For the sake of "keseimbangan" informasi. Wassalam, HMNA *************************************************************************
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 655. Jaringan Tangan-Tangan Gurita Dalam Seri 654 ybl telah ditulis bahwa kebudayaan menyembah berhala modern itu ibarat gurita yang menjulurkan tangan-tangannya membentuk jaringan ke seluruh permukaan globa kita ini yang berwujud globalisasi. Cobalah disimak sikap berpikir penyembah berhala modern ini. Berikut contohnya: "Berpegang pada teks atau tidak hanya merupakan soal pilihan. Artinya, dengan atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa rasionalitas dan kebebasan bisa mengatasi diri serta dunianya jika mampu mengembangkan akalnya seluas-luasnya. Tanpa mempercayai kemampuan manusia, sangat sulit mengharapkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. Dengan mengembalikan fungsi rasio serta kebebasan akal, manusia akan kembali menjadi makhluk dengan kemampuan tak terduga." Demikian pernyataan Masdar Farid Mas'udi pengagas reka-yasa "fiqh baru" yang telah menulis "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji". Beberapa waktu lalu, juluran tangan gurita itu berwujud sebuah workshop bertemakan 'Kritik Wacana Agama' digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Acara tersebut dilaporkan oleh media masa seperti Suara Merdeka, Media Indonesia, dll. Nasr Hamid Abu Zayd ini, yang berupa pion yang melekat pada ujung jari gurita, adalah salah seorang gembong pemuja berhala modern, yang antara lain berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan. Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amrik sungguh-sungguh membawa hasil, dan ia menyatakan sangat berhutang budi atas kesempatan yang diberikan kepadanya itu. Di sanalah ia terbelalak matanya bertemu ilmu yang belum pernah terlintas dalam benaknya selama ini, yaitu hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang bermanfaat dalam berolah otak. "My academic experience in the United States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States" Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, maka tentu itu dapat pula digunakan untuk mengkritisi Al Quran. Bukankah keduanya itu sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd yang memakai asas paralelisme. Itulah dia Abu Zayd yang memposisikan akalnya mengatasi wahyu, penyembah berhala modern. Maka hasil benak Abu Zayd tidak lain dari gagasan-gagasan 'nyleneh' yang diisapnya dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual barat, yang menyembah berhala modern dan suka mengolok-olok dan mengutak-atik Islam. Kegenitan mengkritisi Al Quran dan asas paralelisme ini berimbas pula kepada beberapa orang yang saya jumpai di cyber space, antara lain (cukup dua orang saja). Muh. Syafei dalam gaya bahasa gaul nyleneh: Apa iya kritik matan Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa ya .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Ari Condro yang berlagak seperti juru damai mengoceh: Kalau para penafsir Injil sudah berdamai dengan metode hermeneutika, maka para penafsir Al Quran logikanya secara legowo berdamai pula dengan metode hermeneutika ini. Itu dua orang dari cyber space. Berikut ini saya kemukakan yang bukan dari cyber space, tetapi pernah bertemu dengan saya face to face dalam forum mujadalah (diskusi) bulanan yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) di Islamic Centre pada 5 Sya'ban 1423 H / 12 Oktober 2002, namun bukan mengenai hermeneutika, tetapi tentang Islam Liberal. Yaitu Drs. Taufik Adnan Amal MA (TAA), seorang tokoh dari Jaringan Islam Liberal, dosen Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar. Dalam karya otaknya dengan pisau analisis hermeneutika yang berjudul "Al Quran Antara Fakta dan Fiksi" TAA antara lain menulis: "Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Selanjutnya, kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi (juga seorang tokoh JIL -HMNA-): Bacaan 'ibil' (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan 'al-sama'' (langit), 'al-jibal' (gunung-2), dan 'al-ardl' (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel 'lam', yakni 'ibill' (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Selanjutnya pula: Bagi rata-rata sarjana Muslim, 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal cenderung menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip ini, tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks al-Quran. [sumber: www.Islamlib.com]. Maka Jaringan Tangan-Tangan Gurita itu wajib hukumnya untuk dijawab, karena ini termasuk jihad intelektual. Sudilah kiranya para pembaca sabar menanti, insya-Allah akan dijawab dalam Seri 656 yad. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 19 Desember 2004 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ==================================== BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 656 . Menjawab Tangan-Tangan Gurita Sebermula, perlu kiranya pembaca menengok kembali Seri 655 yang baru lalu. Metode yang termaktub dalam Al Quran, yaitu metode yang eksak secara matematis, sistem keterkaitan 19, seperti yang sering dibahas dalam Serial ini: -- 'ALYHA TS'At 'ASyR, (S. ALMDTSR, 74:30), dibaca: 'alayha- tis'ata 'asyara, artinya: Padanya sembilan belas, lebih "sophisticated" dari metode hermeneutika. Mengapa? Karena metode hermeneutika hanya sampai membicarakan kata, akan tetapi metode Al Quran bukan hanya sampai pada kata, tetapi sampai kepada huruf dan bilangan, sedangkan pada Bible orang tidak bisa bicara huruf, dalam bahasa apa dan huruf mana dari Bible yang akan diambil jadi obyek pembahasan? Perkara para penafsir Injil (bukan Injil saja, melainkan Bible secara keseluruhan -HMNA-) sudah berdamai dengan metode hermeneutika, maka mengapa para penafsir Al Quran tidak mau legowo berdamai pula dengan metode hermeneutika ini, seperti dikehendaki oleh Ari Condro, maka dengan tegas saya jawab: Itu urusan ummat Nashrani mau berdamai dengan hermeneutika, tetapi para penafsir Al Quran tidak perlu dan tidak ada gunanya berdamai dengan hermeneutika dengan argumentasi seperti berikut: -- pertama, ketiadaan bahasa asal Bible dewasa ini, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka para theolog Yahudi dan Nashrani mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika, sedangkan bahasa asal Al Quran tetap exist, bahkan bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh bahasa Al Quran (bandingkan dengan nasibnya bahasa yang dipakai dalam Taurah, yaitu bahasa 'Ibriyyah (Hebrew) kuno yang telah mati, nasibnya bahasa yang dipakai dalam Injil, yaitu bahasa Aram yang telah mati, dan nasibnya bahasa yang dipakai dalam Veda, yaitu bahasa Sangsekerta yang telah mati). -- kedua, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus berdamai, berhubung di dalam Bible tidak ada termaktub tentang metode yang menentang metode hermeneutika ini, sedangkan seperti dikemukakan di atas dalam Al Quran ada termaktub metode yang eksak secara matematis, yaitu metode sistem keterkaitan 19 untuk melawan metode hermeneutika yang antara lain berupaya dengan sia-sia untuk membongkar keotentikan mushhaf (teks) Al Quran Rasm 'Utsmaniy, seperti yang diupayakan oleh Taufik Adnan Amal MA (TAA), dalam karya otaknya berjudul "Al Quran Antara Fakta dan Fiksi" tersebut. Maka asas paralelisme Abu Zayd dan Ari Condro yang memparalelkan Al Quran dengan Bibel tersungkurlah sudah dengan kedua argumentasi di atas itu. Akan diberikan sebuah contoh di antara sekian banyak contoh yang telah dikemukakan dalam Kolom yang saya asuh ini. Khusus untuk menjawab bahasa gaulnya Muh Syafei yang nyleneh tersebut, saya ulang menulisnya: Apa iya kritik matan Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa ya .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Maka ini jawaban saya: Bukan mana tahan, tetapi ditahan oleh sistem keterkaitan matematis 19. Memang ada perbedaan antara Al Quran dengan Hadits, pertama dari segi balaghah bahasa Al Quran lebih tinggi dari bahasa yang dipakai dalam Hadits, kedua dalam hal Al Quran substansi dan redaksionalnya (teks) otentik, sedangkan dalam hal Hadits substansinya yang otentik, tetapi teksnya tidak, sehingga adab mengucapkan atau menuliskan Hadits dianjurkan ditambah dengan aw kamaa qaala (atau seperti yang dikatakan). Mengapa saya katakan kritik matan (teks) Al Quran bukan mana tahan tetapi ditahan? Mari kita kritik kata BSM (bismi) dalam BSM ALLH ALRHMN ALRHYM. Sebenarnya BSM harus terdiri dari 4 huruf, bukan tiga huruf, yaitu seharusnya BASM, oleh karena kata ini terdiri dari huruf jar B (bi) dan ism ASM (ismun), jadi dalam menuliskan BSM sebenarnya telah dicopot Alif, dari BASM menjadi BSM. Namun kritik ini ditahan (bukan: mana tahan) oleh alat kontrol sistem keterkaitan matematis 19. Coba lihat hasil kritik teks, yaitu BSM menjadi BASM, yakni BASM ALLH ALRHMN ALRHYM, silakan dihitung sendiri 20 jumlah huruf bukan? Dan coba hitung sendiri teks yang asli: BSM ALLH ALRHMN ALRHYM, 19 huruf bukan? Jadi bukan mana tahan tetapi ditahan oleh alat kontrol sistem keterkaitan matematis angka 19. Contoh Basmalah di atas juga untuk menjawab olah akal TAA: "Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Bagi rata-rata sarjana Muslim, 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis." Wahai TAA, ini bukan fiksi dan mitos, melainkan fakta sejarah dan karakter kemu'jizatan Al Quran, karena keotentikan "teks" Rasm 'Utsmaniy diperkuat oleh data numerik yang eksak.(*) Yang terakhir kritik TAA atas teks "ibil" dalam Rasm 'Utsmany dengan pendekatan qiraah, bahwa bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Maka rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan rasm "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata. Lagi pula menurut Imam Al Qurthubi perkataan "ibil" itu muannats (gender perempuan), sesuai dengan pemakaian fi'il mabniy majhul "khuliqat", dalam ayat: -- AFLA YNZHRWN ALY ALABL KYF KHLQT (S. ALGHASYYt, 88:17), dibaca: afala- yanzhuru-na ilal ibili kayfa khuliqat (s. algha-syiyah), artinya: Tidakkah mereka memperhatikan ibil bagaimana (ia) diciptakan. Jadi Rasm 'Utsmaniy "ibil" yang berarti awan yang mengandung hujan dan unta lebih komprehensif ketimbang qiraah "ibill" yang hanya berarti awan, yang dikemukakan TAA sebagai penyambung lidah Luthfi(**) tersebut. Alih-alih mau mengkitik/meluruskan rasm "ibil" dengan qiraah "ibill", TAA dan sekaligus Luthfi jadinya tersungkur. Tulisan Masdar Farid Mas'udi "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji", telah dibahas panjang lebar dalam Seri 614, berjudul "Masalah Lempar Jamrah di Mina Tidak Perlu Fiqh Baru", jadi yang berminat silakan dibaca Seri 614 tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 26 Desember 2004 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ------------------------------ (*) Tabulasi jumlah huruf alif+lam+mim dalam 8 surah yang dibuka dengan 3 huruf [alif, lam, mim] setelah Basmalah yang diikat oleh bilangan interlock 19, itu menunjukkan: 1. mu'jizat Al Quran, karena tidak mungkin jalinan interlock 19 itu buatan manusia. 2. keotentikan teks Rasm 'Utsmaniy, sebab kalau tidak otentik, tentu saja tabulasi itu tidak dapat bertahan terhadap mengalirnya sang waktu. 3. teks Rasm 'Utsmaniy bukan mitos, karena siapa bilang data numerik itu mitos. 4. teks Rasm 'Utsmaniy kebal terhadap hermeneutika. Surah mim lam alif Al Baqarah 2175 3204 4592 Ali 'Imran 1251 1885 2578 Al A'raf 1165 1523 2572 Ar Ra'd 260 479 625 Al 'Ankabut 347 554 784 Ar Rum 318 396 545 Luqman 177 298 348 As Sajadah 158 154 268 ____________________ Jumlah 5871 + 8493 + 12312 = 26676 = 1404 x 19 ================================ ----- Original Message ----- From: ayeye1 To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Saturday, July 16, 2005 20:44 Subject: [wanita-muslimah] Saya Berpikir, Maka Saya Muslim Wawancara Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid Saya Berpikir, Maka Saya Muslim DUA pekan terakhir, sejumlah simpul kajian Islam di tanah air disemarakkan oleh kehadiran bintang tamu kondang: Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, 61 tahun. Pakar studi Al-Qur'an asal Universitas Kairo Mesir yang tengah mengasingkan diri sebagai profesor di Universitas Leiden Belanda ini baru pertama bertandang ke Indonesia. Namun pikiran dan bukunya sudah dikenal luas di sini. Abu Zaid juga banyak membimbing mahasiswa Indonesia yang studi master atau doktor di Belanda dan Jerman. "Kasus Abu Zaid" pernah menjadi polemik luas di Mesir dan objek kajian akademik. Yakni ketika ia dinyatakan murtad oleh Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin, Imam Masjid Amr bin Ash, pada April 1993. Setahun kemudian, Pengadilan Kasasi Mesir memutuskan Abu Zaid bercerai dengan istri yang baru setahun dinikahi, Dr. Ibtihal Yunis. Dalilnya, muslimah haram menikah dengan non-muslim. Buku-buku Abu Zaid dinilai bertentangan dengan aqidah Islam. Tesisnya bahwa teks Al Qur'an adalah "produk budaya" dinilai melucuti sakralitas kitab suci. Tiga buku utama Abu Zaid yang memicu fatwa kafir itu telah diterjemahkan dan beredar laris-bebas di pasaran buku Indonesia. Yaitu Mafhumun Nash (Konsep Nash), Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Agama), dan Al-Imam Al-Syafi'I wa Ta'sis al-Aidulujiyah al-Wasatiyah (Imam Syafi'i: Peletak Dasar Ideologi Moderat). "Di pesantren di ujung timur Jawa Timur sana, saya justru menemukan buku saya yang tidak saya temukan lagi di Universitas Kairo," kata Abu Zaid haru, saat menyambut peluncuran The Wahid Institute, di Jakarta, Selasa malam (7/9). "Itulah bedanya kebebasan akademik di Indonesia dan Mesir," kata Prof. Dr. Amin Abdullah, Rektor IAIN Yogyakarta, setengah meledek Abu Zaid, dalam workshop Jaringan Islam Liberal di Jakarta, 28-29 Agustus lalu. Senin, 30 Agustus lalu, Abu Zaid meluangkan waktu dua jam berbincang dengan wartawan Gatra Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Zulkifli Marbun, di kantor ICIP (International Center for Islam and Pluralism) Jakarta, lembaga yang mengundangnya ke Indonesia. Petikannya: Apa respons yang pernah Anda berikan terhadap fatwa kafir dari Dr. Abdu al-Sabur Syahin yang dikuatkan vonis pengadilan Mesir? Saya merespon dengan kenyataan bahwa saya masih seorang muslim. (Islam-lah) yang membuat saya berpikir. Bila ada orang bilang, "Saya berpikir maka saya ada". Saya membuat istilah, "Karena saya berpikir, maka saya muslim." Tidak ada orang yang punya otoritas mencopot identitas Anda sebagai muslim. Jika Anda tidak setuju dengan sebuah opini, Anda tidak boleh mencapnya sebagai non-muslim. Saya tetap muslim walau semua pemimpin dunia mengatakan saya bukan muslim. Andalah yang menetapkan siapa Anda sendiri. Contohnya, saya adalah orang Mesir. Apakah ada orang yang berhak mencabut status tersebut? Apa dampak putusan itu bagi kehidupan Anda sehari-hari, khususnya vonis cerai bagi istri Anda? Beruntung, pemerintah tidak menerapkan keputusan itu, karena hal itu adalah skandal. Seseorang menulis buku, tapi tidak disetujui, apakah hidup istrinya harus diganggu? Istri saya adalah orang yang tahu persis apakah saya seorang muslim atau tidak karena kami selalu bersama-sama 24 jam sehari. Lalu datang orang mengklaim ingin melindungi istri saya karena menikah dengan orang yang dicap murtad. Wajar istri saya bertanya, "Siapa yang memberi kalian hak melakukan itu?" Dia juga langsung mengatakan, "Saya adalah wanita muslimah, suami saya muslim, dan sayalah yang berhak memutuskan." Jadi ada banyak kelemahan dari keputusan ini. Yang berhubungan dengan hak beragama dan hak wanita. Karena perceraian bukan diputuskan oleh pengadilan. Oleh karena itu pemerintah menjauhkan posisi mereka dari fatwa ini. Mengapa Anda memutuskan hijrah ke Belanda? Saya semakin sulit melakukan kegiatan belajar mengajar di Mesir karena harus dikawal khusus. Setelah keluar fatwa itu, pemerintah menyediakan pengawalan untuk saya dengan orang-orang bersenjata mesin. Mereka takut bila ada orang yang membunuh saya atau istri saya. Ruang gerak saya menjadi terbatas. Bayangkan, saya harus mengajar sambil dikawal orang bersenjata. Makanya saya pergi ke Belanda. Bagaimana perlakuan Kedutaan Besar Mesir di Belanda pada Anda? Saya punya hubungan baik dengan pemerintah Mesir. Pemerintah tidak melakukan apapun untuk menerapkan vonis tersebut. Saya bahkan masih bersatus pengajar di Universitas Kairo. Jadi, masalah Anda hanya dengan pihak pengadilan? Saya juga tidak masalah dengan pengadilan, tapi dengan mereka yang mengadukan saya ke pengadilan. Anda berharap suatu saat akan kembali ke Mesir? Iya. Saya bahkan sudah pernah pulang ke Mesir. Tidak ingin mengubah kewarganegaraan Anda ke Belanda? Saya tidak akan menukar kewarganegaraan saya ke Belanda. Saya masih menggunakan paspor Mesir. Di Belanda saya punya Resident Card. Bisa dijelaskan secara ringkas, teori Anda mengenai Al Qur'an yang membuat pengadilan memvonis Anda murtad? Penyebab vonis itu adalah isu politik. Bukan karena karya saya. Buku saya sudah terbit sejak 1990. Vonis itu baru muncul tahun 1993. Isu politik? Di Mesir waktu itu ada banyak perusahaan investasi Islam. Mereka mengumpulkan dana dari umat lalu memutarnya di pasar. Waktu itu banyak fatwa bahwa perusahaan yang tidak pakai sistem itu adalah haram karena mengambil riba. Tapi faktanya, perusahaan ini justru mencuri uang rakyat. Setelah beberapa lama uangnya hilang. Perusahaan itu melibatkan para syaikh dan petinggi universitas untuk juru propaganda. Saya menangkal propaganda mereka. Saya tidak anti perusahaan tersebut, tapi saya hanya mengupasnya dari titik pandang sebagai sarjana. Karena faktanya, ajaran Islam telah disalahgunakan untuk menipu uang masyarakat. Siapa syaikh yang Anda serang? Banyak nama. Salah satunya Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin yang jadi anggota penasehat perusahaan tersebut. Ketika saya membawa buku-buku saya ke ke Dewan Universitas untuk promosi profesor, orang itu marah. Kebetulan ia salah satu anggota Komite Penilai. Dia menolak promosi saya. Dari tiga profesor penilai, dua orang setuju, hanya dia (Prof. Syahin) yang menolak dan mengatakan saya melawan Islam. Saya tentu tidak melawan Islam, tapi melawan dia. Situasi politik Mesir waktu itu sangat berbahaya. Tahun 1993, Ketua Parlemen dibunuh di depan sebuah hotel besar di Kairo. Jadi, pemerintah memang sangat lemah. Universitas bertindak atas dasar ketakutan. Media-media mempertanyakan mengapa Abu Zaid tidak dipromosikan menjadi profesor dan ini menjadi isu publik. Isu yang melibatkan kalangan Islamis di satu sisi dan orang-orang liberal di sisi yang lain. Kalangan Islamis ingin mengembangkan isu ini dan mengangkatkannya ke pengadilan. Mereka menggunakan hukum untuk memecahkan masalah politik. Sejak itulah saya mengatakan ini adalah keputusan politik. Di antara pemikiran yang mengundang polemik adalah tesis Anda bahwa teks Al-Qur'an adalah "produk budaya". Bagaimana argumennya? Analisis saya adalah, kita bisa menganggap Al Quran sebagai produk budaya tapi di waktu yang sama Al Qur'an juga menciptakan budaya. Kita tidak bisa mengabaikan budaya dalam memahami Al Qur'an. Budaya Arab. Soal pokoknya adalah apa definisi wahyu? Struktur wahyu? Serta hubungan antara wahyu dan teks? Wahyu adalah bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Tapi dalam komunikasi ini, Tuhan berada dalam sebuah katagori dan manusia di katagori yang lain. Tuhan adalah kekuatan supranatural, sedangkan manusia makhluk duniawi. Bahasa apa yang dipakai dan dengan saluran (channel) apa? Kita harus menganalisa semua ini. Mengani Tuhan, kita tidak bisa membahasnya lebih jauh karena di luar pengetahuan kita. Kita tinggal bicara mengenai chanel, bahasa, dan manusia yang menerimanya. Menurut Al Qur'an, saluran komunikasi itu adalah Jibril. Dalam bahasa apa Jibril berkomunikasi? Tapi Jibril bukan manusia. Kita tidak punya pengetahuan rinci mengenai malaikat. Akhirnya, kita harus konsentrasi membahas "bahasa" yang digunakan dan Muhammad, sebagai penerima. Bahasa yang digunakan adalah Arab. Kami turunkan padanya Al-Quran dengan bahasa Arab agar kalian memahami (Surat Yusuf :2). Sekiranya Al Quran turun dengan bahasa Hebrew, Muhammad tidak akan paham. Karena Al Qur'an harus diturunkan dalam bahasa yang dipahami, maka saya sebut Al Quran adalah produk budaya. Tapi Dalam waktu yang sama, Al Qur'an juga aktif menciptakan kebudayaan. Jadi ada dua dimensi dalam Al Qur'an. Bagaimana proses produksi budaya yang diperankan Al Qur'an? Al Qur'an eksis dan dapat mengembangkan budaya baru karena ada orang yang mengimaninya. Bila tidak ada orang yang percaya pada Al Quran, misalnya, Al Quran tidak akan bisa menciptakan budaya. Agama, yang merupakan reproduksi Al-Qur'an, terkombinasi dengan usaha manusia untuk memahaminya. Peradaban terbentuk dari interaksi antara manusia yang mengimani Al Quran dan Al Quran itu sendiri. Al Quran sendirian tidak bisa berbuat apa-apa. Al-Qur'an hanya sebuah buku. Buku ini menjadi penting karena ada yang mengimaninya. Saya hanya ingin menekankan aspek kemanusiaan dari wahyu, bahasa, dan Muhammad serta aspek kemanusiaan dalam reproduksi budaya. Semua ini adalah penjelasan ilmiyah biasa. Tujuan akademik apa yang hendak Anda tuju dengan teori ini? Seorang sarjana tidak melakukan riset dengan tujuan tertentu. Itu adalah pekerjaan para idiolog. Sebagai sarjana, Anda tidak bisa memulainya dari tujuan. Saya berangkat dari pertanyaan. Saya bertanya dan saya melakukan riset untuk mendapat jawabannya. Setelah riset, Anda merasa menemukan menemukan makna Islam sebenarnya? Tidak ada "pengertian sebenarnya" mengenai Islam. Paling tidak, kita tahu Islam dari 5 rukun: syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Di luar itu, ada banyak interpretasi. Anda memilih salah satu interpretasi dalam memahami Al Quran? Tidak. Itu pekerjaan misionaris. Saya bukan misionaris (tertawa). Saya sarjana dan guru. Di kelas, saya tidak memaksa murid saya menerima sebuah pendapat. Misalnya Anda murid saya. Dalam ujian, anda menolak pendapat saya dan mengemukakan pendapat sendiri dengan cara intelektual, saya beri Anda nilai A. Tapi meski anda setuju dengan saya, tapi tidak mengemukakannya secara intelektual, saya akan beri nilai D. Sebagai murid, Anda bisa membantah pendapat saya. Pekerjaan saya adalah membuat Anda sebagai sarjana. Jika Anda bukan sarjana, Anda tidak akan duduk dengan saya. Paling tidak Anda mempunyai akar kesarjanaan. Kami ingin tahu mengenai efek empirik yang dikehendaki dari teori Al Qur'an anda, apakah ada sesuatu yang baru? Tidak. Tidak ada yang baru di sini. Sebelum saya berbicara mengenai Al Quran, saya telah belajar sejarah penafsiran Al Quran. Dengan itulah Anda bisa memahami pesan-pesan setiap ayat Al Qur'an. Saya mempelajari cara-cara Muktazilah dalam menggunakan metafor dalam menafsirkan beberapa ayat tertentu. Ketika Anda mempelajari konsep Metafor Anda harus mempelajari bahasa, bahasa Arab tentunya. Anda juga harus belajar teologi. Anda tidak akan bisa memahami Muktazilah bila tidak memahami As'ariyah. Anda tidak akan bisa memahami Asy'ariyah bila tidak memahami Hanbaliyah. Anda tidak akan bisa memahami Hambaliyah jika tidak memahami Al Maturidy. Jadi, semua ini adalah mulai dari motafornya muktazilah, yang telah memberikan saya kesempatan untuk mempunyai banyak pengetahuan mengenai teologi, ilmu kalam, dan tafsir. Jika anda tidak melakukan riset, anda mungkin tidak akan sampai kepada pertanyaan setelahnya. Dan saya menemukan sesuatu jawaban dari pertanyaan itu yang mengantarkan saya kepada pertanyaan lain. Kesimpulan saya, dari studi saya mengenai Muktazilah, Al Quran menjadi seperti lapangan pertempuran (battlefield). Muktazilah menyerang Asy'ari dan kaum Hanbali menyerah Muktazilah. Oh Tuhan. Inilah kesimpulannya. Masalahnya adalah karena idiologi. Mereka saling menarik Al Qur'an ke ideologi masing-masing. Bagi mereka idiologi adalah murni untuk keimanan dan keadilan yang absolut dari Tuhan. Dan untuk itu mereka menemukan contoh ayatnya, "Yadullah Fauqa Aidihim" (Tangan Allah di atas tangan mereka). Inilah ayat untuk menunjukkan absolutisme keadilan Tuhan. Sebuah metafor. Pengikut Hanbali mengatakan bahwa Tuhan mememang mempunyai tangan tapi tidak seperti tangan kita. Ada juga penafsiran Muktazilah dan Asy'ari. Kesimpulannnya adalah setiap orang berusaha menarik Al Qur'an ke dalam idiologi dan kepentingan masing-masing. Karena kepentingan merupakan implikasi politik dan sosiologis dari idiologi. Lebih jauh, bahkan seorang Qadi besar mengatakan bahwa semuanya ada dalam Al Qur'an. Jika Anda memanusiakan Tuhan, semuanya ada dalam Al Qur'an, jika anda ingin tanzih (mentransendensikan Tuhan) semuanya ada dalam Al Quran. Dari sini saya sampai kepada sebuah kesimpulan, yang kemudian membuat saya bertanya mengenai teori sufistik dalam mempelajari Al Qur'an. Pendekatan Sufistik. Para Sufi tidak mempunyai idiologi. Tapi saya kemudian ragu, apakah memang mereka tidak mempunyai idiologi? Ada yang menilai, Anda tengah mengembangkan pandangan bahwa Al-Qur'an bikinan manusia. Tidak. Saya tidak mengatakan Al Quran dibuat manusia. Isi Al Qur'an berasal dari Tuhan. Ini fakta keimanan dalam dunia Islam. Dan saya termasuk dalam fakta keimanan ini. Mereka yang tidak mengerti akan menilai saya begitu. Mereka tidak memahami arti "produk budaya" yang saya maksud. Mereka harus mempelajari buku saya. Muhammad tidak menciptakan Al Qur'an. Banyak fakta Qur'an yang menyalahkan Muhammad sendiri. Misalnya Allah menegur Muhammad dalam surat `Abasa (bermuka masam). Ini bukti kuat bahwa Muhammad tidak pernah mempunyai niat untuk membuat Al Qur'an. Dia mempunyai experience yang kita sebut Wahyu. Sebuah pengalaman yang sangat komplikatif untuk dijelaskan. Saya tidak bisa menjelaskannya, karena saya tidak bisa berbicara dengan Tuhan. Tapi saya bisa menganalisa bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Pertanyaannya, Tuhan telah berbicara kepada manusia. Lalu mengapa Tuhan tidak berbicara dengan bahasa Tuhan? Tuhan mencoba menyesuaikan dengan bahasa makhluknya. Anda katakan "mencoba". Ini berarti Anda memanusiakan Tuhan. Padahal dia adalah kekuatan absolut yang maha kuasa. Tapi dalam prakteknya Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya. Sebagai seorang mukmin, saya bertanya mengapa Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya? Mengapa Tuhan `mencoba' seperti anda katakan itu. Inilah sisi kemanusiaan dari wahyu tersebut. Tuhan menggunakannya dalam bahasa manusia. Ini berarti bahwa sebuah budaya, yang bahasanya digunakan Tuhan, adalah faktor determinan dalam menentukan struktur wahyu. Bila Al Qur'an produk budaya, bagaimana orisinalitas Al Qur'an? Saya akan buat contoh dengan teori bahasa. Bahasa merefleksikan realitas tersendiri. Tapi bahasa itu dapat kita fungsikan di luar periode realitas tersebut. Karena Bahasa itu sendiri merupakan simbol-simbol yang terstruktur maka dia menunjukkan sebuah kenyataan walau bukan kenyataan itu sendiri. Saya beri anda contohnya, "Sebuah bus merah mengalami kecelakan". Inikan masih sangat umum dan dapat dipakai kapan saja. Tapi bila bahasa itu disambung dengan waktu, misalnya, pada hari rabu tanggal sekian dan tahun sekian di sebuah lokasi tertentu maka ini tidak bisa digunakan kapan saja. Inilah yang disebut `partikularisasi bahasa'. Bahasa terbagi dua atau lebih. Pertama bahasa yang menunjukkan sesuatu tapi sebenarnya bukan sesuatu itu. Mungkin banyak artinya. Contohnya darah. Darah ini bukan hanya cairan merah tapi bisa berarti yang lain. Ada ribuan arti darah. Sebuah kalimat dalam konteks yang berbeda bisa berarti yang lain. Al Qur'an juga tidak menekankan arti sebuah kata. Misalnya, Ayat Falamma Qadha zaitun minha .. Anda tidak bisa membuat takwil dari kata zait. Karena itu adalah sebuah referensi untuk sebuah kejadian sesuatu dengan cara meng-indikasikan sebuah percontohan. Banyak kata di dalam Al Qur'an yang kita tidak tahu apa bentuk sebenarnya. Al Quran menyebutkan "nabi" tapi kita tidak tahu siapa namanya. Oleh karena itu Al Qur'an menceritakan sebuah kisah bukan dengan maksud menyibukkan anda menggali orisinalitasnya, tapi untuk melihat nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Kita hubungkan teori Anda dengan isu aktual di Indonesia. Sebagian ulama mengangkat pandangan haramnya presiden perempuan, antara lain merujuk ayat al-rijalu qawwamuna `ala al-nisa' (laki-laki menjadi pemimpin atas wanita). Bagaimana Anda menyikapi ayat ini? Jika dalilnya itu, tinggalkan kata qawwamun (pemimpin), dan lihat beberapa kisah perempuan dalam Al Qur'an. Katakan kepada mereka untuk merujuk kisah negeri Saba'. Pemimpinnya seorang perempuan yang sangat demokratis. Dia selalu mendengar pendapat menteri-menterinya. Rujuk juga kisah Aisyah! Perempuan yang mampu mengorganisir peperangan. Penggalan ayat al-rijal qawwamun itu adalah bagian dari ayat panjang. Anda tidak bisa mencomot begitu saja. Lanjutan penggalan itu, bima fadhdhala Allahu ba'dhahum `ala ba'dhin (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain). Lihat, hanya ba'dhahum (sebagian mereka). Ini berarti tidak semua laki-laki lebih kuat dari perempuan dan tidak semua perempuan lebih lemah dari laki-laki. Kata ganti hum (mereka) ditujukan kepada laki-laki atau perempuan? Kalau laki-laki, berarti Allah mengistimewakan sebagain laki-laki dengan sebagian laki-laki lainnya. Ini persoalan semantik. Dalam frase ba'dhahum `ala ba'dhin (sebagian mereka atas sebagian yang lain) terdapat ambiguitas. Ketidakjelasan mengenai kata gantinya. Ambiguitas ini mempunyai arti sendiri, bahwa, pengertian qawwamah (pemimpin) itu bersifat kondisional tergantung pola hubungan. Jika istri bekerja di luar rumah dan suami tinggal menjaga rumah, siapa yang disebut qawamah di sini? Teori qawamah itu terbentuk oleh fiqih dan struktur masyarakat yang kebetulan patriarki. Ada pandangan bahwa bahasa Al Qur'an sendiri juga lebih bersifat patriarki. Iya. Saya setuju opini tersebut, tapi saya tidak setuju kesimpulannya. Patriarki hanya terlihat dalam struktur bahasa. Mungkin kata ganti maskulin lebih mempunyai superioritas dibanding kata ganti feminin. Al Qur'an dalam satu sisi terlihat patriarki tapi dalam waktu yang sama mencoba mendekonstruksi masyarakat patriarki tersebut. Inilah bahasa Al Qur'an. Jangan melihat bentuknya yang patriarki, tapi cobalah melihat cara Al Qur'an mendekonstruksi hal tersebut. Hanya saja, masyarakat patriarki yang masih ada saat ini terbentuk dari orang yang mempercayai Al Qur'an itu sendiri. Banyak Syeikh dan petinggi agama yang tidak menghormati perempuan di rumah mereka. Kita harus terbuka. Kebanyakan muslim masih sangat jauh dari memperlakukan manusia sebagai manusia, memperlakukan wanita sama dengan manusia. Jadi di sini, masalahnya bukan pada Qur'an tapi jauh dari itu, permasalahannya ada pada penganut agama. Melakukan kegiatan penafsiran Al Qur'an tidak akan memecahkan masalah ini. Yang diperlukan adalah reformasi sosial dan politik pada masyarakat Islam. Nilai-nilai penghormatan kepada wanita itu dapat diambil dari Al Qur'an. Tapi kita juga harus memahami kompleksitas masalah ini dalam masyarakat. Al Qur'an tidak akan memecahkan segala masalah, kitalah yang harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah sosial kita. Al Qur'an hanya sebuah kitab. Buku petunjuk. Anda bisa saja ditujuki ke arah yang benar, tapi Anda bisa saja sesat bila mata anda tidak terbuka dengan fenomena sosial sekitar anda. Bagaimana tipografi bahasa Al Qur'an dalam hubungannya dengan konsep metafor? Sebarnya tidak ada tipografi khusus bahasa Al Qur'an. Tipografi bahasa Al Qur'an berbeda sedikit antara sepuluh tahun pertama dan kedua. Tapi tipografi Al Qur'an lebih kompleks dari itu. Dalam Surah An Najm, misalnya terdapat keberagaman nilai-nilai puitis yang sangat kompleks. Kita punya lebih dari itu sampai kepada struktur naratif Al Qur'an. Jadi tidak ada pendekatan tertentu yang bisa diterapkan dalam memahami gaya Al Qur'an. Ini adalah bagian dari mukzijat Al Qur'an. Anda menolak mengemukakan tujuan dari teori anda yang kontroversial ini. Apakah Anda bermaksud menunjukkan kelemahan Al Qur'an, bahwa bahasanya bersifat "produk budaya"? Saya seolah berniat menggali kelemahan Al Qur'an, anda pasti juga mengetahui bahwa saya juga berniat untuk menunjukkan kelebihan Al Qur'an itu sendiri. Tapi kelebihan dan kekurangan ini bagi saya bukanlah perlawanan antara negatif dan positif, tapi diskriptif. Anda berusaha mengatakan bahwa semua orang boleh menafsirkan Al Qur'an menurut dirinya sendiri? Saya tidak menafsirkan, saya mengomunikasikan. Saya punya hak menulis ayat Al Qur'an dan membacanya maka begitu juga mengkomunikasikannya. Apa perbedaan antara menafsirkan dan mengkomunikasikan dalam konteks ini? Perbedaannya adalah, dalam mengkomunikasikan berarti saya memberi anda sebuah pendapat dalam kapasitas saya sebegai penganut agama menurut pendidikan saya. Semua orang mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut. Bagaimana jika ada sembarang orang yang berusaha mengkomunikasikan ajaran Al Qur'an dan menggunakannya untuk justifikasi kegiatan teror? Masalahnya, di sini bukan komunikasi yang dilakukan orang tersebut, tapi komunikasi yang dilakukan orang lain dan dia mengikutinya. Kita harus jelas dalam masalah ini. Kita harus bicara mengenai manipulasi kekuatan lingustik Al Qur'an itu sendiri. Dalam Al Qur'an, yang sudah dibaca berabad-abad, tidak ada perintah untuk melakukan tindakan pengeboman. Tapi orang berusaha memanipulasinya. Kita juga tidak boleh menteologisasikan masalah ini. Kita harus melihat konteks sosialnya. Siapa yang memanipulasi siapa. Apa alasan orang melakukan tindakan bunuh diri di Palestina. Apa alasan seoarang Biksu Buddha yang membakar diri dalam sebuah aksi protes. Kita harus melihat masalah sosial dan politik. Ini pendapat saya sebagai seorang sarjana, bukan sebagai politisi. Kalau semua orang boleh mengkomunkasikan Al Qur'an, bagaimana dengan validitas pendapat orang yang kurang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi seperti Anda? Bukankah mereka bisa akan salah mengerti? Saya tidak bertanggung jawab dengan masalah umat. Apa yang saya lakukan adalah melakukan yang terbaik dalam kapasitas saya sebagai guru. Permasalahan kekurangan pendidikan karena kemampuan harus diberantantas oleh orang yang bertanggung jawab untuk itu. Ini adalah masalah akses pendidikan dalam masyarakat. Seharusnya mereka diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan yang tinggi. Jadi itu bukan tanggung jawab saya. Saya hanya mengemukakan pendapat saya dan tujuannya di luar dari masalah seperti ini. Dengan semua konstruk gagasan Anda, sebagian pengamat menempatkan Anda sebagai pemikir liberal. Kadang saya merasa tidak nyaman dengan orang-orang yang menamakan saya sebagai Pemikir Liberal. Mungkin sebagian pemikiran saya sesuai dengan nilai-nilai liberal. Tapi saya tidak mempunyai tujuan dan niat sama sekali untuk membuat sebuah idiologi tersendiri. Saya malah sedang berusaha memerangi eksistensi idiologi pada diri saya sendiri. Ini bukan pekerjaan yang mudah. [Wawancara, Gatra Nomor 44 beredar Jumat 10 September 2004] URL: http://www.gatra.com/2004-09-15/versi_cetak.php?id=45801 [Non-text portions of this message have been removed] WM FOR ACEH Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara! Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti. Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129. Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/