ieumah analisis sakabulangbentor meureun.....


jangdede


Pada tanggal 08/10/09, Surtiwa <surt...@gmail.com> menulis:
>
>
>
> Analisa ieu teh sanes analisa ekonomi..tibalik...analisa statistik anu
> duasar ana logika rarasaan....Nganalisa elmu ekonomi mah sanes ningali tina
> denominasinominal mata uang. Aya anu hilaf..Singapur nagara maju  aya
> denominasi SGD $ 1000 sareng $ 5000. Tapi pang alitna aya oge $ SGD 1cent.
>
> Jadi kinerja jalannya ekonomi anu ngahasilkeun inflasi..simana...ngan di
> Indonesia mah rekord luhur wae..eta anu ngadikte ayana variasi denominasi
> mata uang...
>
> Hese neangan patalina pecahan Rp 5, Rp 50, Rp 500 jeung harga parkir mobil
> anu antara Rp 2,000 - nepi ka Rp 22,000 (sapoe parkir di Mall).
>
> sareng jalmianu gaduh panghsalan sapertos conto Rp 2 juta/bulan keur tetep
> hieup sapertos Juli 2009, teu kedah ujug2 nerekel jadi Rp 4 juta/ bulan,
> kecuali aya INFLASI 100 % total effect.
>
> On 10/7/09, Irpan Rispandi <mr.rispa...@gmail.com> wrote:
>>
>>
>>
>> *Punten teu disundakeun
>> *
>>
>> *Ka baraya anu ngarti ekonomi, kumaha tanggapana. bener teu analisa mang
>> sufyan al Jawi teh ?
>> *
>>
>> *
>>
>> *
>>
>> *
>> *
>>
>> *Depok, 03 Agustus 2009*
>> Apa Arti Peredaran Uang Rp 2000?
>> Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
>> Bank Indonesia meluncurkan uang baru.
>>
>>
>>
>>
>> http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Apa.Arti.Peredaran.Uang.Rp.2000?./123
>>
>> Dewasa ini, bila anda berkendaraan melalui jalan tol, anda akan jarang
>> menerima uang kembalian berupa lembaran Rp 1.000,-. Kasir pintu tol justru
>> mengembalikan sisa tol dengan koin Rp 500,- aluminium. Memang sejak Maret
>> 2007, Bank Indonesia berencana menerbitkan uang kertas (UK) baru, pecahan Rp
>> 2000,- dan Rp 20.000,- lalu menarik uang kertas Rp 1000,- bergambar
>> Pattimura untuk digantikan dengan koin baru Rp 1.000,- yang bahan metalnya
>> lebih murah dari koin Rp 1.000,- seri Kelapa Sawit (1993 - 2000). Lalu apa
>> arti perubahan ini?
>>
>> Ya, tentu saja, dengan terbitnya pecahan Rp 2000, berarti pemangkasan
>> harta atau aset kita dalam mata uang rupiah, menjadi separuh dari daya
>> belinya semula, yang disebut inflasi rupiah! Anda yang tadinya cukup nyaman
>> dengan penghasilan, katakanlah Rp 2 juta/bulan, kini dengan adanya
>> pemangkasan tadi, anda harus menambah penghasilan dua kali lipatnya! Artinya
>> selepas Idul Fitri 1430 H nanti, penghasilan anda harus naik menjadi Rp 4
>> juta atau sekurangnya Rp 3 juta / bulan bila ingin tetap nyaman seperti hari
>> ini (Juli 2009).
>>
>> Lalu bagaimana dengan rakyat kebanyakan yang penghasilannya kurang dari Rp
>> 1 juta sebulan ? Ya, semakin *blangsak*
>>
>> Berdasarkan sejarah, ketika era Soeharto dulu, uang kertas tertinggi sejak
>> tahun 1968-1991 adalah Rp 10.000,-. Lalu dengan alasan defisit APBN,
>> diedarkanlah uang lembaran Rp 20.000,- seri Cengkeh/Cenderawasih, tahun
>> 1992. Karena nominal "aneh" ini sukses beredar, maka tak lama kemudian
>> muncul nominal lebih tinggi lagi yaitu Rp 50.000,- bergambar Pak Harto
>> (1993). Dan tidaklah mustahil, bila uang kertas Rp 2.000,- baru ini sukses
>> beredar, maka Bank Indonesia akan menerbitkan uang kertas dengan nominal
>> baru lainnya, misalnya: Rp 200.000,-; Rp 500.000,-, bahkan Rp 1 juta!
>>
>> Sebab hal itu memang lazim dilakukan oleh Bank Sentral di negara
>> berkembang. Karena ciri khas mata uang negara maju, nominal angkanya hanya
>> tiga digit saja, seperti USA $100, Arab Saudi 200 riyal, Eropa 500 euro,
>> Inggris 100 poundsterling; kecuali Jepang dan Korea Selatan dengan 10.000
>> yen dan 10.000 won, sebagai sisa sebuah trauma ekonomi pasca Perang Dunia
>> II.
>>
>> Dengan ditariknya pecahan Rp 1.000,- maka otomatis uang receh terkecil
>> adalah Rp 500,-. Sedangkan koin pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- akan lenyap
>> dengan sendirinya, rusak atau dicuekin. Hal ini lazim terjadi pasca
>> terbitnya uang baru, ketika pecahan Rp 1,- dan Rp 2,- lenyap pada tahun
>> 1975, sepuluh tahun kemudian Rp 5,- dan Rp 10,- lenyap di tahun 1985, lalu
>> Rp 25,- dan Rp 50,- lenyap di tahun 1995. Kini pada 2009 ini pecahan Rp
>> 100,- dan Rp 200,- sudah kehilangan daya belinya. Rakyat dieksploitasi untuk
>> memacu kegiatan ekonominya, dan dipaksa merelakan hilangnya sebagian jerih
>> payah mereka.
>>
>> Perhatikan akibatnya. Bila tadinya sebutir telur ayam negeri seharga Rp
>> 10,-/butir di tahun 1975, lalu naik menjadi Rp 100,-/butir di tahun 1985,
>> maka pemegang uang rupiah telah kehilangan asetnya 1 digit dari Rp 10,- ke
>> Rp 100,-. Artinya si pemegang uang kertas harus mencari sepuluh kali lipat
>> lebih banyak lagi lembaran rupiah agar bisa membeli telur yang sama. Bisa
>> jadi suatu hari nanti harga sebutir telur ayam negeri harus dibayar dengan
>> lembaran Rp 10.000,-/butir, tinggal menunggu waktu saja.
>>
>> Untuk mengakali inflasi ini, Bank Indonesia cukup menambah angka nol pada
>> uang kertas baru. Inilah riba* Zero Sum Game!* Sampai kapan permainan
>> riba ini akan berakhir? Rakyat yang kalah gesit dalam mengimbangi permainan
>> ini pasti semakin terpuruk kondisinya.>
>>
>>
>  
>

Reply via email to