Berdasarkan kepada penyajiannya, sekar dapat dibagi menjadi: Anggana
Sekar, Rampak Sekar, Layeutan Suara, Sekar Catur, Drama Suara.

Anggana Sekar
Sekar yang dibawakan oleh satu orang. Penyanyi sekar secara mandiri ini
bermacam-macam namanya; dalam Tembang disebut Juru Mamaos atau
Penembang, dalam kawih biasa disebut juga Juru Sekar/Juru Kawih, dalam
kiliningan biasa disebut Sinden, dan pada Ketuk Tilu Buhun disebut
Ronggeng. Nama-nama itu adalah nama-nama yang mandiri dan biasanya
ditujukan kepada penyanyi wanita. Penyanyi pria lebih dikenal dengan
sebutan Wira Swara.

Lagu-lagu klasik kebanyakan bersifat anggana, jarang sekali dibawakan
secara bersama, kecuali telah mendapat sentuhan kreatifitas untuk
disajikan menjadi bentuk lain. Keistimewaan lagu-lagu anggana adalah
kebebasan dalam berimprovisasi, terutama dalam pengisian
mamanis/ornament/dongkari. Makin tinggi teknik-teknik dalam pengolahan
sekar, maka makin semaraklah lagu itu. Tentu saja dalam beberapa hal
harus diperhatikan adu manisnya agar dalam mengolah lagu itu tidak
menjadi berlebihan.

Rampak Sekar
Nyanyian yang sama dalam satu tahap suara dibawakan bersama-sama.
Rampak Sekar sangat populer pada lagu-lagu Kawih. Lingkungan yang
banyak mengetengahkan lagu-lagu rampak sekar adalah para pelajar. Hal
ini sebenarnya berlanjut dari system klasikal dalam pelajaran bernyanyi
di kelas. Sebelum mengenal istilah rampak sekar (Rampak=Bersama,
Sekar=Nyanyian) terlebih dahulu dikenal istilah Panembrama. Pada
dasarnya rampak sekar maupun panembrama sama saja. Lagu yang dibawakan
satu tahap suara. Perbedaan hanya terletak pada pemilihan lagu-lagunya.
Dalam Panembrama jiwa lagunya kebanyakan mengambil lagu-lagu yang
mempunyai gerakan anca, isi rumpakanya menggambarkan kegembiraan,
ucapan selamat kepada para tamu dan maksud dari diselenggarakan
pergelaran. Lagunya antara lain Kadewan.

Dalam rampak sekar tema lagu dan sanggiannya lebih berpariasi, bisa
bernafaskan kepahlawanan, cinta tanah air, keindahan alam dan lain
sebagainya. Istilah Karatagan (Mars) sering digunakan mengawali judul
lagu untuk menggambarkan tema kepahlawanan.
Rampak Sekar kebanyakan diiringi dengan waditra Kacapi, apabila
menggunakan iringan gamelan maka biasa disebut Gerongan.

Layeutan Swara
Karena pada mulanya rampak sekar itu merupakan lagu yang dibawakan
dalam satu tahap suara saja, maka perkembangan kreasi baru terasa
menuntut lain tentang pengertian ini. Apa yang dikatakan rampak sekar
sekarang sudah tidak lagi mengetengahkan satu tahap suara saja, tetapi
sudah berkembang menjadi dua tahap, tiga tahap bahkan empat tahap
suara. Untuk bentuk penyajian lagu yang demikian maka lahirlah istilah
Layeutan Suara. Istilah ini banyak dipopulerkan oleh kreasi-kreasi Mang
Koko. Layeutan Suara identik dengan istilah Paduan Suara dalam musik.

Jumlah peserta layeutan suara dapat berjumlah dari 10 orang sampai 30
orang. Jumlah itu tidak tetap, bisa dikembangkan menurut kebutuhannya.
Pada perkembangan sekarang, lagu-lagu Sunda sudah bisa diketengahkan
dalam suatu aubade, dimana jumlah penyanyinya bisa mencapai ratusan
bahkan ribuan. Untuk istilah layeutan suara, Pak Machyar
Anggakusumadinata menyebutnya dengan istilah Pra Lagam (banyak
lagamnya). Contoh:

Sekar Catur
Lagu yang dibawakan secara berdialog disebut Sekar Catur
(Sekar=nyanyian, Catur=ceritera, obrolan). Bentuk seperti ini sangat
banyak sekali. Pada lagam sindenan, lagam kawih, lagu sekar catur ini
sangat dikenal sekali. Begitu pula pada bentuk jenaka Sunda. Para kanca
Indihiang pimpinan Mang Koko pada tahun empat puluhan menjadi pelopor
dalam pengembangan bentuk lagu-lagu sekar catur.

Bentuk lagu Sekar Catur ini biasanya mempunyai tema masalah. Masalahnya
dapat diambil dari kehidupan sehari-hari, problem suami istri,
percintaan atau kritikan-kritikan terhadap kepincangan yang ada di
masyarakat. Ungkapan lagu yang dinyanyikan dalam tekniknya
mempergunakan jalur Sekar Biantara, artinya nyanyian yang dinyanyikan
dalam lagam bicara, jadi fungsi pemanis-pemanis lagu tidak terlalu
menonjol karena beberapa hal kejelasan kata-kata dalam lagu sangat
penting sekali.

Drama Suara
Ceritera yang dibawakan dengan media suara sebagai penghantarnya. Drama
Suara ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gending
Karesmen. Berbeda dengan bentuk lagu sekar catur, maka dalam bentuk
drama swara sekar atau vocal secara langsung mendominasi ungkapan yang
akan diketengahkan kepada penontonnya.

Dalam drama suara, sekar mempergunakan berbagai laras. Transposisi dan
modulasi sangat kaya sekali dalam bentuk ini. Juru Sekar dituntut
kemampuan yang lebih sebagai pemain drama suara. Selain mempunyai suara
yang baik, dituntut pula kemampuan “pemeranan” (gerak, acting, menari,
menghapal naskah, dan sebagainya).

Semua bentuk sekar dapat diketengahkan dalam bentuk drama suara, baik
tembang, kawih, ketuk tilu maupun sindenan. Tetapi ada pula drama suara
yang hanya mengetengahkan salah satu bentuk sekaran saja, misalnya
drama suara dalam media tembang. Namun ada beberapa kekurangan yang
harus diperhatikan apabila drama suara hanya mengambil bentuk tembang
saja yaitu:
(1) Lagam dialog yang terlalu mementingkan mamanis, sehingga berakibat
kurang terarah pada tema ceritra atau ungkapan dialog itu sendiri untuk
diketahui maksudnya.
(2) Takaran jiwa tembang yang telah mengendap secara khusus. Dalam hal
ini sering terjadi pemerkosaan terhadap jiwa lagu dari tembang itu
sendiri karena kebutuhan dialog yang diungkapkan.
(3) Surupan yang terlalu rendah dan motif lagu yang monoton kurang
memberi suasana terhadap jalur ceritera yang diketengahkan. Hal ini
akan terasa pada nafas-nafas kemarahan yang terkadang kurang terjangkau
oleh tembang.

Drama suara yang baik sebenarnya cenderung untuk disanggi secara
khusus. Apabila akan menambahkan beberapa lagu tradisi atau bentuk
sekar lainnya, alangkah baiknya apabila jiwa lagu itu disesuaikan
dengan kata-katanya. Drama suara merupakan cirri khas dari karawitan
daerah Sunda (Jawa Barat)

--
Posted By KOS WR to PANGAUBAN SEKAR at 5/23/2010 05:01:00 PM

Reply via email to