Hatur nuhun MJ. Tadina saya rek mostingkeun.... Sabab dina email lain, manehna 'taeun' pisan ka saya euy! hehe...tapi teu nanaon lah
Baktos Tantan 2009/5/12 mangjamal <mangja...@yahoo.com>: > > > > supaya saimbang, kudu aya klarifikasi ti singgih. ieu jawabanana di > facebook. > > catetan: singgih lulusan desain produk itb. lanceuk kelas si kuring (86). > ngan si kuring mah desain interior (88) > > ----- > > Terima kasih, atas pencermatan dalam artikel tersebut. Hehe membingungkan > ya? Saya sendiri bingung juga, bagaimana harga wholesale dan harga end > retail dicampur dalam tulisan tersebut. Setiap kali di wawancara media, saya > sering khawatir ada kesalahan penulisan fakta. Dan hal tersebut sering > terjadi, oleh karena itu sekarang saya selalu meminta draft tulisan, agar > saya bisa check data2 yg tertulis sesuai kenyataan dan tidak membingungkan > pembaca. > Dalam perdagangan international ada beberapa tingkatan harga : > > -Harga dari saya ke distributor disebut harga wholesale > > -Harga dari distributor ke retailer disebut harga distributor, distributor > menjual ke Toko sekitar 2x harga wholesale > > -Harga Retail (harga di toko atau harga konsumen) Toko menjual harga ke > konsumen 2x harga distributor. > > Saya menjual WR01A-2B ke distributor di USA, Jerman dan Jepang dengan harga > US$ 47.5, distributor menjual ke retailer/toko 2x47.5 = 90 (bisa lbh, bisa > kurang, tergantung distributor akan mengambil margin brp, tapi rata-rata > distributor hanya mengambil margin 30%, karena mereka menanggung biaya > pengiriman, asuransi, tax masuk). Retailer menjual dengan harga US$ 90x2= > US$ 180. Di bbrp toko di luar menjual dengan harga US$ 200, ini karena harga > distributor 2xlebih dari harga wholesale. Toko mengambil margin 100% karena > mereka hanya menjual sedikit, dan menanggung resiko rugi jika barang tidak > laku. > > Jadi benar saya menjual keluar negeri dengan harga lebih rendah, karena saya > tidak bisa menjual langsung ke konsumen. Tapi ini tidak ada hubungannya > dengan nasionalis maupun tidak, karena rantai perdagangan memang spt itu. > Kalau saya menjual secara online, saya bisa menjual dengan harga end retail, > karena saya langsung berhubungan dengan konsumen. Jadi kalau dibandingkan > harga harga end retail dalam negeri (Rp.1.25jt) dan end retail luar negeri > (US$ 180 s.d US$200) masih jauh lebih mahal harga end retail luar negeri. > > Ketika saya menyusun harga dalam negeri, saya juga sdh memperhitungankan > agar harganya lebih murah dari harga end retail di luar negeri, karena saya > ingin agar bangsa sendiri bisa ikut memiliki. Namun saya juga tidak bisa > menjual dengan harga wholesale, karena saya juga punya outlet di dalam > negeri. Mereka juga mengambil profit dari penjualan tersebut. Selain itu, > ada juga online shop yg disetup oleh rekan saya. Meski menyasar pasar dalam > negeri, online shop sifatnya international, jadi saya juga menjaga harganya > tidak terlalu jauh dari pasar end retail luar negeri, agar para buyer saya > tidak protes. > > Begitulah kira2 penjelasan saya. Saya sendiri memang mendapatkan profit yg > lebih besar dari dalam negeri, namun pasar dalam negeri memang tidak besar, > hanya sekitar 5% dari total output produksi per bulan. > > Untuk pasar ASEAN, Australia dan New Zealand saya set dengan pola baru. > Tidak dengan pola distributorship, namun saya langsung menjual ke > Shops/Retailer, sehingga saya bisa menjual dengan harga distributor (2xharga > wholesale). Selain menjual ke Retailer saya juga akan menjual langsung ke > konsumen dengan harga end retail (4xharga wholesale include biaya kirim) > melalui penjualan online. Sekarang ini orang dari Malaysia, Singapura, > Australia dan New Zealand jika membeli langsung akan mendapat harga yg > hampir sama dengan harga end retail di wilayah dunia yg lain. > > Sebenarnya jika pihak wartawan mau mengkonfirmasikan kembali ke nara sumber > atau membuat sistem recheck data2 yg tertulis, kesalahan dan kebingungan spt > dalam tulisan di Kompas bisa dihindari. Saya ingat, ketika di wawancara > majalah Metropolis Magazine (USA), sebelum naik cetak ada bagian staf lain > (bukan penulis) yang mengirimkan email berisi check list ttg fakta2 yang ada > dalam tulisan yg bakal dimuat. Saya pikir, itu sistem yg baik sekali, karen > narasumber tidak mencampuri bentuk tulisan/isi, narasumber hanya > berkepentingan dengan fakta/data/pernyataan yang disampaikan dan dijadikan > acuan jurnalis untuk menulis artikel. > > Semoga tulisan di atas cukup memberikan penjelasan. > Salam, > Singgih S. Kartono > > --- In urangsunda@yahoogroups.com, tantan hermansah <sariak.lay...@...> > wrote: >> >> Basa ninggali TV. Jorojoy hayang apal naon radio kai teh. >> Ti dinya, kuring bet jadi nulis kieu. >> >> Salam >> Tantan >> >> >> Radio Kayu; sebuah kritik >> >> Melihat tayangan �Kick Andy� minggu ini, saya sangat tertarik dengan >> salah satu temuan Singgih S Kartono, yakni Radio Kayu. Bahkan jika >> melihat penciptanya, Radio Kayu ini mencerminkan banyak hal: Spirit, >> Keindahan, Pengabdian, dan (tentu saja) ekonomi. >> Saya pun mencoba mencari artikel tentang Radio Kayu ini di internet. >> Salah satu artikel yang saya baca adalah kompas. Laman yang saya >> temukan adalah: >> >> http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/14/01031393/singgih.radio.kayu.dan.kehidupan. >> Saya pun menelusuri helai-helai kalimat yang disajikan oleh Kompas. >> Artikel ini sangat inspiratif. Berikut kutipannya: >> �Singgih adalah sosok yang mewakili berkembangnya kesadaran bahwa >> batas negara dan daya tarik kota besar makin tak relevan sebagai >> determinan berkembangnya industri kerajinan. Internet memungkinkan >> Singgih memasuki pasar dunia.� >> Akan tetapi ketika memasuki paragraf bawahnya, terdapat kalimat berikut: >> �Radio kayu buatan Singgih bermerek Magno lebih banyak diekspor ke >> Jepang, Jerman, dan AS. �Saya kirim 300-400 unit radio ke Jepang >> setahun. Pasar di Jerman baru kami tembus. Harga per unit 49-56 dollar >> AS, tapi di Jepang dijual 17.500 yen dan di Jerman 160-240 euro. Di >> dalam negeri saya jual Rp 1,1 juta-Rp 1,3 juta per unit. Agak mahal, >> karena ini benda koleksi yang personal, bukan komoditas,� katanya.� >> Ada yang membuat saya tergelitik dari artikel ini, yang kemudian >> menghancurkan seluruh kekaguman saya kepada Singgih sang pencipta >> Radio Kayu. Mari kita lihat perjelas kata-kata berikut: >> Pertama, Singgih menjual Radio Kayu di luar negeri jauh lebih murah >> daripada di dalam negeri. Saya tidak mengerti motivasi di baliknya. >> Mari kita hitung: Harga Radio Kayu di luar negeri hanya berkisar >> antara Rp. 539.000 sampai dengan Rp. 616.000 saja (dengan asumsi >> dollar Rp.11.000). Sedang di dalam negeri ia menjualnya 1,1 juta >> sampai 1,3 juta per unit. Jadi Singgih menjual barangnya itu setengah >> dari harga di pasar lokal. >> Kedua, dilihat dari sisi alasan, Singgih mengatakan: �karena ini benda >> koleksi personal, bukan komoditas� pada kalimat di atas menandakan >> bahwa Singgih tidak atau sangat kurang cinta Indonesia. Bahkan dengan >> kalimat itu dan praktik yang dilakukannya, menandaskan bahwa Singgih >> tidak termotivasi menjadikan produknya agar dicintai bangsa ini. Sebab >> dengan disparitas yang luar biasa ini, Singgih tengah menjebakkan kita >> pada suatu kubangan logika lama bahwa jika ingin membeli produk bagus >> nan murah, belilah di luar negeri!�seperti yang selama ini sering >> dibuktikan para pelancong ke luar negeri. >> Ketiga, sejatinya, Singgih sah-sah saja mengkapitalisasi hasil produk >> dia guna kepentingan ekonomi bangsa ini. Terlebih lagi produknya >> sangat kompetitif. Namun dengan praktiknya seperti ini, Singgih justru >> tengah....entah apa sebutannya, ketika ia justru lebih besar >> mengkapitalisasi dari bangsa sendiri, di mana pohon-pohon yang >> dipergunakan untuk radionya itu tumbuh. >> *** >> Tadinya, saya berniat memiliki koleksi Radio Kayu yang sangat >> �nasionalis� ini. Mendengar harga di luar, saya sudah menyiapkan >> harga kira-kira sama dengan harga dollar tersebut. Sayang begitu >> menemukan data di dalam negeri yang sangat �ajaib� ini, niat saya jadi >> saya urungkan kembali. Jangan-jangan, harga itu belum termasuk biaya >> kirim ke rumah. Sedang untuk orang luar negeri, harga itu sudah sampai >> di kamar. Biarlah, saya beli produk lokal yang lain, meski bukan dari >> kayu. >> Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan pendiskreditan. Saudara >> Singgih bisa dan sah beralasan bahwa masalah ini sudah menjadi wilayah >> bisnis, atau apa saja. Tapi bagi saya, kelakukan seperti itu jelas >> tidak bisa saya terima. >> >> > > -- tantan hermansah | SM 1270 I 0818 800 528 I Untuk Kebebasan dan Kebahagiaan I Bogor