Panulis artikel ieu jelas pisan kirang ngartos masalah minyak bumi, gas sareng sumber daya alam. pananya kahiji anu kedah diburudulkeun teh..hiji we heula..Kunaon Pertamina ngahutang ?
On 5/13/08, h_supriadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > hapunten teu disundakeun... > > dicutat ti Tribun Jabar Online.. > > ^_^ > > Senin , 12 Mei 2008 , 00:04:36 wib > > Perusahaan yang Turut Membangkrutkan Negara > Adityas Annas Azhari > > KITA saat ini telah menyaksikan bagaimana suatu bangsa yang sumber > daya alamnya kaya raya ternyata perlahan-lahan bangkrut. Ini akibat > ketidakmampuan bangsa itu mengolah kekayaannya sendiri. Lebih > memalukan lagi kita bahkan krisis energi bahan bakar gas dan minyak > tanpa bisa segera mencari energi alternatif. > > Entah kenapa kita begitu bodoh mengelola sumber energi dari kekayaan > alam sendiri, terlebih energi tak terbarukan seperti minyak dan gas. > Ironisnya, perusahaan yang dipercaya untuk mengolah, menjual, dan > menyediakan energi tersebut justru ikut serta membangkrutkan negaranya > sendiri. Tentunya yang paling bersalah adalah orang-orang yang diberi > amanah mengelola perusahaan itu. > > Itulah yang terjadi pada Pertamina, perusahaan yang harusnya menjadi > kebanggaan nasional layaknya Petronas(Malaysia) atau PetroBras > (Brasil) yang kini mendunia. Namun apa yang terjadi dengan perusahaan > minyak nasional kita ? Perusahaan itu justru turut membangkrutkan negara. > > Pada tahun 1975, pendiri sekaligus Direktur Utama (Dirut) Pertamina, > Letnan Jenderal (Purn) Ibnu Sutowo, mewariskan utang 10,5 miliar dolar > AS. Utang ini nyaris membangkrutkan Indonesia karena penerimaan negara > dari minyak saat itu hanya enam miliar dolar AS. Ibnu memang mundur > dari posisi dirut (1976), tapi utang dan dugaan korupsi itu tak pernah > sampai pengadilan. Ibnu Sutowo, yang wafat 13 Januari 2001, justru > mewariskan harta melimpah pada tujuh putra-putrinya, bahkan cucu-cucunya. > > Dari manakah harta melimpah Ibnu Sutowo itu? Harian Indonesia Raya > pimpinan Mochtar Lubis (almarhum) pada edisi 30 Januari 1970 menulis > simpanan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 miliar. Jumlah yang fantastis > dibandingkan kurs rupiah terhadap dolar AS saat itu yang hanya Rp 400. > Luar biasa, bukan? Namun harian itu akhirnya dibredel Presiden (saat > itu) Soeharto. Saat itu Mochtar Lubis menulis, akibat jual-beli minyak > lewat jalur kolusi, negara dirugikan 1.554.590,28 dolar AS. > > Selama rezim Soeharto berkuasa, Pertamina memang mesin uang. > Perusahaan ini sekaligus sarang korupsi. Dalam situs Pusat Pelaporan > dan Analisis Transaksi Keuangan (www.ppatk.go.id) disebutkan bahwa di > bawah pimpinan Ibnu Sutowo operasi Pertamina tertutup bagi publik dan > laporan tahunan keuangan Pertamina tidak pernah diumumkan. Kepentingan > Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina. > > Kini Wapres Jusuf Kalla menyesali karena Indonesia selama ini > terlambat membangun kilang kilang minyak, sehingga ketika terjadi > kenaikan harga minyak mentah dunia, Indonesia hanya bisa menonton. > > "Padahal, jika kita tidak terlambat membangun dan mengembangkan kilang > kilang minyak seperti Blok Cepu, Blok Natuna, dan kilang kilang > lainnya sejak beberapa tahun lalu, lifting minyak kita tidak akan > kekurangan," ujar Kalla dalam pengarahannya di depan karyawan > Pertamina UPV Balikpapan, Rabu (7/5). > > Sebuah penyesalan yang terlambat. Jika saja Pertamina tidak dipenuhi > koruptor, jangankan membangun kilang di Indonesia, perusahaan itu > mungkin menyaingi Petronas. Bukan tidak mungkin Pertamina memiliki > pompa bensin di negara lain, seperti halnya Petronas yang akan > mendirikan SPBU di Bandung. > > Demikian halnya dengan tersendatnya pasokan elpiji dari Pertamina unit > Balongan, Indramayu. Jika saja kilang di negeri ini cukup banyak dan > para pengelolanya cerdas serta amanah, rakyat takkan menjerit > kekurangan minyak tanah dan elpiji. > > Satu hal lagi, hingga tahun 1990, Kota Bandung memiliki saluran gas > bawah tanah yang tidak berhenti selama 24 jam. Jalur ini juga ada di > Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Jalur ini persis seperti > di negara-negara maju yang masyarakatnya membayar gas setiap bulan > persis seperti membayar listrik. Namun entah kenapa hal itu tidak ada > lagi. Kabarnya ini akibat ketidakmampuan Pertamina dan Perusahaan Gas > Negara memasok bahan bakar gas tersebut. Padahal, jika jalur itu > dipertahankan, bahkan diperluas jaringannya, maka takkan ada kata gas > habis di pasaran. (*) > > >