Nyaris Terlupakan 

Kekaguman yang besar pada sosok sederhana ini mendorong saya pergi ke 
kediamannya, beberapa pekan lalu. Kediaman perempuan yang membentuk Soekarno 
dari seorang mahasiswa yang meledak-ledak hingga jadi tokoh pembimbing rakyat 
Indonesia ke alam merdeka. 





Jika mencari sambil lalu, bisa jadi kita tidak menemukan rumah di Jalan Inggit 
Garnasih 8 (dulu Jalan Ciateul 8) Bandung. Sama sekali tidak ada penanda bahwa 
ini rumah bersejarah. Tidak ada, misalnya, papan bertuliskan “Rumah Inggit 
Garnasih” di halaman depannya, padahal nama jalan diambil dari nama tokoh ini. 

Belum lagi, di sepanjang trotarnya berjajar pedagang barang loak. Praktis, 
rumah itu tak nampak dari jalan karena tertutup lapak-lapak pedagang.

Setelah bertanya pada salah seorang pedagang untuk memastikan, saya melangkah 
masuk rumah dengan harapan besar menemukan banyak informasi tentang Ibu Inggit.

Sempat terbersit kelegaan karena dari luar, bangunannya nampak sangat terawat, 
bersih, dan rumput di halaman terpotong rapi. Sementara banyak bangunan 
bersejarah di negeri ini dibiarkan rusak, kusen dimakan rayap, dan temboknya 
perlahan runtuh didera hujan dan panas. 

Namun kelegaan tak lama dirasakan karena ternyata rumah itu sama sekali tidak 
menyisakan jejak Ibu Inggit. Yang saya dapati hanyalah rumah kosong, tanpa satu 
pun perabot peninggalannya.

Penjaga rumah tidak bisa memberi keterangan apa pun, karena Pemda setempat 
hanya menugaskan untuk menjaga rumah, bukan sebagai pemandu. Ia menyarankan 
saya untuk menemui Kemal Asmara Hadi, cucu Ibu Inggit dari anak angkatnya, 
Ratna Djuami, yang mukim di kawasan Kopo, Bandung.

Dari Kemal dapat diketahui bahwa rumah di Ciateul itu dibangun tahun 1920-an, 
berbentuk rumah panggung. Di zaman pergerakan, rumah ini sering digunakan Bung 
Karno dan kawan-kawan untuk berdiskusi. Dari diskusi-diskusi inilah lahir PNI 
(Partai Nasional Indonesia).

“Jadi, jauh sebelumnya, Bung Karno sudah sangat mengenal rumah ini. Setelah 
bercerai, Bung Karno meminta Menteri Sosial untuk menyediakan rumah bagi Ibu 
Inggit. Wedana yang kala itu menjabat memberikan rumah di Ciateul untuk Ibu 
Inggit,” urai Kemal. 

Di tahun 1946 rumah ini pernah rata dengan tanah dalam peristiwa Bandung Lautan 
Api yang membumihanguskan Bandung Selatan. Setelah Ibu Inggit meninggal, tahun 
1984, anak-anaknya memutuskan untuk menjual rumah karena kesulitan ekonomi.

Ratna Djuami adalah janda tanpa uang pensiun, karena suaminya, Asmara Hadi 
(meninggal tahun 1976) yang sebelumnya Menteri DPRGR di era Soekarno itu 
dipecat tahun 1966 tanpa pesangon maupun uang pensiun. 

“Anak-anak Ibu Omi ada enam. Ibu mendapatkan uang dengan cara membuat bala-bala 
dan kue-kue lain. Memang keputusan yang berat untuk menjual rumah, tapi mau 
bagaimana lagi?” terangnya. 

Rumah itu sempat ditawar toko tas Elizabeth, namun akhirnya dilepas ke Pemprov 
Jawa Barat tahun 1989 yang bersedia membeli seharga Rp300 juta. Jauh di atas 
harga pasaran kala itu. Setelah di tangan Pemprov Jabar, rumah ini mengalami 
tiga kali renovasi, di antaranya tahun 1991 dan 2001.

Sudah lama Pemprov Jabar berjanji menjadikan rumah tersebut sebagai museum 
sebagaimana keinginan anak-anak dan cucu-cucu Ibu Inggit, namun sampai sekarang 
janji tersebut masih berupa angin surga. Belum ada realisasinya. Padahal 
keluarga Ibu Inggit masih menyimpan barang-barang bersejarah yang akan 
diberikan ke museum jika museum jadi berdiri, antara lain foto-foto semasa 
masih di Bandung, foto-foto saat di Ende dan Bengkulu, buku-buku Bung Karno, 
akta nikah dan cerai, mesin tik Bung Karno, juga surat-surat cinta.

“Apalagi, Ibu Omi dan Ibu Kartika (dua anak angkat Soekarno – Inggit—red.) 
masih hidup. Masih bisa menjelaskan bagaimana perjuangan Bung Karno dulu 
sebelum menjadi presiden. Jangan sampai kita menyesal nantinya.”

Hingga gerbang
Sejauh ini, minim sekali informasi tertulis tentang Inggit Garnasih, perempuan 
kedua yang dinikahi Soekarno (tahun 1923), setelah Oetari putri HOS 
Tjokroaminoto. Jika dibandingkan dengan istri Soekarno yang lain, jasa-jasa 
Inggit sepertinya tertutupi kerja keras Fatmawati menjahit Sang Saka Merah 
Putih di Agustus 1945.

Satu-satunya informasi yang lumayan lengkap adalah “Kuantar ke Gerbang. Kisah 
Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno”, biografi terbitan tahun 1981 yang ditulis 
Ramadhan KH.

Di situ diceritakan, kelembutan Inggit yang menjadikannya oase bagi Soekarno 
muda di tengah derap perjuangan memerdekakan negeri. Setelah diskusi-diskusi 
marathon bersama rekan-rekannya seusai kuliah di Technische Hogelschool 
(sekarang ITB), pada Inggit lah Soekarno pulang.

Tak ingin menambah repot suaminya, perempuan yang 12 tahun lebih tua dari 
Soekarno itu memenuhi kebutuhan rumahtangga dengan cara meramu jamu, membuat 
bedak dan parem, serta menjahit kutang untuk kemudian dititipkan di Toko Delima.

Walaupun setiap bulan Soekarno mendapat kiriman uang dari orangtuanya namun itu 
semata untuk biaya kuliah. Bahkan, untuk uang saku menghadiri rapat demi rapat 
pergerakan, Inggit selalu menyelipkan uang setali ke dalam saku Soekarno.

Saat rumah mereka di Jalan Jaksa Bandung semakin sering dijadikan tempat rapat 
partai sampai dini hari, Inggit tetap menjadi tuan rumah yang baik. Bila 
diskusi memanas, Inggit bergerak, berdiri, dan mendehem, menawarkan teh atau 
kopi, sekadar meredakan suasana.

Inggit pun sangat mengerti ketika Soekarno yang baru lulus kuliah dan belum 
berpenghasilan itu menolak tawaran menjadi dosen di almamaternya. Soekarno 
menganggap bekerja sebagai pegawai negeri adalah sama juga dengan bekerjasama 
dengan Hindia Belanda. 

Inggit menemani Soekarno berpidato ke pelosok-pelosok Bandung, menggembleng 
kader-kader politik. Ia bahkan kerap berfungsi sebagai penerjemah jika 
masyarakat setempat hanya mengerti bahasa Sunda. 

Selama delapan bulan Soekarno ditahan di Penjara Banceuy dan kemudian menjalani 
masa hukuman di Penjara Sukamiskin, setiap pagi Inggit dan Ratna Djuami yang 
masih balita mengantar makanan untuk Soekarno. Empat susun rantang berisi nasi, 
lauk pauk, lodeh, dan sambal. Juga koran AID De Preangerbode, Sipatahoenan, dan 
Sin Po. Di balik daun pisang pembungkus kue- kue nagasari yang dibawanya selalu 
terselip uang logam untuk keperluan sehari-hari Soekarno di penjara dan untuk 
dibagi-bagikan ke sipir penjaga. 

Mengaji dan sembahyang tak henti bergantian dilakukan selain terus bekerja. 
Kebutuhan yang semakin meningkat mendorong Inggit untuk putar otak. Maka 
kemudian ia juga menjadi agen sabun cuci, membuat rokok dan menjualnya sendiri 
dengan mereka Ratna Djuami, serta menjadi agen cangkul dan parang.

Inggit menjadi perantara Mr Sartono untuk menyampaikan naskah dan bahan-bahan 
pembelaan Soekarno di Landraad Bandung, pada Desember 1930. Agar dapat lolos 
dari pemeriksaan penjaga, naskah itu ditempelkannya di perut, kemudian diikat 
dengan pending. 

Diceritakan pula betapa Inggit terus menerus memompa semangat Soekarno saat di 
Penjara Sukamiskin beredar kabar Soekarno keluar dari Partindo. Juga ketika ada 
desas desus singa podium itu berbalik arah, meminta ampunan pada pemerintah 
Hindia Belanda.

Perempuan sederhana lulusan madrasah yang tidak dapat menulis tulisan 
Latin—hanya dapat membaca—itu setia mendampingi ketika suaminya dibuang selama 
empat tahun di Ende, Flores, tahun 1934. Pun ketika diasingkan ke Bengkulu 
tahun 1938. 

Ketika Jepang masuk, keluarga ini diungsikan Belanda menempuh jalan darat ke 
Padang, terus ke Bukittinggi. Kemudian berbalik lagi ke selatan, ke Palembang, 
dan akhirnya ke Jakarta, menempati rumah Jalan Pegangsaan Timur 56. Inggit 
terus di sisi Soekarno. 

Saat masih di Bengkulu, Inggit mengabulkan keinginan Ketua Muhammadiyah 
setempat, Hassan Din yang mukim di Curup, menitipkan anak tunggalnya, Fatmah 
untuk tinggal di rumah mereka di Anggut Atas, Bengkulu. Fatmah yang kemudian 
dihadiahi nama baru oleh Bung Karno, Fatmawati.

Maka, Ramadhan KH menuliskan potongan dialog yang menjadi awal bencana 
rumahtangga Soekarno – Inggit. “Tidak mungkin Kus menceraikan kamu, Enggit. 
Tidak mungkin. Bukankah bisa aku mengawininya sementara kita tidak bercerai?”

“Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu! (Oh, dimadu? Kalau mesti dimadu, 
pantang!)” 

Setelah perjalanan panjangnya mengantar Kusno-nya mendapatkan cita-cita 
membebaskan negeri dari penjajahan, Inggit melepas Soekarno di gerbang 
kemerdekaan, tahun 1942. 

Rumah di Jalan Ciateul 8 Bandung ini diberikan Soekarno kepada Inggit selepas 
mereka bercerai. Rumah bersahaja dengan satu ruang tamu, satu ruang makan, dan 
tiga kamar tidur. Di bagian belakang ada kamar mandi dan dapur.

Di rumah ini Inggit menghabiskan sisa hidupnya bersama anak-anak dan cucu-cucu. 
Tetap dengan kegiatan meramu jamu dan membuat bedak serta parem. Beberapa kali 
Bung Karno datang berkunjung yang membuat Ciateul disesaki penduduk yang ingin 
melihat presidennya dari dekat. Inggit meninggal tahun 1984, beberapa tahun 
setelah meninggalnya Bung Karno (1970) dan Fatmawati (1980). 

Dalam perjalanan pulang, saya ingat kalimat pertama yang ditulis S.I. 
Poeradisastra di bagian Sekapur Sirih buku Kuantar ke Gerbang.  “Separuh dari 
semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di 
dalam Bank Jasa Nasional Indonesia". Silvia Gali



      

Kirim email ke