Kisah "Laskar Pelangi" dari Garut Selatan

KONDISI salah satu ruang belajar SMPN 1 Kertasari di Kecamatan
Kertasari, Kab. Bandung, Selasa (13/10). Dari 24 kelas di sekolah
tersebut hanya sembilan ruang belajar yang masih bisa digunakan,
lainnya rusak akibat gempa bumi pada 2 September lalu.* ENDI
SUNGKONO/"PR"

LINTANG, salah seorang tokoh Laskar Pelangi, novel karya Andrea
Hirata. Anak kecil dari Tanjung Kelompang itu, untuk memenuhi hasrat
dahaga ilmu pengetahuan, harus menempuh perjalanan sejauh 80 km dengan
menumpang sepeda yang dikayuh ayahnya ke SD Muhamadyah Belitong.
Pasti, betapa lelahnya Lintang setiba di sekolah atau di rumah.

Toh, di era reformasi yang katanya sudah "merdeka" ini, kisah seperti
Lintang juga masih terjadi. Ade Nurjamil dan Nur Mulyawati beserta
sepuluh temannya dari Desa Garamukti, Kec. Pamulihan, Kab. Garut,
harus berjuang keras meski sekolahnya tak jauh dari ibu kota Jawa
Barat . Mereka harus menempuh perjalanan 20 km dengan naik truk pucuk
teh. "Pulang dari dan pergi ke sekolah naik truk," kata Nur.

Mendengar cerita kedua anak tersebut terasa satu ironi. Manakala mesin
pembangunan menggelinding cepat dan jargon Wajib Belajar Sembilan
Tahun dikumandangkan, di daerah Garut Selatan jumlah sekolah setingkat
lanjutan pertama sangat terbatas. Untuk memenuhi hasrat belajar serta
"atas nama" memenuhi program pemerintah, sebagian anak-anak dari Garut
Selatan (Garsel) terpaksa harus bersekolah ke Kec. Kertasari atau
tepatnya SMPN 1 Kertasari, Kab. Bandung.

Bersekolah melintas batas kota/kabupaten sebenarnya sesuatu yang
biasa, baik karena alasan sekolah favorit atau kedekatan. Tidak
demikian bagi dua belas anak Garsel, mereka benar-benar tidak ada
pilihan. "Kami setiap pagi harus berjalan kaki sejauh 5 km, setelah
itu baru naik truk," kata Ade. Perjalanan serupa dilakukan ketika
pulang.

Menurut Wakil Kepala SMPN 1 Kertasari, Drs. Karna Saputra, lokasi
sekolahnya berada di tengah perkebunan Malabar dan sekitar tujuh puluh
persen siswanya berasal dari daerah jauh. Mereka mengandalkan truk teh
yang disediakan pihak perkebunan.

Niat baik sekolah tidak selalu berdampak positif. Sejumlah orang tua
yang tempat tinggalnya jauh dan anak-anaknya mengandalkan sarana
transportasi dari truk perkebunan protes keras. "Setelah pukul 14.00
WIB sudah jarang truk lewat, sehingga kerap mereka pulang dengan jalan
kaki," ucap Karna.

Sebagai solusi, setiap jam pelajaran dipadatkan, dari 45 menit menjadi
25 menit. Solusi tersebut belum menyelesaikan masalah. Truk teh sudah
jarang lewat, sehingga mereka mengandalkan kebaikan sopir bak terbuka
yang mengangkut sayuran jika pulang. Kalau tidak ada, terpaksa harus
jalan kaki. "Sangat melelahkan, sehingga tak sempat mengerjakan
pekerjaan rumah (PR)," kata Panji Lesmana yang dibenarkan Agus S.
Muhidin, Jumara, Dasep, Panji, Sumarni, Ani, Ita Rosana, dan Nurjanah,
siswa asal Desa Garamukti, Kab. Garut.

Penambahan PR untuk para siswa dibenarkan Karna. Kebijakan tersebut
untuk menutup kekurangan KBM bersifat tatap muka selama 15 menit
setiap mata pelajaran. Sayangnya, kebijakan tersebut hasilnya tidak
optimal, karena para siswa sudah lelah setiba di rumah. (Endi
Sungkono/"PR")***

cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=105073

Reply via email to