Lukman, Hutan dan Penjaga Kehidupan
Kompas/A Handoko
Rabu, 21 Oktober 2009 | 02:40 WIB

Oleh: Anton Wisnu Nugroho dan Agustinus Handoko

“Sekali hutan boleh dibeli, semua hutan akan dibeli. Uang membuat
orang tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah dibeli dan
dimilikinya.”

Kesadaran itu yang membuat Lukman Hakim dan warga Kampung Dukuh, Desa
Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat,
mempertahankan kelestarian dan penguasaan atas hutan. Upaya itu
dinyatakan dalam penamaan atas hutan itu sebagai hutan larangan dengan
sisa luas sekitar 10 hektar.

Hutan menjadi jantung kehidupan warga. Berawal dari hutan yang utuh,
air keluar dari tanah menjadi sumber kehidupan masyarakat. ”Siapa yang
tak butuh air untuk hidup?” tanyanya.

Ia mendapati kesadaran itu bukan dari bangku sekolah. Lukman tak tamat
SD. Kesadaran yang menuntun pada sikap hidup itu didapat dari
interaksinya dengan hutan yang menghidupi warga Kampung Dukuh sejak
lama.

Dia menjadi pengawal kelestarian hutan larangan di Kampung Dukuh.
Hutan itu membuat warga tetap dengan mudah mendapatkan air di beberapa
mata air yang terjaga karena hutan yang lestari.

”Tinggal 10 hektar areal hutan yang bisa kami pertahankan, karena
memang milik kampung adat. Ratusan hektar tanah di sekitar kampung ini
sudah menjadi lahan pertanian atau perkebunan sejak penjajahan sampai
sekarang,” tutur Lukman yang sejak 10 tahun terakhir menjadi Kepala
Adat Kampung Dukuh.

Jabatan itu juga membuat dia menjadi kuncen (juru kunci) ke-14 Kampung
Dukuh. Pria yang selalu memakai ikat kepala dengan ”antena” itu
menjadi kuncen menggantikan ayahnya, Mamak Bani, tahun 1997. Terpilih
sebagai kuncen dia hayati sebagai ”kecelakaan” karena dia tak ingin
mengisi posisi itu.

Pencarian Lukman sebagai Kuncen Kampung Dukuh diawali saat ibunya
meninggal tahun 1987. Ayahnya, Mamak Bani, lebih dulu meninggal.
Lukman sebelumnya telah keluar kampung. Posisi kuncen selama tiga
tahun dipegang kakaknya, tetapi karena sang kakak sakit stroke, Lukman
dicari-cari untuk menggantikan.

”Saya sebetulnya tak sanggup. Kuncen itu juga harus menjadi pemimpin
agama. Menjadi kuncen juga memegang masjid. Saya sudah mempersilakan
siapa yang mau dan mampu untuk itu,” ujarnya.

Lukman yang sudah tinggal di luar Kampung Dukuh dan telah tersentuh
modernitas tetap dicari dan diminta menjadi kuncen. Apalagi selama
kepemimpinan kakaknya, banyak perselisihan dan keributan antarwarga.
Untuk mencari penyebab, warga Kampung Dukuh bertanya kepada para tetua
kampung yang menyarankan agar mencari kuncen baru.

Setelah satu bulan pencarian, Lukman ditemukan. Ia dibujuk menjadi
kuncen. Tak lama setelah itu, Kampung Dukuh tenang. Lukman yang biasa
berkebun dan memburu babi hutan pemakan hasil kebun tak paham mengapa.
Namun, semua warga Kampung Dukuh yang tua ataupun muda mematuhinya.

Kenapa dijual?

Menjadi kuncen membuatnya lebih menaruh perhatian pada kehidupan semua
warga Kampung Dukuh. Sejumlah ritual keagamaan yang diturunkan sejak
nenek moyang dipimpinnya. Di antara ritual itu adalah ziarah makam
leluhur di hutan larangan, dan ritual ”menanam” air di sumber air yang
ditemukan sambil menanam pohon.

Lukman juga harus mampu menjabarkan sejarah berdirinya Kampung Dukuh
untuk generasi penerus dan para tamu. Maka, buku pegangan
turun-temurun dengan aksara Arab dan berbahasa Jawa dia pelajari. Buku
itu juga yang akan diwariskan kepada kuncen berikutnya.

Dari buku itu, dia tahu bahwa hak ulayat masyarakat adat ketika
komunitas itu terbentuk tahun 1689 mencapai 600 hektar lebih.
Perlahan-lahan hutan adat itu beralih dan dikuasai perkebunan milik
pemerintah kolonial, dilanjutkan pemerintah, dan perusahaan swasta.

”Dari cerita turun-temurun, saat Indonesia menyatakan kemerdekaan,
hutan adat masih utuh. Setelah itu, perlahan-lahan hutan rusak
bersamaan dengan peralihan kepemilikan,” tuturnya.

Ia mendapati kawasan hutan yang kemudian dimiliki pemerintah dan
perusahaan swasta itu rusak. Di sini ia mempertanyakan niat pemerintah
untuk melestarikan hutan.

”Apa betul pemerintah ingin melestarikan hutan? Kalau hendak
melestarikan, kenapa dijual? Sekali dijual, semua akan terbeli,”
ujarnya.

Maka, setiap mendengar ada rencana penjualan lahan ke perkebunan,
Lukman menentangnya. Jika pemerintah betul-betul ingin melestarikan,
hutan tak seharusnya dijual. Lahan yang gundul dan tandus sebaiknya
dihijaukan kembali.

”Tak semua tanaman cocok di sini, apalagi kalau hanya mengejar tanaman
produksi. Untuk menghijaukan kembali, tanaman lokal harus diutamakan,
bukan tanaman dari luar,” ujarnya.

Untuk rencana penghijauan itu, Lukman punya konsep. Kelestarian hutan
larangan yang menjadi semacam oase di tengah kegersangan perbukitan di
Garut adalah buktinya. Dari hutan larangan itu, Lukman dan beberapa
warga Kampung Dukuh mengambil biji-bijian tanaman hutan untuk
disemaikan.

Di sisi timur Kampung Dukuh, ada lahan persemaian bibit tanaman hutan.
Zainuddin (52) sejak dua tahun ini khusus mengelolanya secara
tradisional, dan berkembang dengan baik. Tanaman lokal yang berkembang
di Garut adalah paria, kiara, gadog, bonteng, pete, jengkol, dan jati
alam.

”Mari hijaukan lahan, tetapi kami jangan diabaikan. Bibit tanaman
hutan yang dibawa dari luar itu tidak tahan. Kami punya bibit yang
lebih tahan,” katanya.

Kelestarian hutan larangan secara fisik dijaga dengan pagar bilah
bambu. Tak seorang pun boleh masuk hutan larangan tanpa izinnya. Jika
larangan dilanggar, orang itu akan mendapat masalah. ”Kami tak tahu
kenapa itu terjadi, dan hanya kuncen yang bisa menyembuhkannya,” ujar
Zainuddin.

Warga Kampung Dukuh memenuhi kebutuhan hidup dengan berladang. Mereka
menanam padi setahun sekali, dan hasilnya mencukupi kebutuhan makan
sehari-hari. Gabah hasil pertanian tak dijual, hanya dikonsumsi warga
dan para tamu yang kerap datang dan bermalam untuk berziarah.

Dari ladang mereka pula, warga mengambil kayu sebagai bahan bangunan
utama rumah. Mereka tak mengambil kayu untuk bangunan rumah dari hutan
larangan. Warga adat Kampung Dukuh hanya diperbolehkan tinggal di
rumah panggung berdinding anyaman bambu, beratap anyaman ilalang,
tanpa hiasan.

Lukman tetap berusaha memperjuangkan hak ulayat adat di sekitar hutan.
”Ini sangat sulit, padahal kami tak bermaksud menguasai tanah itu.
Kami hanya ingin menjadikan lahan sekitar hutan larangan juga terjaga
kelestariannya.”

Ia prihatin, makin banyak warga di luar Kampung Dukuh kesulitan
mendapatkan air bersih, terutama pada musim kemarau. Semua tahu,
jawabannya adalah menjaga kelestarian hutan. Tetapi ini pun tak
dilakukan. Hutan makin hilang lantaran terus ditebang karena
keserakahan.

LUKMAN HAKIM

• Lahir: Kampung Dukuh, Mei 1958

• Pekerjaan: Kepala Adat dan Kuncen Kampung Dukuh

• Istri: Rohyati (47)

• Anak:
1. Dewi
2. Zam Zam
3. Komar
4. Han Han
5. Her Her
6. Maziah
7. Ifan
8. Ipin
9. Neneng
10. Muti
11. Baban
12. Ihda

• Cucu: 7 orang

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/10/21/02405841/Lukman..Hutan.dan.Penjaga.Kehidupan

Kirim email ke