Baraya ieu nampi kintunan forward email ti rerencangan, geuningan urang
tasik teh seueur anu terah 'Pebisnis'. Sakapeung si kuring ge sok ngahuleng,
katurunan ti aki hampir sadayana janten  padangang, kur kuring anu jadi kuli
teh. Ah ti ayeuna mah bade rada serius janten tukang dagang, sugan we
sapertos haji Endang..:-), nyanggakeun artikelna..
Endang, Tukang Cendol Tasik, Sukses di Bali

HAJI Endang duduk di muka rumah makannya di lingkungan Taman Budaya Garuda
Wisnu Kencana (GWK), Bali, yang dinamai Food Theatre. Rumah makan tersebut
sangat khas dan kental dengan atmosfer Sunda.* MUHTAR IBNU THALAB/"PR"

ORANG Tasikmalaya Jawa Barat sejak lama dikenal sebagai perantau. Sifat itu
terkait dengan naluri bisnis mereka yang tergolong tinggi. Ada yang menyebut
orang Tasik sebagai "orang Padang" dari Sunda. Mereka bertebaran di berbagai
pelosok tanah air, bahkan luar negeri. Beragam profesi mereka jalani, dari
tukang kredit keliling, pedagang kerupuk, pengusaha kain, rumah makan,
hingga pengusaha transportasi. Tak heran, kisah sukses banyak bermunculan
dari kiprah mereka. Salah seorang di antaranya adalah H. Endang Saeful Ubad
(58).

Pria asal Rajapolah Tasikmalaya ini termasuk sukses mengembangkan bisnis
kuliner di pusat industri pariwisata Indonesia, Pulau Bali. Salah satu
outlet-nya yang cukup dikenal adalah Food Theatre, rumah makan yang
mengambil lokasi di lingkungan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Setiap orang yang berkunjung ke GWK, seolah "wajib" bertandang ke rumah
makan Haji Endang. "Setelah lelah, lapar, dan haus sehabis jalan-jalan di
GWK, para turis pasti mampir ke warung saya untuk makan atau minum," kata
Haji Endang membuka percakapan.

Uniknya, Haji Endang menciptakan suasana rumah makannya sangat khas dan
kental dengan atmosfer Sunda. Menu, misalnya, semuanya serba Sunda seperti
nasi timbel komplet plus lalab, sambal, dan sayur asem, batagor dan siomay
Bandung, hingga minuman es cendol, cingcau, es Pak Oyen, hingga kelapa muda
campur gula merah.

"Saya sengaja bawa tiga juru masak dari Tasikmalaya. Mereka saya pilih
karena sudah berpengalaman di rumah makan dan jago masak masakan Sunda. Itu
sengaja saya lakukan karena yang saya jual adalah masakan Sunda, maka juru
masaknya harus paham betul dengan menu masakan Sunda," katanya.

Demikian pula dengan pelayan, semua berasal dari Sunda. Menurut Haji Endang,
hal itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Jika kebetulan turisnya
orang Sunda, akan tercipta keakraban antara karyawannya dan konsumen lewat
komunikasi menggunakan bahasa Sunda. Sementara itu, jika turisnya bukan dari
Sunda, melainkan ingin makan menu khas Sunda, akan merasa yakin karena yang
memasaknya orang Sunda.

"Bagaimana pembeli atau konsumen mau percaya kalau kita menyajikan masakan
Sunda, sementara pelayannya saja tidak mengerti bahasa Sunda. Bukan soal
primordial, melainkan ini mah murni demi kepentingan bisnis," ujar pria yang
mengutamakan aspek kehalalan dalam setiap produk pangan yang dijualnya. "Ini
urusan dunia dan akhirat. Apalagi, saya tahu konsumen saya sebagian besar
pasti Muslim," kata pengusaha yang memulai bisnis di Bali tahun 1989 sebagai
pemasok boneka dari Cijerah dan Babakan Sukamulya, Holis, Bandung.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika suasana di Food Theatre yang
letaknya persis di depan pintu masuk ke Taman Budaya GWK, layaknya rumah
makan Sunda di Tatar Priangan. Celoteh dan kalimat khas seperti "Geuning di
Cianjur," "Geuning dulur keneh," atau "Asa dahar di lembur sorangan," pun
berhamburan. Kadang-kadang keluar kata-kata takjub, "Ini di Bandung atau di
Bali? Kok ngomongnya Sunda semua."

Ternyata, Haji Endang tak hanya mengelola rumah makan di GWK. Ia juga
membuka bisnis serupa di dua tempat strategis lainnya di Pulau Bali, yakni
di depan Joger Pantai Kuta dan food court Kuta Galeria. Sama seperti di GWK,
dua outlet itu pun menonjolkan ciri khas kesundaan. "Khusus untuk outlet di
Kuta Galeria, saya juga menjual oleh-oleh khas Bandung," kata H. Endang,
yang untuk mengelola tiga rumah makannya mempekerjakan empat belas karyawan.


Tukang cendol

Kiprah bisnis H. Endang di Pulau Bali berawal tahun 1989. Saat itu, pertama
kalinya H. Endang berkunjung ke Bali. Seperti juga orang kebanyakan yang
datang ke Bali, Haji Endang pun datang ke Bali untuk pelesiran. Namun, dasar
berjiwa bisnis, dari hasil kunjungannya ke beberapa lokasi wisata di Pulau
Dewata, ia menangkap peluang membuka usaha.

Bisnis pertamanya adalah dengan menjual boneka sebagai suvenir. Ia mengambil
boneka dari perajin di kawasan Cijerah dan Babakan Sukamulya Holis, Bandung.
Tak kurang dari satu truk boneka tiap minggunya ia kirim ke pulau dewata.
Selain sebagai suvenir, H. Endang juga rajin memasarkan boneka buatan
Bandung itu di setiap pameran yang digelar di Bali.

Tentu saja, hidup di rantau orang pasti akan mengalami suka dan duka. Suka
karena ia kerap bertemu dengan tamu istimewa, mulai dari pejabat hingga
selebriti. Tak kurang Hanung Bramantyo, Bunga Zaenal, dan Rano Karno, pernah
singgah ke rumah makannya. "Kalau orang lain mengejar-ngejar artis, kalau
saya mah malah didatangin artis," kata Haji Endang bangga.

Mengenai dukanya, hidup di Pulau Bali terlalu banyak godaan, terutama tamu
yang berpakaian sambil mengumbar aurat. "Sebagai orang Islam, saya kan
dilarang memandang aurat. Tapi, bagaimana saya bisa menghindar atau mencegah
turis asing yang memperlihatkan aurat datang ke warung saya? Selain cuma
bisa istigfar, ya…saya harus sering pulang ke kampung halaman, he…he…," ujar
H. Endang yang mengaku pulang ke Tasikmalaya setiap tiga bulan sekali.
(Muhtar Ibnu Thalab/"PR") ***


-- 
Hatur Nuhun


Toha,
http://shop.salamsuper.com/

Kirim email ke