Kungsi nempo Badri dina  tayangan TV,  manehna saurang "militan" dina 
puluk-pelak tatangkalan di wewengkon Puncak Bogor.  Beda jeung jelema sejen, 
manehna henteu nyokot, tapi malah nyumbang (alam). Nyanggakeun Catatan 
Pinggir Gunawan Muhammad perkara Kang Badri Ismaya, urang Puncak .....

Badri
Tempo, Senin, 26 Januari 2009

Setitik air menetes ke kepalanya, dan sejak saat itu Badri seakan-akan 
dilahirkan kembali. Ia jadi seseorang yang baru.

Kisahnya saya baca dalam Kompas 19 Januari yang lalu. Kisah itu membuat saya 
percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang 
menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara 
spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil.

Badri tinggal di sebuah kampung yang merupakan bagian dari Desa Tugu Utara, 
di Kecamatan Cisarua, Bogor. Bertahun-tahun lamanya, lelaki yang kini 
berumur 60 tahun itu jadi tukang babat hutan. Bersama beberapa temannya, ia 
ke luar masuk kawasan Puncak yang waktu itu rimbun dan sejuk. Dengan gergaji 
dan parang mereka tebangi pohon-pohon untuk dipotong-potong dan dijual 
sebagai kayu bakar. Empat tahun lamanya, sejak tahun 1975, sejak ia berumur 
36 tahun, Badri mendapatkan nafkahnya dengan merusak hutan.

Tapi sesuatu terjadi di sebuah hari di bulan Oktober tahun 1979.

Siang itu ia tak pergi bersembahyang Jum'at. Sejak pagi ia terus saja 
menebangi pohon. Di tengah hari, ketika siang jadi terik, ia beristirahat 
sejurus. Ia duduk. Mendadak, katanya, seperti dikutip Kompas, setetes air 
jatuh ke kepalanya.

"Hanya setetes," katanya, "tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya 
menebang pohon dan memikul kayu langsung hilang."

Ia pun melihat ke sekeliling, mencari dari mana tetes air itu datang. 
Ternyata, butir bening yang sejuk itu jatuh dari pokok yang baru 
ditebangnya. "Saya terkejut," kata Badri. "Saya duduk terdiam, merenungkan 
tetes air itu."

Sejak hari itu-ia ingat tanggalnya dengan persis, 6 Oktober 1979-ia gundah. 
Ia kembali masuk ke luar hutan, tapi kali ini tidak untuk menebang, 
melainkan untuk membuktikan bahwa pohon-pohon memang menyimpan air di tubuh 
mereka, di akar mereka yang masuk ke tanah. Setelah ia menemukan kenyataan 
itu sendiri, ia pun yakin. Ia pun bertekad. "Sejak tahun itu pula saya 
berjanji tidak lagi menebang pohon", tuturnya. Bahkan ia bersumpah akan 
terus menanam sampai akhir hidupnya.

Maka hampir tiap hari ia membawa coredan, alat pembuat lobang kecil di tanah 
tempat akan dipendamnya bibit. Hampir tiap hari, dengan tubuhnya yang tua, 
kurus tapi liat, dilapisi kulit yang hitam legam terbakar matahari, Badri 
mengembalikan ke bukit-bukit di Puncak daun dan dahan dan akar hutan tropis. 
Ia menebus. Ia memulihkan. Ia tak mau lelah. Kakek itu menampik sakit.

Janji itu tak mudah. Ia kehilangan sumber nafkahnya: sang pencuri kini jadi 
sang pemberi. Isterinya marah. Hidupnya sendiri tak selamanya aman. Badri 
menciptakan musuh. Beberapa kali ia ditangkap dan dianiaya para spekulan 
tanah dan petugas keamanan villa-villa di kawasan Cisarua. Sebab ia tak ragu 
untuk menanam pohon apa saja di tanah kosong mana saja - yang tak jarang 
kepunyaan orang tapi dibiarkan terlantar atau sedang dibidik untuk 
diperjual-belikan.

Ia melakukan itu sejak 1979. Sampai sekarang: sebuah kesetiaan 
non-institusional. Yang mengarahkannya bukanlah satu program, satu lembaga, 
atau ajaran, melainkan sebuah "kejadian".

Kata "jadi" -- sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang tak mudah 
diterjemahkan -- menggambarkan perubahan yang-potensial ke dalam 
yang-aktual, yang-belum ke dalam yang-sudah. "Kejadian" juga mensugestikan 
sesuatu yang tak rutin dan terkadang menakjubkan. Jika yang dialami Badri 
dan yang membuat dirinya berubah kita sebut sebuah mukjizat itu karena 
semuanya berlangsung di sebuah masa ketika hal demikian sungguh tak lazim. 
Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon dipacu oleh 
kepentingan-diri.

Kita bayangkan Badri: tetesan air itu membuatnya terguncang, tapi dengan 
segera jadi sebuah tekad, pada 6 Oktober 1979 itu. Dengan itu Badri tak 
merasa perlu bertanya untuk siapa dia menanam pohon tiap hari selama tiga 
dasawarsa.

Ia seorang militan. Tapi seorang militan lain mungkin akan mengorbankan 
dirinya untuk sesuatu yang tertutup, misalnya kaum atau pihaknya sendiri. 
Militansi Badri tidak demikian: ia bekerja untuk sesuatu yang tak berpuak. 
Ia menjangkau sesuatu yang secara universal terbuka. Pohon-pohon itu tumbuh 
dan hutan itu akan kembali rimbun untuk siapa saja, bahkan untuk manusia 
dalam geografi dan generasi yang tak akan ia kenal.

Mungkin orang akan mencemooh Badri: ia naif. Ia tak berpikir bahwa bila 
Puncak jadi hijau kembali, bila hutan tumbuh dan menyimpan air, yang akan 
menikmatinya terutama orang yang berduit dan berkuasa. Pendeknya, niat untuk 
menjangkau sesuatu yang universal itu bodoh, melupakan bahwa "sesama" tak 
pernah "sama", kecuali sebagai angka statistik.

Tapi saya tak akan mencemooh Badri. Ia mungkin tahu tapi mungkin juga tidak 
bahwa orang-orang kaya di Jakarta adalah perusak hutan yang lebih buas 
ketimbang para pencuri batang pohon seperti dia sebelum 1979. Orang-orang 
berduit dan berkuasa membangun vila dan membedah lereng, memakai mobil 
dengan karbon dioksida yang paling ganas, dan mengkonsumsi sandang-pangan 
dengan rakus hingga segala yang alami dikorbankan. Tapi salahkah Badri bila 
ia terus menanam pohon di bukit itu?

Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini, yang bernama lengkap 
Badri Ismaya (dan "Ismaya" adalah Semar dalam wayang, jelata yang juga 
dewata), adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang 
dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal 
kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang.

Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah 
putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. 
Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi 
tetes air dan keajaiban. 

Kirim email ke