Waduh... janten ngarepotkeun kieu atuh...
Jazakallohu khoiron katsiro, Kang Waluya!!

Hatur nuhun pisan...

ieu mung tambihan wungkul ti abdi mugi mangpaat.
abdi ge rada lieur ngaosna ge... mung eusina jentre
saur abdi mah

Mengangkat Khalifah: Fardhu Kifayah 

Pada kesempatan ini kami mengkompilasikan sebagian
pendapat  para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab,
terutama mazhab Syafii yang merupakan mazhab mayoritas
kaum Muslim di Indonesia, tentang wajibnya Imamah atau
Khilafah. Tentu pernyataan mereka itu merupakan hasil
istinbâth mereka dari dalil-dalil syariah, baik mereka
menjelaskannya ataupun tidak. 

1.  Imam an-Nawawi:1 Suatu keharusan bagi umat adanya
Imam (Khalifah) yang menegakkan agama dan yang
menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang
yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal
tersebut pada tempatnya. Saya menyatakan bahwa
mengurus (untuk mewujudkan) Imamah itu adalah fardhu
kifayah.

2.  Muhammad asy-Syarbini al-Khatib:2 Mewujudkan
Imamah/Khilafah yang agung itu adalah fardhu kifayah
sebagaimana  peradilan.

3.  Imam Abu Yahya Zakaria al-Anshari dalam kitab Fath
al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb:3 Mewujudkan
Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah
kapabel untuk peradilan). 

4.  Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib
asy-Syâfi’i, ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 38:4
Para Mutakallimin ber-hujjah dengan ayat ini bahwa
wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam
(khalifah) yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah
bahwa Allah Swt. mewajibkan di dalam ayat ini untuk
menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina…Sungguh,
umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat
yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal
tersebut, bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak
boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka
pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena itu, ketika
taklif tersebut sifatnya pasti (jâzim) dan tidak
mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan
adanya imam (khalifah), dan ketika kewajiban itu tidak
tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih
dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam
(khalifah) adalah wajib. 

5.  Imam Abul Qasim an-Naisaburi asy-Syafii:5 Umat
telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khithâb (maka
cambuklah) adalah imam (khalifah) hingga mereka
ber-hujjah dengan ayat ini akan wajibnya mengangkat
imam (khalifah). 

6.  Asy-Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani:6 (Mewujudkan
Imamah [Khilafah] adalah fardhu kifayah) karena bagi
umat itu harus ada seorang imam (khalifah) untuk
menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak
orang yang dizalimi dari orang yang zalim, menunaikan
hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada
tempatnya.

7.  Pengarang Hasyiyah Qalyubi wa Umayrah:7 Imamah
(Khilafah)  adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan sehingga berlaku di dalam Imamah (Khilafah)
tersebut apa yang berlaku untuk peradilan, baik dalam
kebolehan menerima maupun tidaknya.

8.  Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad
al-Bajairimi:8 Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah
fardhu kifayah sebagaimana peradilan sehingga
disyaratkan untuk Imam (Khalifah) itu hendaknya layak
untuk peradilan (menjadi hakim).

9.  Imam Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri:9 Para ulama
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan
adanya Imam (Khalifah) merupakan  keharusan, kecuali
an-Najadat. Pendapat mereka sesungguhnya telah
menyalahi Ijmak…

10.  Imam Ibn Katsir, ketika menjelaskan QS al-Baqarah
ayat 30:10 Sesungguhnya al-Qurthubi dan yang lain
berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat
khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi
di antara manusia, memutuskan pertentangan mereka,
menolong orang yang dizalimi dari yang menzalimi,
menegakkan hudud,  mengenyahkan kemungkaran, dan
sebagainya yang merupakan hal-hal penting yang memang
tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya Imam
(Khalifah). 

11.  Imam al-Qurthubi, ketika menjelaskan QS
al-Baqarah ayat 30: Ayat ini adalah pokok (yang
menegaskan) mengenai pengangkatan imam dan khalifah
untuk didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat
serta melaksanakan—melalui Khalifah—hukum-hukum
tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya
hal tersebut di antara umat, tidak pula di antara para
imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham. 11

12.  Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali ad-Dimasyqi
(Ibnu Adil),  ketika menjelaskan QS al-Baqarah ayat
30:12 Ibn al-Khatib berkata, “Ayat ini adalah dalil
atas wajibnya mengangkat imam dan khalifah untuk
didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta
melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada
perbedaan tentang wajibnya hal tersebut di antara para
imam kecuali apa yang diriwayatkan dari al-Asham dan
orang yang mengikutinya.”

13.  Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali, dalam
kitab al-Inshâf:13 …mengangkat imam itu adalah fardhu
kifayah. 

14.  Imam al-Bahuti al-Hanafi:14 (Mengangkat Imam
al-A‘zham [khalifah] itu) atas kaum Muslim (adalah
fardhu kifayah). Sebab, manusia membutuhkan hal
tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga
konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak
serta amar makruf dan nahi munkar.

15.  Pengarang kitab Hasyiyyah al-Jumal:15 Mewujudkan
Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan.

16.  Pengarang kitab Mathalib ?lî an-Nuhâ fî Syarh
Ghayat al-Muntahâ:16 (Mengangkat imam [khalifah]
adalah fardhu kifayah) karena manusia memang
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian
(agama), memelihara konsistensi (agama), menegakkan
had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf nahi mungkar.

17.  Pengarang  Al-Husun al-Hamidiyyah, Syaikh Sayyid
Husain Afandi:17 Ketahuilah bahwa mengangkat imam
(khalifah) yang menegakkan had, memelihara perbatasan
(negara), menyiapkan pasukan…secara syar‘i adalah
wajib. 

Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat
menyimpulkan, para ulama mu‘tabar dari berbagai mazhab
menegaskan bahwa hukum mengangkat imam/khalifah adalah
wajib, yaitu fardhu kifayah.


Pelaksaan Fardhu Kifayah

Suatu hal yang ma’lûm bahwa fardhu itu ada dua macam.
Fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Sebagai  suatu
kewajiban, fardhu kifayah sama kedudukannya dengan
fardhu ‘ain meski dari sisi pelaksanaannya berbeda.
Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab Al-Ihkâm fî Ushûl
al-Ahkâm menegaskan,18 “Tidak ada perbedaan (menurut
ashâb kita) antara wajib ‘ain dan wajib kifayah, dari
sisi kewajiban…” 

Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah,
Imam asy-Syirazi, dalam kitab Al-Luma’ fî Ushûl
al-Fiqh, menjelaskan,19 “Jika terdapat khithâb
(seruan) dengan ungkapan umum maka masuk di dalamnya
siapa saja yang visible dengan seruan tersebut
baginya. Perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian
karena perbuatan sebagian (yang lain), kecuali syariah
datang di dalamnya dan Allah menetapkan bahwa seruan
tersebut adalah fardhu kifayah, seperti jihad serta
mengkafani, menshalatkan dan menguburkan jenazah. Jika
kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan (di sini
Imam asy-Syirazi menggunakan kata aqâma, bukan qâma;
dalam bahasa Arab kata aqâma artinya adalah ja’alahu
yaqûmu20) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah
kewajiban tersebut atas yang lain.” 

Artinya, menurut Imam Asy-Syirazi, apabila fardhu
kifayah belum selesai ditunaikan maka kewajiban
tersebut masih tetap dibebankan atas pundak  seluruh
mukallaf yang menjadi obyek seruan taklif.

Syaikhul Islam Imam al-Hafizh an-Nawawi, dalam
Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab, menjelaskan,21 “Makna
fardhu kifayah adalah jika siapa saja yang pada
dirinya ada kifâyah (kecukupan untuk melaksanakan
kewajiban) telah melaksanakannya maka hal itu akan
menggugurkan beban atas yang lain. Namun jika mereka
semua meninggalkan kewajiban tersebut maka mereka
semua berdosa.”

Al-’Allamah asy-Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz
al-Malibari menegaskan,22 “Hukum fardhu kifayah itu
adalah jika fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan
oleh siapa saja yang memiliki kifâyah maka akan
gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang
lain. Setiap orang dari kaum Muslim yang tidak
memiliki uzur, jika mereka meninggalkannya, adalah
berdosa meski mereka tidak tahu.”

Di sini pengarang Fath al-Mu’in menegaskan kembali apa
yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi. Beliau 
menambahkan catatan bahwa kaum Muslim yang tidak ada
udzur, tetapi  meninggalkan kewajiban tersebut, 
adalah berdosa.

Alhasil, jika kita merangkum penjelasan para ulama di
atas maka: Pertama, kewajiban tersebut dianggap
terlaksana secara sempurna jika telah sempurna
ditunaikan. Jika belum maka tetap menjadi kewajiban
bagi seluruh kaum Muslim.  Kedua, siapa saja yang
melalaikan fardhu kifayah itu tanpa uzur adalah
berdosa. 

Mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah. Selama
kewajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna
maka tetap kewajiban tersebut dibebankan atas pundak
seluruh mukallaf dari kaum Muslim dan meninggalkan
kewajiban tersebut tanpa uzur adalah dosa. 


Mengangkat Khalifah Masih Berada dalam Batas Kemampuan
kaum Muslim

Ada sebagian orang yang menganggap kewajiban
mengangkat khalifah adalah perkara yang amat sulit
untuk dilaksanakan, bahkan mereka mengganggapnya
mustahil.  Itu sama saja dengan mengatakan, bahwa
Allah Swt. telah membebani hamba-Nya dengan kewajiban
yang tidak mampu dilaksanakan.  Anggapan seperti itu
jelas salah.  Allah Swt. berfirman: 

??? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kemampuannya (QS al-Baqarah [2]: 286).

Imam al-Hafidz Ibn Katsir menjelaskan makna ayat
tersebut,23 “Tidak dibebankan pada seseorang sesuatu
yang melebihi kemampuannya.” 

Inilah yang ditegaskan Allah Swt. atas kita. Allah
tidak mentaklifkan suatu perkara yang di luar batas
kemampuan kita. Pertanyaannya, apakah mengangkat
khalifah untuk menerapkan syariah Allah merupakan
kewajiban yang berada di luar batas kemampuan kita?
Memang, kalau kewajiban tersebut hanya dilaksanakan
oleh kaum Muslim secara individual tentu akan
melampaui batas kemampuan mareka. Namun, bukankah
kewajiban tersebut adalah fardhu kifayah, yang
dibebankan kepada kaum Muslim secara umum? 

Sebagai fardhu kifayah, mengangkat khalifah jelas
masuk dalam jaminan Allah di atas, yaitu pasti berada
dalam batas kesanggupan kaum Muslim. Jadi, selama
kewajiban tersebut belum tertunaikan maka ia tetap
tetap dibebankan atas pundak seluruh kaum Muslim. 

Jadi, mengangkat khalifah adalah kewajiban kita semua.
Tidak sungguh-sungguh untuk mengangkat khalifah tanpa
uzur syar‘i terkategori sebagai penelantaran kewajiban
yang dibebankan Allah pada kita.  Tentu saja berdosa. 
Apalagi diam, menghambat atau bahkan melawan
perjuangan tersebut.  Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

--- Waluya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Kanggo Kang Tessar, ieu ku kuring diposting deui,
> postingan kuring baheula 
> di KUSNET. Sumberna tina buku "Tarikh Islam",
> karangan Prof. K. Ali, 
> nyanggakeun:
> 
> Samemeh kuring neruskeun perkawis Dinasti Abbasiyah
> nu ngagentos Dinasti
> Umayyah, kuring rek balik heula ka tukang, soal Bani
> Umayyah jeung Bani
> Hasyim di suku Quraisy di Mekkah. Di suku Quraisy
> aya dua kolompok
> kulawarga nu ageung pangaruhna, nu asalna mah
> sakaturunan, nyaeta Bani
> Umayyah jeung Bani Hasyim. Dua "bani" ieu teu pati
> akur, sok papaseaan wae,
> sanajan sami urang Quraisy. Kangjeng Nabi sareng Ali
> bin Abu
> Thalib kalebet ka Bani Hasyim, ari Abu Sufyan
> kalebet ka Bani Umayyah. Jadi
> upami Abu Sufyan dengki teras-terasan ka Kangjeng
> Nabi, tiasa diurut ti para
> karuhunna, anu memang teu pati alakur. Tapi waktos
> Kangjeng Nabi naklukkeun
> Makkah, Abu Sufyan nyerah, teras lebet Islam.
> Muawiyah putra Abu Sufyan
> dicandak ku Kangjeng Nabi dijantenkeun sekertaris
> anjeunna, margi Muawiyah
> teh jalmina pinter. Kitu deui saderek istri Muawiyah
> dijantenkeun Istri
> Kangjeng Nabi. Ku jalan kieu, mumusuhan dua "Bani"
> ieu tiasa ditengtremkeun.
> 
> Ngan hanjakal saatosna Nabi pupus, pangpangna waktos
> Khalifah Ustman
> manggung, mumusuhan Bani Umayyah sareng Bani Hasyim
> mucunghul deui, kumargi
> Khalifah Ustman kalebet Bani Umayyah. Mumusuhan ieu
> tambah ragot di jaman
> Ali bin Abu Thalib janten Khalifah, dimana Sayidina
> Ali perang sareng
> Muawiyah nu janten Gubenur Syria. Sawaktos Ali
> pupus, Muawiyah ngadegkeun
> Dinasti Ummayah di Damascus. Mumusuhan dua Bani ieu
> puncakna waktos
> Husein bin Ali, putu kangjeng Nabi ditelasan di
> Karbala.
> 
> Dinasti Abbasiyah diadegkeun ku cara revolusioner
> dina ngaruntagkeun Dinasti
> Umayyah. Anu ngadukung Dinasti Abbasiyah nyaeta
> Tokoh-tokoh Bani Hasyim,
> Kaum pendukung Husein (Syiah) jeung Mawalli (Muslim
> non Arab) nu ngarasa
> dianak-terekeun ku Dinasti Umayyah. Pendiri Dinasti
> Abbasiyah nyaeta ABU AL
> ABBAS AL SAFFAH (750 - 754 M/ 133-137H) nu
> ngelehkeun Pasukan Marwan II
> (dinasti Umayyah). Marwan lumpat ka Mesir, tapi
> akhirna ditewak teras
> ditelasan. Abu Abbas diangkat jadi khalifah ku
> pengikutna di masjid di Kufah
> Irak di tahun 133H (750M). Tindakan pangheula nu
> dilakukeun ku Khalifah nu
> anyar dilantik ieu nyaeta ngabasmi nepi ka beak
> turunan Dinasti Umayyah.
> Turunan Dinasti Umayyah dibeberik kamana-mana, teras
> ditelasan. Paman Abu
> Abbas nu namina Abdullah, ngondang turunan Dinasti
> Umayyah di acara tuang
> kanagaraan, tapi nuju tuang teras sadayana
> ditelasan. Dinasti Umayyah,
> dibasmi henteu wae anu hirup, tapi oge anu geus
> dimakamkeun. Makam-makam
> Dinasti Umayyah dikali, tulang-talengna dikaluarkeun
> teras diduruk. Tapi
> salah saurang Dinasti Umayyah tiasa nyalametkeun
> diri, nyaeta ABDUR RAHMAN,
> anjeunna akhirna tiasa ngadegkeun kakawasaan Bani
> Umayyah di Spanyol.
> 
> Abu Abbas ku kakejemanana gaduh gelar AL SAFFAH nu
> hartosna "si Penumpah
> Darah" (hese nyundakeunana). Tapi ku kakejemanana
> ieu masihan pangaruh nu
> ageung ka kakawasaan Abu Abbas, kakawasaanana salaku
> Khalifah diaku di
> sakabeh wilayah Asia, Mesir jeung Afrika Kaler. Abu
> Abbas teu lami marentah,
> anjeunna pupus saatosna marentah 5 taun. Tapi
> sateuacanana pupus anjeunna
> nunjuk saderekna ABU JA'FAR AL MANSHUR (137-159M/
> 754-775M).
> 
> Saha atuh Abu Abbas Al Saffah pendiri Dinasti
> Abbasyiah teh? Anjeunna
> kalebet Bani Hasyim. Silsilahna kieu. Akina Kangjeng
> Nabi, Abdul Muthalib
> gaduh putra, Al Abbas, Abdullah (ramana Kangjeng
> Nabi) sareng Abu Thalib
> (ramana Sayidina Ali). Al Abbas rakana Abdullah
> (janten Uana Kangjeng Nabi)
> gaduh putra Abdallah, apaputra ka Ali bin Abdallah
> apaputra Muhammad bin Ali
> apaputra ABU AL ABBAS AL SAFFAH, janten turunan ka
> lima ti Abdul Muthalib,
> panginten bao mun di urang mah.
> 
> Dinasti Abbasyiah cukup lami nyepeng kakawasaan
> kekhalifahan Islam. Di Jaman
> Dinasti Abbasyiah Islam langkung majeng deui. Harun
> Ar Rasyid khalifah nu
> kasohor arif jeung bijaksana, anjeunna khalifah
> nomor 5 ti dinasti
> Abbasyiah. Di jaman Dinasti Abbasyiah ieu aya
> dongeng Abu Nawas, Nasrudin
> jeung 1001 malam nu dipakaresep ku urang Barat dugi
> ka diterjemahkeun.
> 
> Kumaha riwayat Abdur Rahman, turunan Bani Umayyah,
> nu salamet, teras
> ngadegkeun karajaan Islam di Spanyol?
> ...............engke upami payeng
> urang sambung deui.
> 
> Baktos,
> WALUYA
> 
> 



      
____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?  
Find them fast with Yahoo! Search.  
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

Reply via email to