Kade ulah lepat ..loaba jalmi jadi beungjar..kulantaran ancrub ka
pulitik...Lulus SMA oge cekap..teras lebet aktivis Partey..janten Caleg..

On 12/19/08, Ahmad Sopiani <sopia...@lge.com> wrote:
>
>
>
> Assalamu'alaikum wr.wb.
>
> Para wargi, kumaha daramang sadayana?
>
> Beres can ngomongkeun pulitik teh..? meuni asa pulitik deui pulitik deui..
> mendingan ngomongkeun cinta cah, keur usum...
>
> Tapi hapunten, da mun tulisan kuring di handap disundakeun... asa teu keuna
> kana mamaras...
>
> Mangga dilajengkeun...
>
> ===000===
>
>
>
> Ibarat Cinta
>
> By: Ahmad Sopiani
>
>
>
> "Cinta ibarat pasir, semakin kau genggam semakin sedikit yang kau dapat".
> Kata-kata mutiara ini saya dapat dari seseorang bernama "Mutiara", yang
> entah dari mana dia mendapatkannya. Sederhana tetapi dengan telak menghantam
> sisi kemanusiaan saya yang paling dalam. Entah bagaimana, ketika kali
> pertama membacanya saya langsung tertegun, terhenyak, seolah ada kebenaran
> baru yang merambahi sel-sel kelabu di balik tulang tengkorak saya. Khayal
> dan pikir saya langsung jauh mengembara ke berbagai situasi dan eksistensi
> ketika cinta mewujud dalam pentas kehidupan mayapada.
>
>
>
> Saya membayangkan meraup tumpukan pasir dengan tangan, maka terlintas dalam
> pikiran semakin terbuka tangan saya, semakin banyak yang saya raup. Pun
> sebaliknya, ketika tangan dikepalkan, pasir dalam genggaman itu tercecer
> berhambur berjatuhan. Hanya menyisakan sedikit pasir saja di sisa genggaman.
> Ketika bayangan meraup pasir itu saya konversikan ke dalam drama pentas
> kemanusiaan, yang terbayang adalah kegagalan demi kegagalan para pencari
> cinta yang melulu ingin mendapatkan dan ingin memiliki. Ingin meraih,
> mengambil sebanyak-banyaknya untuk kepuasan diri dan egonya. Tak puas
> mendapat setitik, ingin sebelanga. Menuntut dan meminta tanpa kenal kata tak
> bisa. Harus kudu mendapatkan apa yang didamba. Menyisihkan dan memberangus
> kepentingan orang lain demi meraih apa yang dicinta oleh egonya. Ingin
> selalu menerima dan mendapatkan demi kepuasan dirinya. Hasil akhirnya, yang
> dia dapat melulu kekecewaan dan penderitaan. Kalau kata Kho Ping Ho, yang
> demikian itu sesungguhnya bukan cinta. Itu adalah nafsu dan ego rendah
> manusia.
>
>
>
> Cinta sejati meniscayakan kebahagiaan dengan membuka tangan. Memberi,
> memberi dan memberi. Semakin cinta ia, semakin banyak yang diberikannya.
> Semakin cinta ia, semakin sedikit ruang bagi egonya. Semakin cinta ia,
> semakin menggebu ia bertanya apa lain hal yang bisa dilakukan untuk
> dambaannya. Cinta sejati meniscayakan apa yang dia berikan dan lakukan
> berbanding lurus dengan kebahagiaannya. Semakin besar dan banyak ia memberi,
> kian besar pula bahagia dalam hatinya. Para pecinta sejati tak pernah
> terpikir untuk memiliki. Jikapun memiliki, itu hanyalah landasan baru
> baginya untuk memberi lebih banyak lagi.
>
>
>
> Bayangkanlah cinta seorang ayah pada anak dan ibu dari anaknya, selalu
> merupakan cinta dan pengorbanan untuk memberikan segala yang terbaik tiada
> kenal lelah sepanjang kisah. Lihatlah cinta sorang ibu pada anaknya yang
> demikian besar nuansa memberi tanpa pretensi untuk mendapat balasan kecuali
> rasa bahagia dapat menjalankan perannya sebagai ibu dengan baik dan benar
> disela keharusannya membaktikan cinta pada suaminya. Memberi dan memberi
> dengan tangan terbuka, memelihara cinta dalam keluarga. Ketika kata memberi
> itu kemudian dibubuhi kata saling, lengkaplah sudah kebahagiaan.
>
>
>
> Bayangkanlah cinta seorang hamba pada rabb-nya, semestinya adalah dedikasi
> dari seluruh potensi kemanusiaan dalam upaya penghambaan yang tiada kenal
> akhir. Cinta tanpa syaratnya akan selalu merupakan ketaatan dan kepatuhan
> terhadap segala hal yang disuratkan dalam firman-Nya dan disiratkan di
> semesta-Nya. Membayangkan cinta ternyata membayangkan seluruh hidup dan
> kehidupan, meski seluruh kehidupan ini tak lebih dari sinyal-sinyal listrik
> di dalam otak manusia.
>
>
>
> Sesungguhnya dahulu saya tidak terlalu suka menulis tentang cinta yang bagi
> saya rasanya terlalu cengeng untuk dituliskan atau dibaca. Paling banter
> saya jadi "penasihat" untuk orang yang sudah "ngejoprak" tak berdaya digerus
> erosi cinta. Bagi saya cinta terlalu biru. Terlalu melankolis. Terlalu
> banyak air mata. Terlalu banyak metafora. Terlalu emak-emak pecandu
> sinetron.
>
>
>
>
>
> Akhirnya saya harus jujur, ibarat cinta dari Mutiara memberi ketegasan
> bahwa cinta terlalu penting untuk tidak dihiraukan karena persebarannya
> telah demikian universal dan menembus ruang dan waktu. Saya bahkan ingat
> pula, bahwa cinta yang sama lah yang telah melambungkan Rabiah al-Adawiyyah
> kepada maqam tertinggi yang bisa dicapainya.
>
>
>
> Semoga cinta ini pulalah yang bisa mengangkat panji Islam menjulang tinggi
> di angkasa.
>
>
>
> Bangkit Melawan atau Diam dan Tertindas Selamanya !!
>
> Tetap Semangat !!
>
> Bekasi, 18 Desember 2008.
>
> Ahmad Sopiani
>
> www.sopian73.wordpress.com
>
>  
>

Reply via email to