Kekuatan Tradisi Sastra Indonesia di Jawa Barat
--Oleh Anwar Holid

Majelis Sastra Bandung mengadakan diskusi untuk menggali akar tradisi dan 
tonggak-tonggak sastra Indonesia yang terjadi di Jawa Barat.

BANDUNG - Aku melangkah cepat-cepat begitu turun dari angkot di jalan Aceh, 
soalnya titik-titik hujan sebesar biji jagung sudah mulai berjatuhan, kuatir 
sampai di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) dalam keadaan basah kuyup. Untunglah 
aku menang, dan sampai di pintu gedung itu bertemu dengan Matdon (Rais 'Am Kyai 
Majelis sastra Bandung), sekalian salaman dengan Wawan Juanda dari Republik 
Entertainment. Di gedung itu sudah berdatangan sejumlah orang, terutama 
anak-anak ASAS dari UPI.

"Habis dari mana nih, pakai batik segala?" kata seseorang. Aku memang 
mengenakan batik biru; sebuah baju aneh untuk datang ke acara sastra. Dengan 
baju ini, dulu banyak orang mengira aku adalah seorang PNS. "Habis dari 
kondangan," jawabku tertawa. Aku disarankan mengenakan batik oleh penata 
kostum, yang aku turuti dengan senang hati karena itu membuat aku lebih rapi. 
Kadang-kadang, aku ingin sesekali malah pakai dasi dan lebih rapi lagi, seperti 
pernah aku lakukan dulu waktu kerja di M_. Tapi sekarang aku tak punya dasi. 
Entah ke mana dasi milikku dulu.

Waktu memutuskan akan datang ke acara di hari Minggu, 25 januari 2009 ini, aku 
bingung dengan tema diskusi: menengok tradisi sastra di Jawa Barat. Tema ini 
penuh jebakan. Dalam kepalaku ada dua pertanyaan: tradisi sastra yang mana? 
Sastra Indonesia atau sastra Sunda. Apalagi yang bicara adalah Soni Farid 
Maulana dan Hawe Setiawan. Yang pertama terkenal sebagai penyair kawakan, yang 
kedua dikenal sebagai kritikus dan pegiat budaya Sunda. Benar juga, ketika 
memulai bicara, Hawe mengungkapkan kekhawatiran serupa. Untunglah, rupanya 
Majelis Sastra Bandung ingin membicarakan tradisi sastra Indonesia di Jawa 
Barat. 

Soni Farid Maulana membicarakan dinamika Bandung sebagai pusat puisi, penyair, 
dan gerakan puisi. Cakupan pembicaraannya nyaris khusus mencuplik tentang 
Bandung. Salah satu yang dia ungkap ialah fakta betapa sejumlah sastrawan yang 
tumbuh di Bandung akhirnya hijrah ke berbagai kota---terutama Jakarta--ketika 
ada tawaran atau kesempatan yang lebih menarik ada di sana. 

Sementara Hawe Setiawan melihat tradisi dari sudut pandang yang jauh lebih luas 
dan menyeluruh. Menurut Hawe, ada empat hal yang harus diperhatikan bila kita 
mau bicara soal tradisi, yaitu:
1/ Lokasi penulis, terutama dalam hal geografis; tradisi sastra di Jawa Barat 
tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan di kota-kota lain, baik itu Tasik, 
Cirebon, Garut, dan semua wilayah Jawa Barat.

2/ Genre; sastra ialah mencakup semua turunannya, bukan hanya puisi; ada prosa 
dan drama di sana.

3/ Bahasa; bukan hanya bahasa Indonesia yang aktif digunakan oleh penduduk Jawa 
Barat, melainkan juga bahasa ibunya, yaitu Sunda. Bahkan ada sebagian orang 
Sunda keturunan Cina yang menulis dalam bahasa Mandarin, aktif berkarya di 
media internasional,  dan mendapat reputasi mengagumkan di sana. Hawe 
menyatakan, sejumlah sastrawan Jawa Barat menulis secara bilingual, tapi ada 
juga yang memilih bahasa Sunda. Atau ketika muda menulis dalam bahasa 
Indonesia, dan ketika memasuki masa tua menulis dalam bahasa Sunda. Tradisi ini 
telah berlangsung cukup lama.

4/ Tradisi itu sendiri, bahwa tradisi merupakan proses, semangat kolektif, 
memiliki sejarah yang panjang, didukung oleh politik, industri, dan media.

Hawe menautkan kekuatan tradisi itu dengan Bandung sebagai kota yang industri 
kreatifnya sudah maju. Dia menyebut soal DIY (do it yourself), kerajinan, 
industri fashion & clothing, musik, makanan, seni, dan kreatif lain. Tapi 
sastra, seperti apa? Yang paling menonjol dalam amatan keduanya ialah tradisi 
kreatif dalam komunitas, gerakan, dan perayaan yang sudah tumbuh, sementara 
industri belum.

Lontaran pembicaraan ini membuatku bertanya: dengan persoalan bahasa dan 
potensi kreativitasnya, kenapa sastrawan Bandung gagal menjadikan sastra 
sebagai penopang hidupnya, kenapa para sastrawan gagal hidup layak dari 
kegiatan sastranya? Kenapa industri sastra tidak tumbuh di Bandung, agar para 
sastrawan bisa mendapat bagian keuntungan finansial yang pantas dari 
aktivitasnya. Kalau para seniman lain bisa hidup dari kegiatannya, kenapa 
sastrawan tidak?

Hawe dan Soni sepakat bahwa persoalan finansial dan ekonomi, kaya-miskin, 
bukanlah bagian dari proses kreatif sastra. Aku juga sepakat soal ini, tapi itu 
membuatku miris. Mendadak aku ingat pernyataan Saut Situmorang: bahwa sastrawan 
yang hebat ialah sastrawan yang hanya peduli pada kualitas pencapaian 
sastranya, tak peduli tubuhnya hancur oleh apa pun.

Diskusi berlangsung dalam guyuran hujan, dalam ruangan pengadilan dahulu Bung 
Karno dan kawan-kawan digugat oleh pemerintah kolonial Belanda. Penyelenggara 
acara ini, Majelis Sastra Bandung, didirikan oleh Matdon dan kawan-kawan di 
GIM, melontarkan slogan "ruang sastra yang sebenarnya." Mereka berniat 
mengadakan acara serupa setiap bulan; tapi Hawe menyarankan agar acara lebih 
diarahkan ke workshop alih-alih bedah karya. Di luar forum, setelah acara 
selesai, Hawe menyatakan mimpinya mendirikan Bandung Editors Club, sebuah 
lembaga yang dia harapkan bisa jadi barometer perbukuan di Indonesia.[] 

Kontak Majelis Sastra Bandung: 022-70014086

Oleh Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen 
TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

Copyright © 2009, oleh Anwar Holid

Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke