aya dongeng tki ti kompasiana, nu rada beda jeung nu kungsi diposting di dieu. mh ====== Cerita TKI yang Pernah Kerja di Malaysia Oleh rudiesape - 16 Juli 2009 - Dibaca 76 Kali -
Kemarin saya menulis di Kompasiana mengenai ada majikan orang Malaysia yang sangat mencintai pembantu rumahnya. Pada waktu pembantunya pulang kampung untuk menikah , majikannya tidak hanya hadir bersama kelurganya saja, pada perkawinan pembantunya Eka Agustiningsih di Medan. Datuk Abdul Rahman Ibrahim, si majikan memboyong sanak saudara dan teman temannya sebanyak 20 keluarga untuk hadir bersama pada pesta perkawinan pembantunya di Medan. Semaua tiket perjalanan ke Medan dia belikan. Menanggapi cerita majikan yang baik hati itu, masuk tanggapan dari Mas Alfray, yang menceritakan pengalamannya menjadi TKI di Malaysia, seperti ini. Mas Rudi…Tulisan anda memang menarik sekali. Bagi saya, bukan karena tidak ada sebab. Saya dulu pernah jadi TKI disana di sebuah pabrik. Pada dasarnya orang2 Malaysia sama dengan orang Indonesia. Jika ada berita penyiksaan dsb, sebenarnya itu gak sampai 1% dari jumlah keseluruhan TKI disana. Kejahatan itu kan bisa terjadi dimana-mana. Bahkan, penyiksaan2 kpd PRT sering juga dijumpai di negeri sendiri. Lihat saja diTv kita. Tiap hari kriminal berjibun. Kasus penyiksaan PRT sering juga terjadi di negeri sendiri entah di Bogor, Jakarta, Surabaya….tapi tak seheboh penyiksaan di LN. Entah, mungkin tingkat sensasinya berbeda. Kalau berita penyiksaan di negeri sendiri terhadap PRT kesannya sekilas bagai angin lalu, dan saya pernah baca koran lokal ada penyiksaan terhadap prt yang sampai disiram air panas segala di dalam negara kita, tapi tv nasional kita gak memberitakanya. Mungkin, apa karena itu terjadi di negara sendiri atau pun terlalu penuh berita kriminal hingga tak dimuat. Pesan saya hanyalah…janganlah “seperti karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Pengalaman saya bekerja di Malaysia bertahun-tahun, membuktikan betapa banyaknya orang Indonesia menikmati “kemakmuran” di negeri orang. Kalau tidak, bagaimana orang bisa kesana lagi setelah pulang ke kampung halaman. Bahkan, yang sangat memperihatinkan banyaknya TKI illegal. Sebenarnya kalau mereka tahu bahwa, illegal itu salah. Dan kalau mereka tahu di Malaysia undang2 hukum itu tegas, seperti hukum sebat bagi orang yang sengaja masuk negara tersebut secara illegal. Tapi, saya pun tak habis pikir bila bertemu orang yang illegal disana. Biarpun tahu resikonya, mereka tetap nekad. Sekedar pengetahuan saja, hukum sebat diMalaysia sebenarnya lebih lunak di bandingkan hukuman bagi orang2 illegal di Singapura. Di Singapura, tak cukup sebat. Bahkan, tubuh (tangan si illegal) ditato yang tak mungkin hilang yang menandakan orang yang masuk illegal ke Singapura tersebut, haram masuk Singapura untuk selama-lamanya. Orang kita(Indonesia) tak sedikit yang memandang negeri jiran kita tersebut(Malaysia) secara negatif karena pemberitaan2 oleh media kita. Sekali lagi, jangan “seperti karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Tentu saya tak perlu jelaskan peribahasa tersebut kan? Karena saya bertahun-tahun disana, saya cukup mengenal karakter orang Malaysia. Intinya sama lah dengan orang2 di negara kita. Yang membedakan hanyalah mereka cukup mengenal orang Indonesia, karena memang orang Indonesia jutaan di sana. Sedang, kita sedikit(malah bisa dibilang gak mengenal) mereka. Kalau ada kata “Malaysia” terucap, pasti secara bawah sadar kita mengatakan “oh itu luar negeri, negara tetangga kita, Siti Nurhaliza, penyiksaan prt, dsb….” pokoknya negara asing lah. Dan lagi, bedanya mereka tak terprovokasi oleh media mereka untuk membenci negara tertentu termasuk Indonesia karena beberapa masalah yang sebenarnya bisa di nalar. Karena media mereka memang tak memprovokasi. Kecuali, jika menyangkut Israel. Sebaliknya di media2 kita, sperti sangat antusias untuk memancing emosi pemirsa, pembaca ataupun pendengar. Jujur, mungkin saya terpancing provokasi tersebut jika saya bukan ex-TKI. Tak heran jika Ari Laso ketika diMalaysia waktu bincang2 di salah satu radio disana(EraFM) mengatakan, “saya sangat salut dengan wartawan disini. Mereka sangat santun, ini berbeda sekali dengan di negara saya Indonesia. Bisa di bilang kalo di Indonesia tuh Bad news is good News.” Lantas, sang penyiar pun bertanya “Bagaimana bisa begitu, gimana jelasnya?” Ari Laso pun menjawab,”jadi berita yang buruk itu lah berita yang cukup laku karena bumbu sensasinya tinggi, sedang berita baik malah kurang senang”. Saya justru sangat merasakan bahwa mereka sebagai orang Malaysia, mempunyai hubungan batin yang kuat dengan Indonesia. Berbagai alasan yang bisa di ambil, seperti fakto sejarah, persaudaraan satu rumpun alias mereka semua dulu2nya nenek moyang dari Indonesia. Saya dulu sering melihat serial acara tv disana seperti “Jejak Bahasa”. Acara tersebut intinya menjejaki asal usul bahasa mereka. Dan, saya cukup terkejut karena begitu banyak daerah2 yang dikunjungi adalah di Negara kita. Episode satu berbeda daerah dengan episode berikutnya. Contohnya Jejak bahasa episode Riau, Betawi, Makassar dll… Ini sebagai bukti mereka cukup tahu sejarah dan tidak lupa hingga sering saya dengar orang Malaysia berkata,”meskipun kita berbeda negara, kita adalah saudara dekat”. Dan lagi, kalau menyebut perkataan “Nusantara” orang Indonesa pasti mengatakan nusantara itu kepulauan2 di negara kita saja. Tapi sebaliknya, menurut mereka nusantara itu meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunai. Tak heran diTv mereka ada acara “Misteri Nusantara” yang episode2nya tak sedikit mengambil tempat2 di Indonesia. Herannya pula, saya tahu tempat2 negara kita yang sebelumnya saya gak tahu. Justru, saya tahu dari media mereka. O, ya jadi ingat waktu bencana tsunami Aceh maupun gempa Jogja. Waktu itu mereka membuktikan solidaritasnya cukup tinggi terhadap negara kita. Di koran2, Radio dan tv tak henti2nya memberitakan. Dan saya hitung dalam satu jam diTV, lebih dari sepuluh kali gambar2 bencana disertai ajakan menyumbang untuk kemanusiaan. Yang disertai alamat penyaluran sumbangan tersebut. Bahkan, saya sempat terharu. Ketika saya mau menyeberang jalan, tiba2 ada gambar peta Jogja cukup besar tergambar pakai air brush dibadan Bus antar kota. Dan tertulis pakai bahasa inggris, yang artinya kurang lebih ikut bersimpati terhadap Gempa Bantul Jogja. Tak terasa tulisan saya sudah terlampau banyak. Saya sudahi saja disini, pesan saya hanyalah “jangan mengklaim orang lain/negara lain hanya karena satu dua peristiwa dengan mengabaikan suatu yang lebih besar dari itu. Yang jelas, kita memang kurang/belum mengenal mereka. Jadi, yang ada hanya sak wasangka saja. Sedihnya, berita yang negatif justru lebih cepat kepada kita bagai bensin kena api”. Saya sebagai bukti, pengalaman sebagai TKI bertahun-tahun bersama teman2. Di perlakukan sangat baik, bahkan tidak dibeda-bedakan dengan penduduk asli mereka. Dan ketika saya dan teman2 pulang ke Indonesia, banyak dari mereka yang menangis karena merasa kehilangan. Ikhlas saya dengan sejujur-jujurnya…Terima Kasih Itu tanggapan dari Mas Alfray, mungkin dapat dijadikan renungan juga Salam dari Kampung Pandan Kuala Lumpur Kuala Lumpur, 15 Juli 2009 Share on Facebook Share on Twitter tanggapan untuk “Cerita TKI yang Pernah Kerja di Malaysia” 1. rahadian, — 16 Juli 2009 jam 4:29 am Pak Rudi, tulisan dari teman anda sangat bagus. Betapa kita harus banyak belajar kepada saudara kita dari Malaysia. Budayanya, sikap dan tingkah laku. Saya pernah naik kereta api di Kualalumpur, betapa mereka tidak rebutan tempat duduk. Soal perbedaan perilaku wartawan di Malaysia dengan di negara kita yang jauh berbeda. Masih ingat bgm reporter TV one mewawancarai Megawati yang sedang gundah gulana memamntau quick count? Koran di negeri kita juga sering menulis berita kriminal, terutama kejahatan seksual, secara vulgar. Malaysia maju karena masyarakatnya lebih mentaati hukum. Pendeknya, banyaklah yang harus kita contoh dari mereka. Rakyat Malaysia juga lebih mudah jika perlu ke luar negeri. Mereka kalau ke negara-negara Eropa (Schengen states) tidak perlu visa. Berbeda dengan kita yang akan sulit mendapat visa kalau pergi ke Eropa (walaupun tidak banyak rakyat kita yang mau pergi ke Eropa). Harus ada guru bangsa di negeri kita yang sangat berpengaruh yang bisa kita ikuti tauladannya agar kita bisa seperti Malaysia. ====== Cite: http://public.kompasiana.com/2009/07/16/cerita-tki-yang-pernah-kerja-di-malaysia/