Tukang radio gelo .... Nini aing nu melak tangkalna di jual kabatur murah ... ari ka aing incu nu melakna mahal gelo sugan ?
2009/5/12 H Surtiwa <surt...@gmail.com> > > > Aneh oge diluar malah radio kai laku..pasahal dina kampanye lingkungan > produk kai teh kudu dikurangi..kacuali aya data yen kai na meunang budi > daya..Ari di Indonesia mah.tibalik...nganggap kai teh mode..cobi wae iklan > mobil mewah..panel dashboard kai..setir kai....Tapi mun kabeh mobilna tina > kai euweuh nu meuli...... > > > On 5/11/09, tantan hermansah <sariak.lay...@gmail.com> wrote: >> >> Basa ninggali TV. Jorojoy hayang apal naon radio kai teh. >> Ti dinya, kuring bet jadi nulis kieu. >> >> Salam >> Tantan >> >> >> Radio Kayu; sebuah kritik >> >> Melihat tayangan “Kick Andy” minggu ini, saya sangat tertarik dengan >> salah satu temuan Singgih S Kartono, yakni Radio Kayu. Bahkan jika >> melihat penciptanya, Radio Kayu ini mencerminkan banyak hal: Spirit, >> Keindahan, Pengabdian, dan (tentu saja) ekonomi. >> Saya pun mencoba mencari artikel tentang Radio Kayu ini di internet. >> Salah satu artikel yang saya baca adalah kompas. Laman yang saya >> temukan adalah: >> >> http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/14/01031393/singgih.radio.kayu.dan.kehidupan >> . >> Saya pun menelusuri helai-helai kalimat yang disajikan oleh Kompas. >> Artikel ini sangat inspiratif. Berikut kutipannya: >> “Singgih adalah sosok yang mewakili berkembangnya kesadaran bahwa >> batas negara dan daya tarik kota besar makin tak relevan sebagai >> determinan berkembangnya industri kerajinan. Internet memungkinkan >> Singgih memasuki pasar dunia.” >> Akan tetapi ketika memasuki paragraf bawahnya, terdapat kalimat berikut: >> “Radio kayu buatan Singgih bermerek Magno lebih banyak diekspor ke >> Jepang, Jerman, dan AS. ”Saya kirim 300-400 unit radio ke Jepang >> setahun. Pasar di Jerman baru kami tembus. Harga per unit 49-56 dollar >> AS, tapi di Jepang dijual 17.500 yen dan di Jerman 160-240 euro. Di >> dalam negeri saya jual Rp 1,1 juta-Rp 1,3 juta per unit. Agak mahal, >> karena ini benda koleksi yang personal, bukan komoditas,” katanya.” >> Ada yang membuat saya tergelitik dari artikel ini, yang kemudian >> menghancurkan seluruh kekaguman saya kepada Singgih sang pencipta >> Radio Kayu. Mari kita lihat perjelas kata-kata berikut: >> Pertama, Singgih menjual Radio Kayu di luar negeri jauh lebih murah >> daripada di dalam negeri. Saya tidak mengerti motivasi di baliknya. >> Mari kita hitung: Harga Radio Kayu di luar negeri hanya berkisar >> antara Rp. 539.000 sampai dengan Rp. 616.000 saja (dengan asumsi >> dollar Rp.11.000). Sedang di dalam negeri ia menjualnya 1,1 juta >> sampai 1,3 juta per unit. Jadi Singgih menjual barangnya itu setengah >> dari harga di pasar lokal. >> Kedua, dilihat dari sisi alasan, Singgih mengatakan: “karena ini benda >> koleksi personal, bukan komoditas” pada kalimat di atas menandakan >> bahwa Singgih tidak atau sangat kurang cinta Indonesia. Bahkan dengan >> kalimat itu dan praktik yang dilakukannya, menandaskan bahwa Singgih >> tidak termotivasi menjadikan produknya agar dicintai bangsa ini. Sebab >> dengan disparitas yang luar biasa ini, Singgih tengah menjebakkan kita >> pada suatu kubangan logika lama bahwa jika ingin membeli produk bagus >> nan murah, belilah di luar negeri!—seperti yang selama ini sering >> dibuktikan para pelancong ke luar negeri. >> Ketiga, sejatinya, Singgih sah-sah saja mengkapitalisasi hasil produk >> dia guna kepentingan ekonomi bangsa ini. Terlebih lagi produknya >> sangat kompetitif. Namun dengan praktiknya seperti ini, Singgih justru >> tengah....entah apa sebutannya, ketika ia justru lebih besar >> mengkapitalisasi dari bangsa sendiri, di mana pohon-pohon yang >> dipergunakan untuk radionya itu tumbuh. >> *** >> Tadinya, saya berniat memiliki koleksi Radio Kayu yang sangat >> ‘nasionalis’ ini. Mendengar harga di luar, saya sudah menyiapkan >> harga kira-kira sama dengan harga dollar tersebut. Sayang begitu >> menemukan data di dalam negeri yang sangat ‘ajaib’ ini, niat saya jadi >> saya urungkan kembali. Jangan-jangan, harga itu belum termasuk biaya >> kirim ke rumah. Sedang untuk orang luar negeri, harga itu sudah sampai >> di kamar. Biarlah, saya beli produk lokal yang lain, meski bukan dari >> kayu. >> Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan pendiskreditan. Saudara >> Singgih bisa dan sah beralasan bahwa masalah ini sudah menjadi wilayah >> bisnis, atau apa saja. Tapi bagi saya, kelakukan seperti itu jelas >> tidak bisa saya terima. >> >> >> Berikut tulisan lengkap dari kompas. >> Singgih, Radio Kayu dan Kehidupan >> NUGROHO F YUDHO >> Singgih S Kartono, pembuat radio kayu dan kerajinan tangan, menganggap >> produknya sebagai bagian dari kehidupan berkelanjutan. Dengan konsep >> itulah, pembuat radio kayu di Kandangan, desa kecil di Temanggung, >> Jawa Tengah, ini mendapat pesanan 10.000 unit radio kayu senilai Rp >> 4,9 miliar dari rekanannya di Amerika Serikat. >> Singgih adalah sosok yang mewakili berkembangnya kesadaran bahwa batas >> negara dan daya tarik kota besar makin tak relevan sebagai determinan >> berkembangnya industri kerajinan. Internet memungkinkan Singgih >> memasuki pasar dunia. >> ”Sayang, kapasitas produksi saya belum sebesar itu. Apalagi saya juga >> melayani permintaan dari Jepang yang sudah rutin sejak tiga tahun >> lalu. Saya minta waktu setahun untuk memenuhi pesanan itu (dari AS). >> Bagaimanapun saya senang, konsep saya diterima dan mendapat >> kepercayaan,” ujarnya, saat ditemui di ”pabrik”-nya, Piranti Works, di >> Desa Kandangan, Temanggung. >> Ia menunjukkan tiga model radio dari kayu serta peralatan kantor dari >> kayu, seperti pembuka surat, penjepit kertas, stapler, dan kompas >> berlapis kayu. >> ”Radio kayu memang karya akhir saya ketika kuliah di seni rupa ITB. >> Saya hanya membuat rangka dan kemasan. Peralatan elektronik di >> dalamnya saya pakai dari Panasonic, yang memenuhi syarat ketat ramah >> lingkungan untuk pasar ekspor,” ujarnya. >> Radio kayu yang diberi merek Magno itu, Rabu (8/10), diumumkan menjadi >> pemenang Good Design Award 2008 di Jepang untuk kategori >> Innovation/Pioneering & Experimental Design. Magno juga masuk nominasi >> untuk Grand Awards untuk Desain for Asia Award yang digelar di >> Hongkong. >> Awalnya Singgih membeli radio Panasonic di toko, lalu dipreteli dan >> dimasukkan dalam radio kayu. ”Saya sering memborong radio di >> Temanggung, sampai bertemu Pak Rachmat Gobel (Preskom Panasonic >> Indonesia) pada pameran produksi ekspor. Sejak itu saya membeli >> langsung peralatan elektronik dari Panasonic, tidak lagi membeli radio >> di toko,” katanya. >> Radio kayu buatan Singgih bermerek Magno lebih banyak diekspor ke >> Jepang, Jerman, dan AS. ”Saya kirim 300-400 unit radio ke Jepang >> setahun. Pasar di Jerman baru kami tembus. Harga per unit 49-56 dollar >> AS, tapi di Jepang dijual 17.500 yen dan di Jerman 160-240 euro. Di >> dalam negeri saya jual Rp 1,1 juta-Rp 1,3 juta per unit. Agak mahal, >> karena ini benda koleksi yang personal, bukan komoditas,” katanya. >> Radio buatan Singgih itu bisa dilihat di berbagai media gadget atau >> website. Setelah pameran demi pameran dan berbagai lomba desain >> diikuti, pemasaran lewat internet ia lakukan dan contoh produk dikirim >> ke berbagai pihak selama setahun. >> ”Saya menang lomba desain di Seattle, AS, tahun 1997, lalu seorang >> desainer Jepang tertarik dan memasarkan produk ini sejak 2004. Sejak >> itulah produk Magno makin populer.” >> Tanam pohon >> Lalu apa urusan radio kayu dengan filosofi kehidupan berkelanjutan? >> ”Saya lahir dan dibesarkan di desa. Hutan dan kayu adalah lingkungan >> saya. Di desa, kayu dipakai untuk bahan bakar, bikin rumah, mainan, >> dan banyak hal dalam hidup. Setelah lulus kuliah, saya kembali ke >> desa, menghidupi desa dengan kayu dan menghidupkan kayu dari desa,” >> ujarnya. >> Kerajinan kayu memberi nilai tambah signifikan bagi kayu. ”Sebatang >> kayu sengon sebagai kayu bakar hanya ekuivalen dengan 0,8 dollar AS. >> Tapi, sebagai produk kerajinan tangan, kayu yang sama bisa >> menghasilkan 1.000 dollar AS. Kita harus lebih cerdas memanfaatkan >> kayu,” ujarnya. >> Ia mengalokasikan 10 persen dari hasil penjualan produk untuk >> dikembalikan kepada alam, lewat pembibitan dan penanaman pohon. Itulah >> mengapa dari 2.200 meter persegi tanah di pabriknya yang justru >> menghabiskan lahan adalah pembibitan ribuan sengon, mahoni, >> sonokeling, dan pinus. >> ”Bersama aktivis lingkungan, Mukidi, saya merintis penanaman pohon di >> kaki Gunung Sumbing yang gundul. Kami menanam 1.500-an pohon. Ada juga >> bantuan dari Panasonic,” ujarnya. >> Ia juga bekerja sama dengan SMP Negeri 3 Bulu, Desa Wonotirto, di kaki >> Gunung Sumbing, menyebar kesadaran pelestarian alam dengan menanam >> pohon. ”Kami melibatkan murid menanam pohon di sekitar sekolah, di >> kaki gunung, di rumah-rumah. Anak-anak sadar akan pentingnya >> menyelamatkan hutan. Penggundulan hutan menyebabkan kelangkaan sumber >> air di kawasan ini,” ujar Wiyono, Kepala Sekolah SMP 3 Bulu. >> Penggundulan hutan di Gunung Sumbing kian parah karena penanaman >> tembakau. ”Para petani percaya, tembakau akan berkualitas baik jika >> mendapat sinar matahari langsung. Jadi, semua pohon di kaki gunung ini >> ditebangi. Hutan menjadi gundul, rawan longsor, dan banyak mata air >> mengering.” >> ”Warga Desa Wonotirto harus mengambil air bersih dari sumber air yang >> jaraknya 6 kilometer. Itu sebabnya, kami membuat saluran air dari mata >> air dan membuat bak penampungan dekat sekolah. Tanpa bak itu, di >> sekolah ini tak ada setetes pun air bersih,” ujar Singgih. >> Kerusakan lingkungan di Temanggung bisa diatasi jika ketergantungan >> warga pada penghidupan yang mengeksploitasi tanah dikurangi. ”Itu juga >> alasan saya mengembangkan kerajinan yang tak cuma efisien dalam >> penggunaan kayu sebagai bahan baku, tapi juga memanfaatkan sebanyak >> mungkin tenaga kerja,” ujarnya. >> Dengan konsep itu, setiap orang tanpa keterampilan apa pun bisa >> ditampung sebagai tenaga kerja. ”Sejak hari pertama masuk kerja, ia >> harus bisa mengerjakan satu bagian proses produksi. Dalam seminggu ia >> sudah terampil dan dalam 3-4 bulan ia terampil mengerjakan semua >> proses produksi. Dalam setahun, kalau mau dan punya modal, ia bisa >> bikin pabrik sendiri. Kalau bisa mendapat order 2.500 dollar AS sampai >> 3.000 dollar AS sebulan, ia bisa mempekerjakan 10 tenaga kerja,” >> katanya. >> Singgih dibantu 30 karyawan dengan kapasitas produksi 400-an unit >> radio per bulan. ”Saya ingin bisa menampung 1.000 warga Kandangan atau >> 25 persen populasi desa. Dalam 15-20 tahun ke depan, kami punya hutan >> yang rimbun lagi, sumber air melimpah, dan lingkungan hidup yang >> baik,” ujarnya optimistis. >> Singgih mengawali usahanya pada tahun 2003. Ia bekerja di ruang tamu >> rumahnya dengan peralatan rakitan sendiri. Ia berkeliling pabrik kayu, >> membeli sisa kayu potongan untuk bahan baku. Dibantu istri dan empat >> pekerja, ia mulai membuat radio kayu. Kini, ia punya pabrik berukuran >> 15 meter x 18 meter yang dibangun dengan biaya Rp 100 juta. >> Konsep hidup dan kerja inilah yang dijual. Orang tak hanya membeli >> radio kayu, tetapi mendukung konsep kehidupan berkelanjutan di >> Temanggung. >> >> >> ------------------------------------ >> >> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id >> Yahoo! Groups Links >> >> >> >> > >