Pak Ayeye jelas memahami keakar-akarnya gimana peta korupsi di Indonesia itu. Sifat korup itu keliatan seperti bagian dari kebudayaan yang nggak terpisahkan. Inilah yang Pak Oman dan saya diskusikan sebelumnya, ada gap lebaaar antara persepsi kebudayaan (komunal) dengan kehidupan modern kita ini. Pak Ayeye saja, yang bukan orang Indonesia (tapi kawin dengan orang Indonesia) prihatin dengan ini, selayaknya apalagi kita.
Singkatnya, kita ini berprilaku seperti kelompok jahil di masa jahiliyyah. Distribusi harta masih berlaku di masa jahiliyyah loh, yaitu yang seperti Pak Ayeye jabarkan, gantian korupsi (berjamaah). Di jaman gurun pasir waktu Islam lahir dulu, gantian ghazu (malak kabilah lewat). Dengan desentralisasi, KKN pindah dari perkotaan ke daerah. Dan emangnya KPU itu contoh apa, Pak Ayeye? Bukannya Robin Hood? Sejujurnya, saya menangis denger kasus KPU ini, karena hikss...ada kenalan disitu yang terlibat. Padahal beberapa tahun sebelumnya kita bersumpah Palapa di suatu pertemuan, bahwa kalau di antara kita menjadi eksekutif/legislatif - lalu kita menjadi kaya (baca: memperkaya diri) karena jabatan itu, maka kita nggak akan mau saling kenal (maksudnya kehilangan temen). It turns out, bahwa kelompok korupsi dan anti korupsi sama-sama menjadi orang-orang yang paling kesepian di dunia ini...:-( - dalam arti yang berbeda...:-) Kalau dikatakan bahwa rakyat sudah muak dengan KKN, lha iya. Termasuk yang rajin korupsi. Kita yang korup juga muak dengan cara hidup kayak gitu. Barangkali, korupsi sebagai salah satu penyakit sosial di negara kita ini, bisa di atasi dengan berangkat dari dua konsep bernegara-bangsa: - masyarakat madani (civil society) - masyarakat berpolitik dan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol) Keep in mind, bahwa kita semua emang terlibat dalam KKN, kita yang emang rajin korupsi maupun yang nggak pernah korupsi. Lha, penyakit sosial adalah urusan kita semua. Keep in mind, bahwa pemahaman agama kita, baik agama tradisional maupun 'agama' sekular - adalah nggak lepas dari kita sendiri sebagai agen perubahan. Maksudnya, kita semua sama-sama berpotensi menjadi baik atau buruk, korup atau nggak. Nggak boleh ada parpol yang diidentikkan dengan bersih korupsi. Seperti anggota PKS yang lugu, yang berasa partainya bebas KKN. Konsep masyarakat berpolitik melibatkan partai politik dan struktur pemerintahan. Saya nggak bisa berpanjang-panjang di sini, tapi masyarakat berpolitik dalam perannya sebagai pilar demokrasi, saya bilang sih relatif lebih jalan (maksudnya ke arah yang benar, the right direction) di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina dan Malaysia. KKN di Filipina itu dududududu...Apalagi kalau dibandingkan betapa kompleksnya persoalan dan wilayah negara kita ini. Singkatnya, kalo soal demokrasi Indonesia lebih mendingan, gitu. Konsep masyarakat madani melibatkan ormas, NGO, dan partisipasi masyarakat luas. Saya pikir pemberdayaan agama termasuk di sini. Dan juga 'revitalisasi budaya' seperti yang akan dijabarkan Pak Oman lebih panjang lagi, barangkali. Yah, kita sebut saja pemberdayaan agama dan pemberdayaan para ustaz/ustazah. Habis gimana dong, orang Indonesia tuh kental dengan simbol-simbol termasuk simbol agama, dan juga patriarkis. Para ustaz/ustazah di sini mestinya menterjemahkan simbol-simbol tersebut dengan rasional. Maksudnya gini, yang udah rasional empiris itu nggak usah deh disimbol-simbolin lagi. Sedangkan yang sakral itu mestinya 'memimpin' intuisi moral kita, bukannya jadi pedoman juklak! Mestinya masyarakat berpolitik merupakan jangkauan langsung dalam pilar demokrasi dan hidup bernegara. Kan aktualisasinya memang terletak pada masyarakat berpolitik. Sedangkan masyarakat madani merupakan 'ruh' dalam hidup berbangsa. Kalau sektor madani keliatan 'gemuk' lha, ini namanya kegagalan dalam masyarakat berpolitik. Institusi dan masyarakat berpolitiknya yang kudu diberdayakan. Atau vice versa. Kalau boleh saya kasih contoh, masyarakat berpolitik di Malaysia itu jalan, tapi madaninya jebloggg karena status quo parpol. Dan kalau ketimpangan ini berjalan terus- terusan begini, kehidupan bernegara nggak bisa sustainable seperti ini dalam jangka panjang. Kalau kita bilang menafikan agama atau nggak berdasarkan solusi agama, agendanya bisa disabet oleh para fundamentalis garis keras. Nah, ini kan nggak akan memberikan solusi yang langgeng , (sustainable solution)- kalau bukan membayangkan masa depan yang mengerikan. Memberdayakan agama adalah solusi pragmatis, Pak Ayeye, yang nggak mudah untuk diterapkan tapi ya harus dilakukan. Ini logis, karena agama adalah sejarah dan pengalaman-pengalaman kita. Ini rasional, karena agama yang dituju di sini adalah dalam persepsi masyarakat madani (civil society). Soal hukuman mati, yah itu mungkin tuntutan kalap saja. Kenyataannya apa emang ada koruptor yang dihukum mati? Lha, hukuman Tommy saja didiskon jadi 10 tahun! Boro-boro digantung...:-(( Berapa tahun hukuman Puteh, berapa tahun hukuman Corby? Salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "a ayeye" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Tanggapan di bawah ini adalah pendapat pribadi soal korupsi, berhubung tadi sempat dibahas di WM. Apabila ada kata-2 yang menyinggung perasaan saya mohon maaf :-) > > Kalau saya skeptis bahwa agama bahkan penegakan hukum akan efektif dalam memerangi korupsi. Mengapa? Karena seluruh sistim dari yang formal sampai yang informal sudah menjadi korup, boleh dikatakan sifat korup sudah mendarah-daging hingga menjadi bagian dari kebudayaan yang tidak terpisahkan. > > Agama tidak dapat menghasilkan pengurangan dalam sifat korup, karena selama puluhan tahun yang terakhir ternyata agama tidak membawa hasil dalam hal ini. Itu adalah fakta yang bisa diobservasikan secara langsung di lapangan. Oleh karena itu, akan bertentangan dengan logika jika kita tetap menaruh harapan dalam agama untuk memerangi korupsi. Masalahnya, bukan karena agama adalah jelek atau tidak berguna, tetapi agama bukan merupakan alat yang tepat untuk memerangi korupsi (dalam dimensi komunal). Oleh karena itu, seharusnya umat membebaskan agama dari tugas ini agar masalah korupsi bisa mulai diteliti secara rasional dan pragmatis. Lagi, klaim bahwa agama akan bisa menghilangkan korupsi sudah lama terbukti sebagai salah dalam realita lapangan dan bukan hanya di Indonesia saja. > > Sedangkan penegakan hukum tidak akan menjadi efektif selama penegakan hukum sendiri masih menjadi bagian dari sistim korup. Sedangkan untuk mengubah sistim korup itu saya meragukan ada kekuatan. Usaha dari organsisasi-2 seperti badan anti-korupsi atau individual-2 seperti presiden R.I. saya dukung, tetapi tidak sampai berkhayal. > > Dalam sistim yang korup, uang (dan kekuasaan) menjadi hal yang terpenting, sehingga jumlah uang menentukan pilihan setiap individual. Oleh karena itu, faktor uang mempunyai makna yang jauh lebih penting untuk setiap individual yang tinggal di negara korup dibanding seorang individual yang tinggal di negara dengan penetrasi korupsi yang relatip rendah. > > Karena dalam negara yang korup, faktor uang sering menjadi satu- satunya penentu apakah kita memperoleh hal-2 seperti: > > -pelayanan kesehatan (apalagi dalam keadaan darurat) > -pekerjaan maupun posisi > -rasa nyaman dari orang-2 yang voyeristik > -keamanan dari orang kriminal > -pengakuan dalam kebudayaan feodal/materialistis > -surat-2 penting dari instansi pemerintah > -membuka perusahaan dan menjadi operasional dalam jangka waktu yang lebih cepat > -perlindungan dari sistim hukum yang diskriminatif atau tidak adil > ..atau sebagai penjahat melindungi diri dari konsekuensi hukum > -perlindungan dari calo-2 di jalan > -membayar biaya sekolah untuk anak-2 > -menyelesaikan hal-2 yang tidak terduga > -bantuan dari polisi > -kredit dari bank > -proyek baru > -proteksi dan hormat dari pegawai yang berseragam > -proteksi untuk masa depan > dst. > > Selama kita sendiri tidak berada dalam situasi kritis, maka bisa dengan enak mengritik dan menyalahkan sistim korup bersama para pegawai pemerintah maupun koruptor. Begitu kita kena sendiri, maka pada saat itu akan mengikuti sistim korup. Setelah tidak dalam keadaan membutuhkan lagi, kita melanjutkan kritik lagi. Tepuk tangan :-) > > Sekarang mau menghukum mati para koruptor? Apakah tidak sadar bahwa mereka menguasai seluruh sistim? Apakah mereka akan diam untuk dihukum mati? Sebagai rakyat kita bisa saja menuntut para hakim untuk menghukum keras para koruptor, karena kita tidak berada dalam posisi sang hakim. Coba kalau dihadapi dengan penawaran uang atau pembunuhan (termasuk terhadap anggota keluarga), siapa dari kita akan memilih pembunuhan? Sementara belum ada sistim dari negara yang melindungi para hakim secara efektif. Jangankan para hakim, setiap individual yang ingin mengungkap kasus korupsi sudah mesti bersiap untuk segera dipanggil ke surga. Bisa bahkan sampai hukuman mati menjadi bumerang dimana sang koruptor akan membunuh pesaing-2 yang jujur. > > Maka solusi-2 yang instan ala hukuman mati tidak akan jalan dan hanya menunjukkan yang namanya wishful thinking. Atau tuntutan hukuman mati digunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memancing rasa emosi dari masrakyat yang frustasi dengan korupsi demi meraih keuntungan politis dan notabene kekuasaan dan uang. > > Jujur, berapa banyak di antara kita yang tidak pernah melakukan korupsi biarpun hanya membayar sedikit tambahan untuk lebih cepat menyelesaikan surat-2 dari instansi pemerintah? > > Contohnya, seorang ingin melamar pekerjaan di instansi pemerintah. Untung ia mempunyai relasi baik dalam instansi tersebut, tetapi untuk memperoleh jabatan yang diinginkan ia harus juga membayar 'biaya masuk' yang cukup besar, sampai melebihi penghasilan kotor selama tiga tahun yang ia bisa memperoleh dalam pekerjaan baru. Sedangkan penghasilan itu masih pas-pasan untuk biaya hidup, belum harus mengembalikan modal besar itu. Jujur apakah kita sendiri tidak akan berkorupsi dalam situasi seperti itu? Sekarang ditambah dengan pengaruh/tekanan yang lain; sang boss masih meminta 'komisi' atas 'jasanya'. Para rekan semua melakukan korupsi. Dengan penghasilan tambahan (yang bisa jauh lebih tinggi daripada gaji resmi), tiba-2 perspektif-2 baru menjadi terbuka: dari need menjadi greed. > > Contoh lain, ada seorang pengusaha dari Jakarta yang memiliki penghasilan tinggi dan harus ke Bandung untuk menghadirkan suatu pertemuan. Waktunya sudah sempit dan lagi macet di jalan, pas waktu si pengusaha sudah sampai ke Gambir, keretanya sudah mau berangkat dalam sepulu menit. Sedangkan di depan loket masih ada antri panjang. Tiba-2 muncul seorang calo yang menawarkan tiket dengan harga yang hampir dua kali dari harga resmi tiket. Tetapi bagi pengusaha tersebut, nilai yang akan diperoleh dari jasa calo adalah jauh lebih besar dibanding dengan kerugian kecil dari kelebihan harga tiket. Maka sangat wajar apabila jasa calo diterima daripada hilang waktu yang tidak bermanfaat plus datang telat ke pertemuan. > > Tanggapan ini masih jauh dari lengkap :-) > > Salam, > ayeye > > > > -- > _______________________________________________ > NEW! Lycos Dating Search. The only place to search multiple dating sites at once. > http://datingsearch.lycos.com WM FOR ACEH Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara! Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti. Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129. Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/