candak atuh bojona ka Bali kang Enang..pan di Bali eta saliweran baso Aurat..........
On 5/19/09, Toha <toham...@gmail.com> wrote: > > > > Baraya ieu nampi kintunan forward email ti rerencangan, geuningan urang > tasik teh seueur anu terah 'Pebisnis'. Sakapeung si kuring ge sok > ngahuleng, katurunan ti aki hampir sadayana janten padangang, kur kuring > anu jadi kuli teh. Ah ti ayeuna mah bade rada serius janten tukang dagang, > sugan we sapertos haji Endang..:-), nyanggakeun artikelna.. > Endang, Tukang Cendol Tasik, Sukses di Bali > > HAJI Endang duduk di muka rumah makannya di lingkungan Taman Budaya Garuda > Wisnu Kencana (GWK), Bali, yang dinamai Food Theatre. Rumah makan tersebut > sangat khas dan kental dengan atmosfer Sunda.* MUHTAR IBNU THALAB/"PR" > > ORANG Tasikmalaya Jawa Barat sejak lama dikenal sebagai perantau. Sifat itu > terkait dengan naluri bisnis mereka yang tergolong tinggi. Ada yang menyebut > orang Tasik sebagai "orang Padang" dari Sunda. Mereka bertebaran di berbagai > pelosok tanah air, bahkan luar negeri. Beragam profesi mereka jalani, dari > tukang kredit keliling, pedagang kerupuk, pengusaha kain, rumah makan, > hingga pengusaha transportasi. Tak heran, kisah sukses banyak bermunculan > dari kiprah mereka. Salah seorang di antaranya adalah H. Endang Saeful Ubad > (58). > > Pria asal Rajapolah Tasikmalaya ini termasuk sukses mengembangkan bisnis > kuliner di pusat industri pariwisata Indonesia, Pulau Bali. Salah satu > outlet-nya yang cukup dikenal adalah Food Theatre, rumah makan yang > mengambil lokasi di lingkungan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK). > Setiap orang yang berkunjung ke GWK, seolah "wajib" bertandang ke rumah > makan Haji Endang. "Setelah lelah, lapar, dan haus sehabis jalan-jalan di > GWK, para turis pasti mampir ke warung saya untuk makan atau minum," kata > Haji Endang membuka percakapan. > > Uniknya, Haji Endang menciptakan suasana rumah makannya sangat khas dan > kental dengan atmosfer Sunda. Menu, misalnya, semuanya serba Sunda seperti > nasi timbel komplet plus lalab, sambal, dan sayur asem, batagor dan siomay > Bandung, hingga minuman es cendol, cingcau, es Pak Oyen, hingga kelapa muda > campur gula merah. > > "Saya sengaja bawa tiga juru masak dari Tasikmalaya. Mereka saya pilih > karena sudah berpengalaman di rumah makan dan jago masak masakan Sunda. Itu > sengaja saya lakukan karena yang saya jual adalah masakan Sunda, maka juru > masaknya harus paham betul dengan menu masakan Sunda," katanya. > > Demikian pula dengan pelayan, semua berasal dari Sunda. Menurut Haji > Endang, hal itu dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Jika kebetulan > turisnya orang Sunda, akan tercipta keakraban antara karyawannya dan > konsumen lewat komunikasi menggunakan bahasa Sunda. Sementara itu, jika > turisnya bukan dari Sunda, melainkan ingin makan menu khas Sunda, akan > merasa yakin karena yang memasaknya orang Sunda. > > "Bagaimana pembeli atau konsumen mau percaya kalau kita menyajikan masakan > Sunda, sementara pelayannya saja tidak mengerti bahasa Sunda. Bukan soal > primordial, melainkan ini mah murni demi kepentingan bisnis," ujar pria yang > mengutamakan aspek kehalalan dalam setiap produk pangan yang dijualnya. "Ini > urusan dunia dan akhirat. Apalagi, saya tahu konsumen saya sebagian besar > pasti Muslim," kata pengusaha yang memulai bisnis di Bali tahun 1989 sebagai > pemasok boneka dari Cijerah dan Babakan Sukamulya, Holis, Bandung. > > Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika suasana di Food Theatre yang > letaknya persis di depan pintu masuk ke Taman Budaya GWK, layaknya rumah > makan Sunda di Tatar Priangan. Celoteh dan kalimat khas seperti "Geuning di > Cianjur," "Geuning dulur keneh," atau "Asa dahar di lembur sorangan," pun > berhamburan. Kadang-kadang keluar kata-kata takjub, "Ini di Bandung atau di > Bali? Kok ngomongnya Sunda semua." > > Ternyata, Haji Endang tak hanya mengelola rumah makan di GWK. Ia juga > membuka bisnis serupa di dua tempat strategis lainnya di Pulau Bali, yakni > di depan Joger Pantai Kuta dan food court Kuta Galeria. Sama seperti di GWK, > dua outlet itu pun menonjolkan ciri khas kesundaan. "Khusus untuk outlet di > Kuta Galeria, saya juga menjual oleh-oleh khas Bandung," kata H. Endang, > yang untuk mengelola tiga rumah makannya mempekerjakan empat belas karyawan. > > > Tukang cendol > > Kiprah bisnis H. Endang di Pulau Bali berawal tahun 1989. Saat itu, pertama > kalinya H. Endang berkunjung ke Bali. Seperti juga orang kebanyakan yang > datang ke Bali, Haji Endang pun datang ke Bali untuk pelesiran. Namun, dasar > berjiwa bisnis, dari hasil kunjungannya ke beberapa lokasi wisata di Pulau > Dewata, ia menangkap peluang membuka usaha. > > Bisnis pertamanya adalah dengan menjual boneka sebagai suvenir. Ia > mengambil boneka dari perajin di kawasan Cijerah dan Babakan Sukamulya > Holis, Bandung. Tak kurang dari satu truk boneka tiap minggunya ia kirim ke > pulau dewata. Selain sebagai suvenir, H. Endang juga rajin memasarkan boneka > buatan Bandung itu di setiap pameran yang digelar di Bali. > > Tentu saja, hidup di rantau orang pasti akan mengalami suka dan duka. Suka > karena ia kerap bertemu dengan tamu istimewa, mulai dari pejabat hingga > selebriti. Tak kurang Hanung Bramantyo, Bunga Zaenal, dan Rano Karno, pernah > singgah ke rumah makannya. "Kalau orang lain mengejar-ngejar artis, kalau > saya mah malah didatangin artis," kata Haji Endang bangga. > > Mengenai dukanya, hidup di Pulau Bali terlalu banyak godaan, terutama tamu > yang berpakaian sambil mengumbar aurat. "Sebagai orang Islam, saya kan > dilarang memandang aurat. Tapi, bagaimana saya bisa menghindar atau mencegah > turis asing yang memperlihatkan aurat datang ke warung saya? Selain cuma > bisa istigfar, ya…saya harus sering pulang ke kampung halaman, he…he…," ujar > H. Endang yang mengaku pulang ke Tasikmalaya setiap tiga bulan sekali. > (Muhtar Ibnu Thalab/"PR") *** > > > -- > Hatur Nuhun > > > Toha, > http://shop.salamsuper.com/ > > >