Tamba tiiseun, nyanggakeun hatur lumayan dongeng Yunani kuno soal kakawasaan, 
ego jeung demokrasi: 

Thersites
Caping Tempo, Senin, 11 Mei 2009

Demokrasi dimulai dengan seorang buruk muka yang dipukul punggungnya. Namanya 
Thersites, tokoh yang tak banyak dikenal dalam puisi Iliad karya Homeros dari 
sekitar abad ke-9 Sebelum Masehi. 

Dalam kisah para raja dan pangeran yang membawa ribuan prajurit untuk berperang 
mengalahkan Kota Troya ini Thersites dilukiskan sebagai ”lelaki paling jelek” 
dalam pasukan. Kakinya lemah sebelah, pundaknya melengkung, rambutnya tinggal 
beberapa helai di ubun-ubun. Tapi yang menyebabkan ia dicatat dalam Iliad 
adalah ”lidahnya yang tak terkendali”. Ia mengecam mereka yang berkuasa. 

Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites 
mendamprat Raja Agamemnon.

”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri 
tuan rusuh, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga 
dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan 
jarahan itu kepada tuan.”

Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang—yang merasa bahwa orang 
bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang 
raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan 
perintah jadi sengsara.”

Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: 
”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”. 

Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja 
Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. 
Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu….”

Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. 
Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah.

Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si 
mulut tajam itu menangis kesakitan….

Sejarah demokrasi mendapatkan perumpamannya dalam kisah orang yang dipukul dan 
ditertawakan itu. ”Demokrasi,” kata Rancière dalam 10 tesisnya tentang politik, 
”adalah istilah yang diciptakan oleh musuh-musuhnya.”

Kata demos bermula sebagai ejekan bagi yang tak ”punya kualifikasi” memerintah. 
Menurut Rancière, dari tujuh axiomata atau syarat-syarat memerintah yang 
disusun Plato ada empat yang bersifat alamiah, semuanya berdasarkan kelahiran. 
Maka yang tua punya dasar untuk berkuasa atas yang muda, majikan atas hamba, 
bangsawan atas petani. Plato juga menyebut syarat kelima: kekuasaan yang kuat 
atas yang lemah, dan syarat keenam: kekuasaan mereka yang punya pengetahuan 
atas mereka yang tidak.

Yang menarik ada axioma ketujuh dalam Plato: ”pilihan tuhan”. Lantaran dewa 
atau Tuhan tak bisa ditebak, kekuasaan yang disebut karena ”pilihan tuhan” 
datang melalui sejenis undian. Dalam demokrasi tak ada kualifikasi apa pun bagi 
yang memerintah, kecuali, dalam kata-kata Rancière, ”semata-mata kebetulan”. 
Tak ada prinsip yang sudah siap dalam mengalokasikan peran sosial.

Dengan kata lain: demokrasi, bagi musuh-musuhnya, adalah kekuasaan yang 
awut-awutan, pemerintahan para Thersites yang bermuka buruk yang pantas dipukul 
dan ditertawakan.

Perlu ditambahkan di sini: mereka ini—setidaknya dalam kisah Yunani kuno—tak 
hanya yang berasal dari kelas sosial lebih rendah. Pada mulanya, kata demos 
memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Tapi di satu bagian Buku XII 
Odysseus disebutkan bagaimana Polydamas mengeluh karena pendapatnya tak 
diacuhkan Hektor—meskipun keduanya pangeran Troya dan saudara sekandung.

Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok 
penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa 
serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, 
himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés.

Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan 
kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah politik, 
sebagai perjuangan, lahir. Sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan 
itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka 
ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana 
yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.

Tapi kekuasaan yang demikian tak mengakui bahwa selalu ada yang gerowong yang 
tak tercakup oleh garis pemisah yang diletakkan dari atas. Dari yang gerowong 
itulah semburan terjadi. Dari gerowong itulah politik bangkit. Thersites 
bersuara dan ia dipukul, ditertawakan, dan diabaikan—tapi bukankah dengan 
demikian kita tahu ada liang kosong dalam wibawa Agamemnon dan keutuhan bangsa 
Achaea, dan bahwa Odysseus tak ingin ditinggalkan sendiri di ambang Perang 
Troya?

Tentu, Thersites seorang diri; ia bukan subyek sebuah laku politik. Tapi 
gugatannya adalah gugatan yang wajar bagi siapa saja yang merasakan 
ketidakadilan dan aniaya. Politik sebagai perjuangan selalu menyerukan 
panggilan yang universal—dan itu sebabnya dari gerowong itu terjadi gerak 
kolektif yang bisa dahsyat.

Maka kini kita lebih dekat ke Thersites ketimbang ke Odysseus. Tapi ini juga 
karena kita (bersama Thersites) tak tahu apa sebenarnya yang hendak dicari 
orang macam Agamemnon. 

Kita hanya tahu, Perang Troya yang bertahun-tahun itu bermula karena istri sang 
raja melarikan diri ke pelukan orang lain. Pada mulanya adalah ego—yang 
akhirnya menentukan segalanya. Hanya dengan kebrutalan yang luar biasa proses 
itu bertahan. Dalam arti itu, kisah Homeros bukanlah sebuah epos; ia sebuah 
tragi-komedi: sebuah kisah kekuasaan yang gila dan ganjil, di mana seorang 
Thersites tak bisa serta, tak mau serta.

Goenawan Mohamad


      Berselancar lebih cepat dan lebih cerdas dengan Firefox 3
http://downloads.yahoo.com/id/firefox/

Kirim email ke