Cenah RUU Pornografi rek disahkeun ku DPR tanggal 23 September ayeuna. Tapi 
masih loba nu pro jeung kontra. Dihandap ieu eusi RUU Pornografi nu rek 
disahkeun tea, meunang nyalin tina detikcom.

Nyanggakeun, bilih bade dipadungdengkeun. Ari ceuk kuring mah,  RUU ieu 
memang kontroversial tingali Pasal 1, pasal karet, bisa ditafsirkeun 
kamana-mana, sabab hese nangtukeun nu kumaha nu "ngahudang hasrat seksual" 
teh, sabab relatif pisan, gumantung kana individu masing-masing manusana.


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk 
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, 
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan 
komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau 
pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau 
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan 
oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, 
televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan 
komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan 
lainnya.

3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan 
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik 
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945.

6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat 
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan 
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, 
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, 
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, 
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari 
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, 
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, 
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:

e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

f.kekerasan seksual;

g.masturbasi atau onani;

h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau

i.alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan 
ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan 
seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, 
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi 
objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang 
mengandung muatan pornografi.

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan 
atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, 
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau 
Pasal 10.

Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, 
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau 
jasa pornografi.

Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan 
perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan 
untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.

Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, 
dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan 
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan 
Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan 
mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 17
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, 
keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, 
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap 
anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, 
kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, 
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah 
berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk 
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui 
internet;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan 
pornografi; dan

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam 
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan 
penggunaan pornografi.

Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, 
Pemerintah Daerah berwenang:

a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk 
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui 
internet di wilayahnya;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan 
pornografi di wilayahnya;

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan 
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka 
pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap 
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat 
dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang 
pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak 
pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b 
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan.

Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 
ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan 
perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap 
pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum 
Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum 
Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi 
tetapi tidak terbatas pada:

a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan 
cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi 
lainnya.

Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, 
memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail 
komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data 
elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau 
penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka 
data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik 
setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara 
pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, 
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data 
tersebut didapatkan.

Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang 
diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang 
diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan 
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas 
kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang 
dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang 
sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan 
pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, 
menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, 
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling 
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana 
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) 
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit 
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 
atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, 
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana 
dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak 
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun 
dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 
(tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek 
atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau 
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang 
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua 
belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus 
juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan 
atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, 
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun 
atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan 
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, 
Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum 
ancaman pidananya.

Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, 
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau 
jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana 
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau 
pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu 
korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi 
dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana 
tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun 
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, 
baik sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi 
tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 
dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi 
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus 
korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan 
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada 
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda 
dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang 
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi 
dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan 
setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan 
kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan 
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana 
pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan 
Undang-Undang ini.

Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang 
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN:

Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain 
persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral 
seks, anal seks, lesbian, homoseksual.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang 
didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan 
paksaan, pemerkosaan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah penampakan tubuh 
dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus 
pandang.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan atau mengambil fail 
(file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 6
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" 
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang 
mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau 
terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan 
tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan 
lainnya.

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau 
menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di 
tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah perbuatan yang dilakukan 
atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan 
persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain 
kekerasan seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, 
memperbanyak, atau menggandakan.

Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, 
mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, 
meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, 
memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.

Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan 
ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, 
pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan 
yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak 
menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14
Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak 
mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak 
melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang 
menggambarkan lingga dan yoni.

Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi 
terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan 
perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 
Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah 
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah 
pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. (nrl/nrl) 

Kirim email ke