Artikel dina Kompas dinten ieu (13/1/2008), nu nyindiran bedana fasilitas ka 
urut Presiden. Ari Soeharto mah, nu ayeuna keur kritis, satengah koma, 
dibere fasilitas kasehatan anu "prima", Nu ngagugulungna team dokter 
kapresidenan nu jumlahna 25 urang(?).  Cenah Bung Karno mah baheula, jauh ti 
kitu. Tapi keun soal Bung Karno mah da geus ngantunkeun, tapi cik ari ka Gus 
Dur mah, da masih jumeneng keneh, moal enya uubarna kudu mayar sorangan? Pan 
eta oge sarua jeung Soeharto, urut Presiden RI.

Wartosna nyanggakeun:

Fasilitas Presiden

Lain Soeharto, Lain Bung Karno, Lain Pula Gus Dur

Melihat fasilitas kesehatan yang diberikan negara kepada Soeharto yang 
sedemikian prima, rasa bangga muncul. Namun, kalau mengingat perlakuan 
terhadap Bung Karno dan bagaimana negara ini memperlakukan Gus Dur, timbul 
rasa tak percaya, geram, haru yang bercampur aduk. Soekarno, Soeharto, dan 
Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, ketiganya pernah menjadi orang 
nomor satu di negeri ini. Namun, realitasnya, negara memperlakukan ketiganya 
berbeda. Pengalaman sangat manis dirasakan Soeharto, tetapi getir bagi Bung 
Karno dan pahit bagi Gus Dur.

"Fasilitas yang diberikan kepada Pak Harto itu bukan lagi sangat bagus, 
tetapi sangat luar biasa. Bila dibandingkan dengan Bung Karno, jauh sekali," 
ujar Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Bung Karno, dalam perbincangan 
dengan Kompas, Sabtu (12/1). Kalau Soeharto dirawat oleh tim dokter 
kepresidenan yang sangat banyak, Bung Karno justru dirawat dokter hewan saat 
di Batu Tulis. "Salah satu perawat juga ternyata bukan perawat, tetapi 
Kowad," katanya.

Rachmawati, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu, 
berkesimpulan, perlakuan terhadap mantan kepala negara ini masih jauh dari 
aspek keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Sidarto Danusubroto, salah satu ajudan Bung Karno yang masih hidup, masih 
ingat benar bagaimana getirnya pengalaman yang diterima Bung Karno. Dia 
berharap hal itu tak pernah lagi terjadi pada siapa pun dan oleh siapa pun 
di negeri ini. Perlakuan terhadap semua presiden harus ada standarnya meski 
berbeda ideologi politik.

"Saya apresiasi perlakuan perawatan kesehatan yang diberikan kepada Pak 
Harto. Pada saat sama saya menyayangkan mengapa hal serupa tak diperoleh 
pendiri bangsa ini," katanya.

Sedemikian buruknya pelayanan kesehatan Bung Karno, sampai-sampai ketika 
ditanya kelas apa, dia tak bisa menjawabnya. "Kamu jawab sendiri, kira-kira 
kelas apa ini? Dokter spesialis tidak ada. Dokter umum saja on call, tidak 
stand by" kenang Sidarto, yang kini berusia 72 tahun itu.

Kejamnya lagi, Bung Karno pun dikucilkan karena dianggap bisa membawa polusi 
ketidakstabilan. Untuk pergi ke Bogor saja diwajibkan lapor, begitu pula 
jika hendak kembali dari Bogor ke Jakarta. Hal ini yang membuat kesehatan 
Bung Karno merosot drastis.

Sidarto menunjukkan coretan tangan Bung Karno di salah satu bukunya yang 
dikutip dari filosof Jerman, Freili Grath. "Man totet den Geist Nicht. Jiwa, 
ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh." Saat itu Bung Karno merasa akan 
mati karena tidak bisa bertemu siapa-siapa setelah dijadikan tahanan rumah.
Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno 
sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewawancarai para dokter Bung 
Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran (Kompas, 11 Mei 2006).

"Perawatan Bung Karno itu kelas gakin, kelas keluarga miskin. Padahal, saat 
itu Bung Karno statusnya masih presiden," ujarnya.
Obat yang diberikan pun hanya royal jelly (sejenis madu), vitamin B, B12, 
dan Duvadilan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal, Bung Karno 
mengalami gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik sudah ada, tetapi 
juga tidak diberikan, begitu juga mesin cuci darah.

Pengulangan sejarah

Gus Dur yang saat ini juga menderita gangguan fungsi ginjal dan harus cuci 
darah ternyata juga merasakan pengalaman pahit.
"Gus Dur beberapa kali masuk rumah sakit. Aturannya, negara yang menanggung 
biaya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Susah sekali ditagihnya dan 
pernah jadi tunggakan RSCM sampai RSCM akhirnya minta keluarga saja yang 
bayar. Sampai sekarang Gus Dur juga cuci darah seminggu tiga kali, negara 
tidak pernah membantu," kata Yenny Zannuba Wahid.

Sungguh tidak masuk akal apabila negara tidak mampu. Pasalnya, Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara 2007 saja Rp 752,4 triliun. Sementara itu, 
rata-rata biaya perawatan Gus Dur selama ini hanya belasan juta, sedangkan 
biaya sekali cuci darah Rp 600.000.

Namun, Yenny berbesar hati. Menurut dia, yang terpenting bagaimana komitmen 
pemerintah memberikan akses pelayanan kesehatan untuk semua. "Kalau Gus Dur 
yang mantan presiden dan haknya diatur di undang-undang saja diperlakukan 
seperti itu, apalagi rakyat," paparnya. (sut) 

Kirim email ke