 
dibandingkan dengan menyadarkan masyarakat tentang
rasionalitas harga BBM. 
Masyarakat harus digiring untuk menyadari dan menerima
bahwa mereka harus 
membayar harga BBM sesuai dengan biaya produksi.
Selama ini, masyarakat 
berpandangan BBM adalah anugerah yang berlimpah
sehingga tidak ada alasan harga 
BBM mahal (baca: sesuai ongkos produksi). Karena paham
ini demikian berkarat, 
setiap kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga
barang lainnya.

Terpaksa dalam jangka pendek, kita harus mengurangi
pagu suplai BBM di setiap 
daerah. Dan ini tampaknya telah dilakukan Pertamina di
daerah-daerah. Tetapi 
jangka panjang, "pekerjaan rumah" kita adalah
menyadarkan masyarakat. Jika 
suatu subsidi dicabut 100% masyarakat sudah siap
sehingga ada pemisahan 
(decoupling process) kaitan harga BBM dengan barang
lain. BBM naik, tapi harga 
barang lain tidak. Pemerintah juga mulai sekarang
harus memprakarsai penciptaan 
sumber energi alternatif yang tidak kalah melimpahnya
seperti energi matahari, 
angin, dan sebagainya.***





       
____________________________________________________________________________________
Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. 
Yahoo! Answers - Check it out.
http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545469

Kirim email ke