Kang sim kuring mah sanes teu paduli, tapi asana mah keun we lah nu dilaluhur mah, lian ti seueur suporter sigana mah baroga asuransi. Kang abdi mah bet lumpat pikiran teh ka warta puskesmas tea yen taun ieu 400 puskesmas di Jabar kurang 400 dokter. Pami teu dijait konsekuensina ageung pisan, mugi we teu nepi kajadian: 1. Urang sunda moal nepi ka karolot; 2. Generasi urang sunda 15 taun kahareup "lek lok" da keur budakna teu kaurus kasehatan jeung gizina.
salam JP Makarya Mawa Raharja ----- Original Message ---- From: Waluya <[EMAIL PROTECTED]> To: urangsunda@yahoogroups.com; Baraya Sunda <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Sunday, January 13, 2008 12:38:50 AM Subject: [Urang Sunda] Bedana Soeharto jeung urut presiden sejenna Artikel dina Kompas dinten ieu (13/1/2008), nu nyindiran bedana fasilitas ka urut Presiden. Ari Soeharto mah, nu ayeuna keur kritis, satengah koma, dibere fasilitas kasehatan anu "prima", Nu ngagugulungna team dokter kapresidenan nu jumlahna 25 urang(?). Cenah Bung Karno mah baheula, jauh ti kitu. Tapi keun soal Bung Karno mah da geus ngantunkeun, tapi cik ari ka Gus Dur mah, da masih jumeneng keneh, moal enya uubarna kudu mayar sorangan? Pan eta oge sarua jeung Soeharto, urut Presiden RI. Wartosna nyanggakeun: Fasilitas Presiden Lain Soeharto, Lain Bung Karno, Lain Pula Gus Dur Melihat fasilitas kesehatan yang diberikan negara kepada Soeharto yang sedemikian prima, rasa bangga muncul. Namun, kalau mengingat perlakuan terhadap Bung Karno dan bagaimana negara ini memperlakukan Gus Dur, timbul rasa tak percaya, geram, haru yang bercampur aduk. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, ketiganya pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini. Namun, realitasnya, negara memperlakukan ketiganya berbeda. Pengalaman sangat manis dirasakan Soeharto, tetapi getir bagi Bung Karno dan pahit bagi Gus Dur. "Fasilitas yang diberikan kepada Pak Harto itu bukan lagi sangat bagus, tetapi sangat luar biasa. Bila dibandingkan dengan Bung Karno, jauh sekali," ujar Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Bung Karno, dalam perbincangan dengan Kompas, Sabtu (12/1). Kalau Soeharto dirawat oleh tim dokter kepresidenan yang sangat banyak, Bung Karno justru dirawat dokter hewan saat di Batu Tulis. "Salah satu perawat juga ternyata bukan perawat, tetapi Kowad," katanya. Rachmawati, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu, berkesimpulan, perlakuan terhadap mantan kepala negara ini masih jauh dari aspek keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Sidarto Danusubroto, salah satu ajudan Bung Karno yang masih hidup, masih ingat benar bagaimana getirnya pengalaman yang diterima Bung Karno. Dia berharap hal itu tak pernah lagi terjadi pada siapa pun dan oleh siapa pun di negeri ini. Perlakuan terhadap semua presiden harus ada standarnya meski berbeda ideologi politik. "Saya apresiasi perlakuan perawatan kesehatan yang diberikan kepada Pak Harto. Pada saat sama saya menyayangkan mengapa hal serupa tak diperoleh pendiri bangsa ini," katanya. Sedemikian buruknya pelayanan kesehatan Bung Karno, sampai-sampai ketika ditanya kelas apa, dia tak bisa menjawabnya. "Kamu jawab sendiri, kira-kira kelas apa ini? Dokter spesialis tidak ada. Dokter umum saja on call, tidak stand by" kenang Sidarto, yang kini berusia 72 tahun itu. Kejamnya lagi, Bung Karno pun dikucilkan karena dianggap bisa membawa polusi ketidakstabilan. Untuk pergi ke Bogor saja diwajibkan lapor, begitu pula jika hendak kembali dari Bogor ke Jakarta. Hal ini yang membuat kesehatan Bung Karno merosot drastis. Sidarto menunjukkan coretan tangan Bung Karno di salah satu bukunya yang dikutip dari filosof Jerman, Freili Grath. "Man totet den Geist Nicht. Jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh." Saat itu Bung Karno merasa akan mati karena tidak bisa bertemu siapa-siapa setelah dijadikan tahanan rumah. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 Februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewawancarai para dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran (Kompas, 11 Mei 2006). "Perawatan Bung Karno itu kelas gakin, kelas keluarga miskin. Padahal, saat itu Bung Karno statusnya masih presiden," ujarnya. Obat yang diberikan pun hanya royal jelly (sejenis madu), vitamin B, B12, dan Duvadilan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal, Bung Karno mengalami gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik sudah ada, tetapi juga tidak diberikan, begitu juga mesin cuci darah. Pengulangan sejarah Gus Dur yang saat ini juga menderita gangguan fungsi ginjal dan harus cuci darah ternyata juga merasakan pengalaman pahit. "Gus Dur beberapa kali masuk rumah sakit. Aturannya, negara yang menanggung biaya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Susah sekali ditagihnya dan pernah jadi tunggakan RSCM sampai RSCM akhirnya minta keluarga saja yang bayar. Sampai sekarang Gus Dur juga cuci darah seminggu tiga kali, negara tidak pernah membantu," kata Yenny Zannuba Wahid. Sungguh tidak masuk akal apabila negara tidak mampu. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007 saja Rp 752,4 triliun. Sementara itu, rata-rata biaya perawatan Gus Dur selama ini hanya belasan juta, sedangkan biaya sekali cuci darah Rp 600.000. Namun, Yenny berbesar hati. Menurut dia, yang terpenting bagaimana komitmen pemerintah memberikan akses pelayanan kesehatan untuk semua. "Kalau Gus Dur yang mantan presiden dan haknya diatur di undang-undang saja diperlakukan seperti itu, apalagi rakyat," paparnya. (sut) ____________________________________________________________________________________ Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ