Assalamu'alaikum wr.wb.

Para wargi, kumaha daramang sadayana?

Beres can ngomongkeun pulitik teh..? meuni asa pulitik deui pulitik deui..
mendingan ngomongkeun cinta cah, keur usum...

Tapi hapunten, da mun tulisan kuring di handap disundakeun... asa teu keuna
kana mamaras...

Mangga dilajengkeun...

===000===

 

Ibarat Cinta

By: Ahmad Sopiani

 

"Cinta ibarat pasir, semakin kau genggam semakin sedikit yang kau dapat".
Kata-kata mutiara ini saya dapat dari seseorang bernama "Mutiara", yang
entah dari mana dia mendapatkannya. Sederhana tetapi dengan telak menghantam
sisi kemanusiaan saya yang paling dalam. Entah bagaimana, ketika kali
pertama membacanya saya langsung tertegun, terhenyak, seolah ada kebenaran
baru yang merambahi sel-sel kelabu di balik tulang tengkorak saya. Khayal
dan pikir saya langsung jauh mengembara ke berbagai situasi dan eksistensi
ketika cinta mewujud dalam pentas kehidupan mayapada.

 

Saya membayangkan meraup tumpukan pasir dengan tangan, maka terlintas dalam
pikiran semakin terbuka tangan saya, semakin banyak yang saya raup. Pun
sebaliknya, ketika tangan dikepalkan, pasir dalam genggaman itu tercecer
berhambur berjatuhan. Hanya menyisakan sedikit pasir saja di sisa genggaman.
Ketika bayangan meraup pasir itu saya konversikan ke dalam drama pentas
kemanusiaan, yang terbayang adalah kegagalan demi kegagalan para pencari
cinta yang melulu ingin mendapatkan dan ingin memiliki. Ingin meraih,
mengambil sebanyak-banyaknya untuk kepuasan diri dan egonya. Tak puas
mendapat setitik, ingin sebelanga. Menuntut dan meminta tanpa kenal kata tak
bisa. Harus kudu mendapatkan apa yang didamba. Menyisihkan dan memberangus
kepentingan orang lain demi meraih apa yang dicinta oleh egonya. Ingin
selalu menerima dan mendapatkan demi kepuasan dirinya. Hasil akhirnya, yang
dia dapat melulu kekecewaan dan penderitaan. Kalau kata Kho Ping Ho, yang
demikian itu sesungguhnya bukan cinta. Itu adalah nafsu dan ego rendah
manusia.

 

Cinta sejati meniscayakan kebahagiaan dengan membuka tangan. Memberi,
memberi dan memberi. Semakin cinta ia, semakin banyak yang diberikannya.
Semakin cinta ia, semakin sedikit ruang bagi egonya. Semakin cinta ia,
semakin menggebu ia bertanya apa lain hal yang bisa dilakukan untuk
dambaannya. Cinta sejati meniscayakan apa yang dia berikan dan lakukan
berbanding lurus dengan kebahagiaannya. Semakin besar dan banyak ia memberi,
kian besar pula bahagia dalam hatinya. Para pecinta sejati tak pernah
terpikir untuk memiliki. Jikapun memiliki, itu hanyalah landasan baru
baginya untuk memberi lebih banyak lagi. 

 

Bayangkanlah cinta seorang ayah pada anak dan ibu dari anaknya, selalu
merupakan cinta dan pengorbanan untuk memberikan segala yang terbaik tiada
kenal lelah sepanjang kisah. Lihatlah cinta sorang ibu pada anaknya yang
demikian besar nuansa memberi tanpa pretensi untuk mendapat balasan kecuali
rasa bahagia dapat menjalankan perannya sebagai ibu dengan baik dan benar
disela keharusannya membaktikan cinta pada suaminya. Memberi dan memberi
dengan tangan terbuka, memelihara cinta dalam keluarga. Ketika kata memberi
itu kemudian dibubuhi kata saling, lengkaplah sudah kebahagiaan.

 

Bayangkanlah cinta seorang hamba pada rabb-nya, semestinya adalah dedikasi
dari seluruh potensi kemanusiaan dalam upaya penghambaan yang tiada kenal
akhir. Cinta tanpa syaratnya akan selalu merupakan ketaatan dan kepatuhan
terhadap segala hal yang disuratkan dalam firman-Nya dan disiratkan di
semesta-Nya. Membayangkan cinta ternyata membayangkan seluruh hidup dan
kehidupan, meski seluruh kehidupan ini tak lebih dari sinyal-sinyal listrik
di dalam otak manusia.

 

Sesungguhnya dahulu saya tidak terlalu suka menulis tentang cinta yang bagi
saya rasanya terlalu cengeng untuk dituliskan atau dibaca. Paling banter
saya jadi "penasihat" untuk orang yang sudah "ngejoprak" tak berdaya digerus
erosi cinta. Bagi saya cinta terlalu biru. Terlalu melankolis. Terlalu
banyak air mata. Terlalu banyak metafora. Terlalu emak-emak pecandu
sinetron.

 

 

Akhirnya saya harus jujur, ibarat cinta dari Mutiara memberi ketegasan bahwa
cinta terlalu penting untuk tidak dihiraukan karena persebarannya telah
demikian universal dan menembus ruang dan waktu. Saya bahkan ingat pula,
bahwa cinta yang sama lah yang telah melambungkan Rabiah al-Adawiyyah kepada
maqam tertinggi yang bisa dicapainya.

 

Semoga cinta ini pulalah yang bisa mengangkat panji Islam menjulang tinggi
di angkasa.

 

Bangkit Melawan atau Diam dan Tertindas Selamanya !!

Tetap Semangat !!

Bekasi, 18 Desember 2008.

Ahmad Sopiani

 <http://www.sopian73.wordpress.com/> www.sopian73.wordpress.com

Reply via email to