duh meni kieu2 teuing negara urang nu makmur ku minyak n gas........... ________________________________
From: urangsunda@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of surtiwa surtiwa Sent: Wednesday, 03 October, 2007 07:27 To: urangsunda; baraya Subject: [Urang Sunda] Oh..BBM... Artikel heubeul anu kinten2 masih relevan dijaman konversi BBM kana gas LPG.... [Proletar] Indonesia Alami Krisis Bahan Bakar Minyak Ambon Tue, 21 Jun 2005 16:01:14 -0700 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/22/02.htm <http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/22/02.htm> Indonesia Alami Krisis Bahan Bakar Minyak --Selama ini, masyarakat berpandangan BBM adalah anugerah yang berlimpah sehingga tidak ada alasan harga BBM mahal (baca: sesuai ongkos produksi). Karena paham ini demikian berkarat, setiap kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga barang lainnya. TIDAK pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Indonesia yang kaya dengan minyak bumi akan berada di ambang krisis bahan bakar minyak (BBM). Persediaan BBM semua jenis rata-rata hanya 17,5 hari. Bahkan cadangan bensin (premium) hanya 12,7 hari dan solar 14,5 hari. Sedangkan minyak tanah 25,3 hari. Kekhawatiran akan krisis ini terungkap pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro serta Direktur Utama PT (Persero) Pertamina Widya Purnama, Senin (20/6). Ada beberapa penyebab mengapa kita yang kaya minyak ini justru akhirnya harus mengalami krisis minyak. Sejak krisis moneter 1997, investasi bidang perminyakan tidak berkembang. Kita tidak mampu lagi membiayai mega projek pembangunan kilang sekelas Balongan yang sarat modal dan teknologi. Sementara ironi terjadi, justru ketika ekonomi kita mengalami krisis, konsumsi BBM kita malah naik rata-rata 6%. Bahkan jumlah kendaraan bermotor naik. Data terakhir Ditjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia ini mencapai 26 juta unit. Akhirnya, Indonesia terpaksa mengimpor sebagian kebutuhan minyaknya. Bahkan jumlah minyak yang diimpor melebihi minyak yang kita ekspor. Dengan kata lain, kita menjadi net oil importer country. Untuk mengembalikan status kita sebagai net oil exporter dibutuhkan beberapa kilang sekelas Balongan. Tetapi itu membutuhkan biaya rata-rata 1,5 miliar dolar AS dan masa pengerjaan paling cepat tiga tahun. Karena itu, kita perkirakan status net oil exporter paling cepat bisa kita gapai dalam 2010. Sementara itu, harga minyak dunia terus berfluktuasi. Hingga Minggu kemarin, harga minyak dunia menyentuh 58 dolarAS/barel. Dengan demikian, subsidi minyak kita membengkak terus. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa nilai rupiah kita anjlok. Karena itu, keuangan negara dan Pertamina pun cekak. Bahkan beberapa penyuplai minyak dunia menolak letter of credit (L/C) Pertamina karena khawatir perusahaan berlambang kuda laut itu tidak mampu membayar. Pemerintah (Menteri Keuangan) memang telah memutuskan untuk membayar subsidi Rp 1,3 triliun setiap bulan, namun itu belum cukup untuk memulihkan arus kas (cashflow) Pertamina. Selain itu, kita berpendapat bahwa UU Nomor 22/2001 tentang Migas, telah menyebabkan Pertamina kehilangan sumber pendapatannya. Dengan UU itu, status Pertamina berubah dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi PT Persero. Dengan perubahan status itu, tidak ada lagi kontrol Pertamina terhadap pemegang contract production sharing (KPS) terutama ketika kita memerlukan minyak mentah untuk keperluan domestik. Perubahan status itu juga telah menghilangkan fee retensi sebesar Rp 15 triliun. Padahal fee ini menjadi pendapatan Pertamina selama 30 tahun. Undang-undang inilah yang kemudian dikritisi secara tajam oleh para pengamat perminyakan. Dengan UU ini, pemerintah dinilai terlalu cepat melakukan penataan status Pertamina dari BUMN menjadi persero. Sementara, usaha pemerintah untuk mempersiapkan dan menyadarkan mental masyarakat tidak optimal. Mengubah status sebuah BUMN adalah pekerjaan yang relatif lebih mudah dibandingkan dengan menyadarkan masyarakat tentang rasionalitas harga BBM. Masyarakat harus digiring untuk menyadari dan menerima bahwa mereka harus membayar harga BBM sesuai dengan biaya produksi. Selama ini, masyarakat berpandangan BBM adalah anugerah yang berlimpah sehingga tidak ada alasan harga BBM mahal (baca: sesuai ongkos produksi). Karena paham ini demikian berkarat, setiap kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga barang lainnya. Terpaksa dalam jangka pendek, kita harus mengurangi pagu suplai BBM di setiap daerah. Dan ini tampaknya telah dilakukan Pertamina di daerah-daerah. Tetapi jangka panjang, "pekerjaan rumah" kita adalah menyadarkan masyarakat. Jika suatu subsidi dicabut 100% masyarakat sudah siap sehingga ada pemisahan (decoupling process) kaitan harga BBM dengan barang lain. BBM naik, tapi harga barang lain tidak. Pemerintah juga mulai sekarang harus memprakarsai penciptaan sumber energi alternatif yang tidak kalah melimpahnya seperti energi matahari, angin, dan sebagainya.*** __________________________________________________________ Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545469 <http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545469>