For the sake of "keseimbangan" informasi.
Wassalam,
HMNA
*************************************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
655. Jaringan Tangan-Tangan Gurita
 
Dalam Seri 654 ybl telah ditulis bahwa kebudayaan menyembah berhala modern itu 
ibarat gurita yang menjulurkan tangan-tangannya membentuk jaringan ke seluruh 
permukaan globa kita ini yang berwujud globalisasi. 
 
Cobalah disimak sikap berpikir penyembah berhala modern ini. Berikut contohnya: 
"Berpegang pada teks atau tidak hanya merupakan soal pilihan. Artinya, dengan 
atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa rasionalitas dan 
kebebasan bisa mengatasi diri serta dunianya jika mampu mengembangkan akalnya 
seluas-luasnya. Tanpa mempercayai kemampuan manusia, sangat sulit mengharapkan 
perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. Dengan mengembalikan fungsi 
rasio serta kebebasan akal, manusia akan kembali menjadi makhluk dengan 
kemampuan tak terduga." Demikian pernyataan Masdar Farid Mas'udi pengagas 
reka-yasa "fiqh baru" yang telah menulis "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan 
Haji".  
 
Beberapa waktu lalu, juluran tangan gurita itu berwujud sebuah workshop 
bertemakan 'Kritik Wacana Agama' digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, yang 
menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam 
and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. 
Acara tersebut dilaporkan oleh media masa seperti Suara Merdeka, Media 
Indonesia, dll. Nasr Hamid Abu Zayd ini, yang berupa pion yang melekat pada 
ujung jari gurita, adalah salah seorang gembong pemuja berhala modern, yang 
antara lain berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib 
merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Berpendapat dan mengatakan 
bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk 
perbudakan.
 
Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amrik sungguh-sungguh membawa hasil, 
dan ia menyatakan sangat berhutang budi atas kesempatan yang diberikan 
kepadanya itu. Di sanalah ia terbelalak matanya bertemu ilmu yang belum pernah 
terlintas dalam benaknya selama ini, yaitu hermeneutika. Baginya, hermeneutika 
adalah ilmu baru yang bermanfaat dalam berolah otak. "My academic experience in 
the United States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my 
own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the 
science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much 
of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief 
sojourn in the United States"
 
Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran 
tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah 
Bibel, maka tentu itu dapat pula digunakan untuk mengkritisi Al Quran. Bukankah 
keduanya itu sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd yang memakai 
asas paralelisme. Itulah dia Abu Zayd yang memposisikan akalnya mengatasi 
wahyu, penyembah berhala modern. Maka hasil benak Abu Zayd tidak lain dari 
gagasan-gagasan 'nyleneh' yang diisapnya dari tradisi pemikiran dan pengalaman 
intelektual barat, yang menyembah berhala modern dan suka mengolok-olok dan 
mengutak-atik Islam.
 
Kegenitan mengkritisi Al Quran dan asas paralelisme ini berimbas pula kepada 
beberapa orang yang saya jumpai di cyber space, antara lain (cukup dua orang 
saja). Muh. Syafei dalam gaya bahasa gaul nyleneh: Apa iya kritik matan Hadits 
bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa ya .. cuman, 
resistensinya itu lho .. mana tahan. Ari Condro yang berlagak seperti juru 
damai mengoceh: Kalau para penafsir Injil sudah berdamai dengan metode 
hermeneutika, maka para penafsir Al Quran logikanya secara legowo berdamai pula 
dengan metode hermeneutika ini. 
 
Itu dua orang dari cyber space. Berikut ini saya kemukakan yang bukan dari 
cyber space, tetapi pernah bertemu dengan saya face to face dalam forum 
mujadalah (diskusi) bulanan yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Masjid 
Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) di Islamic Centre pada 5 Sya'ban 1423 H / 
12 Oktober 2002, namun bukan mengenai hermeneutika, tetapi tentang Islam 
Liberal. Yaitu Drs. Taufik Adnan Amal MA (TAA), seorang tokoh dari Jaringan 
Islam Liberal, dosen Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar. 
 
Dalam karya otaknya dengan pisau analisis hermeneutika yang berjudul "Al Quran 
Antara Fakta dan Fiksi" TAA antara lain menulis: "Sejak pewahyuannya hingga 
kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. 
Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, 
telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan 
diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Selanjutnya, kiraat pra-utsmani 
terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding kiraat dalam tradisi 
teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan 
Luthfi (juga seorang tokoh JIL -HMNA-): Bacaan 'ibil' (unta, 88:17) dalam 
konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan 'al-sama'' (langit), 
'al-jibal' (gunung-2), dan 'al-ardl' (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, 
Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel 'lam', yakni 'ibill' 
(awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang 
lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Selanjutnya pula: Bagi rata-rata 
sarjana Muslim, 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan 
karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos 
ketimbang prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal 
cenderung menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip 
ini, tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks 
al-Quran. [sumber: www.Islamlib.com]. 
 
Maka Jaringan Tangan-Tangan Gurita itu wajib hukumnya untuk dijawab, karena ini 
termasuk jihad intelektual. Sudilah kiranya para pembaca sabar menanti, 
insya-Allah akan dijawab dalam Seri 656 yad. WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 19 Desember 2004
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
====================================

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
656 . Menjawab Tangan-Tangan Gurita
 
Sebermula, perlu kiranya pembaca menengok kembali Seri 655 yang baru lalu. 
Metode yang termaktub dalam Al Quran, yaitu metode yang eksak secara matematis, 
sistem keterkaitan 19, seperti yang sering dibahas dalam Serial ini:
-- 'ALYHA TS'At 'ASyR, (S. ALMDTSR, 74:30), dibaca: 'alayha- tis'ata 'asyara, 
artinya: Padanya sembilan belas, lebih "sophisticated" dari metode 
hermeneutika. Mengapa? Karena metode hermeneutika hanya sampai membicarakan 
kata, akan tetapi metode Al Quran bukan hanya sampai pada kata, tetapi sampai 
kepada huruf dan bilangan, sedangkan pada Bible orang tidak bisa bicara huruf, 
dalam bahasa apa dan huruf mana dari Bible yang akan diambil jadi obyek 
pembahasan? 
 
Perkara para penafsir Injil (bukan Injil saja, melainkan Bible secara 
keseluruhan -HMNA-) sudah berdamai dengan metode hermeneutika, maka mengapa 
para penafsir Al Quran tidak mau legowo berdamai pula dengan metode 
hermeneutika ini, seperti dikehendaki oleh Ari Condro, maka dengan tegas saya 
jawab: Itu urusan ummat Nashrani mau berdamai dengan hermeneutika, tetapi para 
penafsir Al Quran tidak perlu dan tidak ada gunanya berdamai dengan 
hermeneutika dengan argumentasi seperti berikut:
-- pertama, ketiadaan bahasa asal Bible dewasa ini, maka mau tidak mau, suka 
atau tidak suka para theolog Yahudi dan Nashrani mencari jalan dan metodologi 
untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika, sedangkan bahasa asal Al 
Quran tetap exist, bahkan bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan 
oleh bahasa Al Quran (bandingkan dengan nasibnya bahasa yang dipakai dalam 
Taurah, yaitu bahasa 'Ibriyyah (Hebrew) kuno yang telah mati, nasibnya bahasa 
yang dipakai dalam Injil, yaitu bahasa Aram yang telah mati, dan nasibnya 
bahasa yang dipakai dalam Veda, yaitu bahasa Sangsekerta yang telah mati).  
-- kedua, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus berdamai, berhubung di 
dalam Bible tidak ada termaktub tentang metode yang menentang metode 
hermeneutika ini, sedangkan seperti dikemukakan di atas dalam Al Quran ada 
termaktub metode yang eksak secara matematis, yaitu metode sistem keterkaitan 
19 untuk melawan metode hermeneutika yang antara lain berupaya dengan sia-sia 
untuk membongkar keotentikan mushhaf (teks) Al Quran Rasm 'Utsmaniy, seperti 
yang diupayakan oleh Taufik Adnan Amal MA (TAA), dalam karya otaknya berjudul 
"Al Quran Antara Fakta dan Fiksi" tersebut.
 
Maka asas paralelisme Abu Zayd dan Ari Condro yang memparalelkan Al Quran 
dengan Bibel tersungkurlah sudah dengan kedua argumentasi di atas itu.
 
Akan diberikan sebuah contoh di antara sekian banyak contoh yang telah 
dikemukakan dalam Kolom yang saya asuh ini. Khusus untuk menjawab bahasa 
gaulnya Muh Syafei yang nyleneh tersebut, saya ulang menulisnya: Apa iya kritik 
matan Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa 
ya .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Maka ini jawaban saya: Bukan 
mana tahan, tetapi ditahan oleh sistem keterkaitan matematis 19. Memang ada 
perbedaan antara Al Quran dengan Hadits, pertama dari segi balaghah bahasa Al 
Quran lebih tinggi dari bahasa yang dipakai dalam Hadits, kedua dalam hal Al 
Quran substansi dan redaksionalnya (teks) otentik, sedangkan dalam hal Hadits 
substansinya yang otentik, tetapi teksnya tidak, sehingga adab mengucapkan atau 
menuliskan Hadits dianjurkan ditambah dengan aw kamaa qaala (atau seperti yang 
dikatakan). Mengapa saya katakan kritik matan (teks) Al Quran bukan mana tahan 
tetapi ditahan? 
 
Mari kita kritik kata BSM (bismi) dalam BSM  ALLH  ALRHMN  ALRHYM. Sebenarnya 
BSM harus terdiri dari 4 huruf, bukan tiga huruf, yaitu seharusnya BASM, oleh 
karena kata ini terdiri dari huruf jar B (bi) dan ism ASM (ismun), jadi dalam 
menuliskan BSM sebenarnya telah dicopot Alif, dari BASM menjadi BSM. Namun 
kritik ini ditahan (bukan: mana tahan) oleh alat kontrol sistem keterkaitan 
matematis 19. Coba lihat hasil kritik teks, yaitu BSM menjadi BASM, yakni BASM  
ALLH  ALRHMN  ALRHYM, silakan dihitung sendiri 20 jumlah huruf bukan? Dan coba 
hitung sendiri teks yang asli: BSM  ALLH ALRHMN  ALRHYM, 19 huruf bukan? Jadi 
bukan mana tahan tetapi ditahan oleh alat kontrol sistem keterkaitan matematis 
angka 19. 
 
Contoh Basmalah di atas juga untuk menjawab olah akal TAA: "Rincian perjalanan 
historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta 
dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas 
sebagai fakta sejarah. Bagi rata-rata sarjana Muslim, 'keistimewaan' rasm 
utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, 
pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis." Wahai TAA, 
ini bukan fiksi dan mitos, melainkan fakta sejarah dan karakter kemu'jizatan Al 
Quran, karena keotentikan "teks" Rasm 'Utsmaniy diperkuat oleh data numerik 
yang eksak.(*)
 
Yang terakhir kritik TAA atas teks "ibil" dalam Rasm 'Utsmany dengan pendekatan 
qiraah, bahwa bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak 
koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan 
"al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang 
sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani 
ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan 
mutawatir ibil. 
 
Perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua 
awan yang membawa hujan. Maka rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan awan 
sekaligus, sedangkan rasm "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna awan 
semata-mata. Lagi pula menurut Imam Al Qurthubi perkataan "ibil" itu muannats 
(gender perempuan), sesuai dengan pemakaian fi'il mabniy majhul "khuliqat", 
dalam ayat:
-- AFLA YNZHRWN ALY ALABL KYF KHLQT (S. ALGHASYYt, 88:17), dibaca: afala- 
yanzhuru-na ilal ibili kayfa khuliqat (s. algha-syiyah), artinya: Tidakkah 
mereka memperhatikan ibil bagaimana (ia) diciptakan.
 
Jadi Rasm 'Utsmaniy "ibil" yang berarti awan yang mengandung hujan dan unta 
lebih komprehensif ketimbang qiraah "ibill" yang hanya berarti awan, yang 
dikemukakan TAA sebagai penyambung lidah Luthfi(**) tersebut. Alih-alih mau 
mengkitik/meluruskan rasm "ibil" dengan qiraah "ibill", TAA dan sekaligus 
Luthfi jadinya tersungkur.
 
Tulisan Masdar Farid Mas'udi "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji", telah 
dibahas panjang lebar dalam Seri 614, berjudul "Masalah Lempar Jamrah di Mina 
Tidak Perlu Fiqh Baru", jadi yang berminat silakan dibaca Seri 614 tersebut. 
WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 26 Desember 2004
     [H.Muh.Nur Abdurrahman]
------------------------------
 
(*)
Tabulasi jumlah huruf alif+lam+mim dalam 8 surah yang dibuka dengan 3 huruf 
[alif, lam, mim] setelah Basmalah yang diikat oleh bilangan interlock 19, itu 
menunjukkan:
1. mu'jizat Al Quran, karena tidak mungkin jalinan interlock 19 itu buatan 
manusia.
2. keotentikan teks Rasm 'Utsmaniy, sebab kalau tidak otentik, tentu saja 
tabulasi itu tidak dapat bertahan terhadap mengalirnya sang waktu.
3. teks Rasm 'Utsmaniy bukan mitos, karena siapa bilang data numerik itu mitos. 
4. teks Rasm 'Utsmaniy kebal terhadap hermeneutika.
 
  Surah           mim     lam     alif
Al Baqarah        2175    3204    4592
Ali 'Imran        1251    1885    2578
Al A'raf          1165    1523    2572
Ar Ra'd            260     479     625
Al 'Ankabut        347     554     784
Ar Rum             318     396     545
Luqman             177     298     348
As Sajadah         158     154     268
                  ____________________
 
  Jumlah          5871 +  8493 + 12312
                = 26676 = 1404 x 19
================================


  ----- Original Message ----- 
  From: ayeye1 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, July 16, 2005 20:44
  Subject: [wanita-muslimah] Saya Berpikir, Maka Saya Muslim


  Wawancara Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid
  Saya Berpikir, Maka Saya Muslim

  DUA pekan terakhir, sejumlah simpul kajian Islam di tanah air
  disemarakkan oleh kehadiran bintang tamu kondang: Prof. Dr. Nasr Hamid
  Abu Zaid, 61 tahun. Pakar studi Al-Qur'an asal Universitas Kairo Mesir
  yang tengah mengasingkan diri sebagai profesor di Universitas Leiden
  Belanda ini baru pertama bertandang ke Indonesia. Namun pikiran dan
  bukunya sudah dikenal luas di sini. Abu Zaid juga banyak membimbing
  mahasiswa Indonesia yang studi master atau doktor di Belanda dan Jerman.

  "Kasus Abu Zaid" pernah menjadi polemik luas di Mesir dan objek kajian
  akademik. Yakni ketika ia dinyatakan murtad oleh Prof. Dr. Abdu
  al-Sabur Syahin, Imam Masjid Amr bin Ash, pada April 1993. Setahun
  kemudian, Pengadilan Kasasi Mesir memutuskan Abu Zaid bercerai dengan
  istri yang baru setahun dinikahi, Dr. Ibtihal Yunis. Dalilnya,
  muslimah haram menikah dengan non-muslim. Buku-buku Abu Zaid dinilai
  bertentangan dengan aqidah Islam. Tesisnya bahwa teks Al Qur'an adalah
  "produk budaya" dinilai melucuti sakralitas kitab suci.

  Tiga buku utama Abu Zaid yang memicu fatwa kafir itu telah
  diterjemahkan dan beredar laris-bebas di pasaran buku Indonesia. Yaitu
  Mafhumun Nash (Konsep Nash), Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana
  Agama), dan Al-Imam Al-Syafi'I wa Ta'sis al-Aidulujiyah al-Wasatiyah
  (Imam Syafi'i: Peletak Dasar Ideologi Moderat). "Di pesantren di ujung
  timur Jawa Timur sana, saya justru menemukan buku saya yang tidak saya
  temukan lagi di Universitas Kairo," kata Abu Zaid haru, saat menyambut
  peluncuran The Wahid Institute, di Jakarta, Selasa malam (7/9).

  "Itulah bedanya kebebasan akademik di Indonesia dan Mesir," kata Prof.
  Dr. Amin Abdullah, Rektor IAIN Yogyakarta, setengah meledek Abu Zaid,
  dalam workshop Jaringan Islam Liberal di Jakarta, 28-29 Agustus lalu.
  Senin, 30 Agustus lalu, Abu Zaid meluangkan waktu dua jam berbincang
  dengan wartawan Gatra Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan
  Zulkifli Marbun, di kantor ICIP (International Center for Islam and
  Pluralism) Jakarta, lembaga yang mengundangnya ke Indonesia. Petikannya:

  Apa respons yang pernah Anda berikan terhadap fatwa kafir dari Dr.
  Abdu al-Sabur Syahin yang dikuatkan vonis pengadilan Mesir?
  Saya merespon dengan kenyataan bahwa saya masih seorang muslim.
  (Islam-lah) yang membuat saya berpikir. Bila ada orang bilang, "Saya
  berpikir maka saya ada". Saya membuat istilah, "Karena saya berpikir,
  maka saya muslim." Tidak ada orang yang punya otoritas mencopot
  identitas Anda sebagai muslim. Jika Anda tidak setuju dengan sebuah
  opini, Anda tidak boleh mencapnya sebagai non-muslim. Saya tetap
  muslim walau semua pemimpin dunia mengatakan saya bukan muslim.
  Andalah yang menetapkan siapa Anda sendiri. Contohnya, saya adalah
  orang Mesir. Apakah ada orang yang berhak mencabut status tersebut?

  Apa dampak putusan itu bagi kehidupan Anda sehari-hari, khususnya
  vonis cerai bagi istri Anda?
  Beruntung, pemerintah tidak menerapkan keputusan itu, karena hal itu
  adalah skandal. Seseorang menulis buku, tapi tidak disetujui, apakah
  hidup istrinya harus diganggu? Istri saya adalah orang yang tahu
  persis apakah saya seorang muslim atau tidak karena kami selalu
  bersama-sama 24 jam sehari. Lalu datang orang mengklaim ingin
  melindungi istri saya karena menikah dengan orang yang dicap murtad.
  Wajar istri saya bertanya, "Siapa yang memberi kalian hak melakukan
  itu?" Dia juga langsung mengatakan, "Saya adalah wanita muslimah,
  suami saya muslim, dan sayalah yang berhak memutuskan." Jadi ada
  banyak kelemahan dari keputusan ini. Yang berhubungan dengan hak
  beragama dan hak wanita. Karena perceraian bukan diputuskan oleh
  pengadilan. Oleh karena itu pemerintah menjauhkan posisi mereka dari
  fatwa ini.

  Mengapa Anda memutuskan hijrah ke Belanda?
  Saya semakin sulit melakukan kegiatan belajar mengajar di Mesir karena
  harus dikawal khusus. Setelah keluar fatwa itu, pemerintah menyediakan
  pengawalan untuk saya dengan orang-orang bersenjata mesin. Mereka
  takut bila ada orang yang membunuh saya atau istri saya. Ruang gerak
  saya menjadi terbatas. Bayangkan, saya harus mengajar sambil dikawal
  orang bersenjata. Makanya saya pergi ke Belanda.

  Bagaimana perlakuan Kedutaan Besar Mesir di Belanda pada Anda?
  Saya punya hubungan baik dengan pemerintah Mesir. Pemerintah tidak
  melakukan apapun untuk menerapkan vonis tersebut. Saya bahkan masih
  bersatus pengajar di Universitas Kairo.

  Jadi, masalah Anda hanya dengan pihak pengadilan?
  Saya juga tidak masalah dengan pengadilan, tapi dengan mereka yang
  mengadukan saya ke pengadilan.

  Anda berharap suatu saat akan kembali ke Mesir?
  Iya. Saya bahkan sudah pernah pulang ke Mesir.

  Tidak ingin mengubah kewarganegaraan Anda ke Belanda?
  Saya tidak akan menukar kewarganegaraan saya ke Belanda. Saya masih
  menggunakan paspor Mesir. Di Belanda saya punya Resident Card.

  Bisa dijelaskan secara ringkas, teori Anda mengenai Al Qur'an yang
  membuat pengadilan memvonis Anda murtad?
  Penyebab vonis itu adalah isu politik. Bukan karena karya saya. Buku
  saya sudah terbit sejak 1990. Vonis itu baru muncul tahun 1993.

  Isu politik?
  Di Mesir waktu itu ada banyak perusahaan investasi Islam. Mereka
  mengumpulkan dana dari umat lalu memutarnya di pasar. Waktu itu banyak
  fatwa bahwa perusahaan yang tidak pakai sistem itu adalah haram karena
  mengambil riba. Tapi faktanya, perusahaan ini justru mencuri uang
  rakyat. Setelah beberapa lama uangnya hilang. Perusahaan itu
  melibatkan para syaikh dan petinggi universitas untuk juru propaganda.
  Saya menangkal propaganda mereka. Saya tidak anti perusahaan tersebut,
  tapi saya hanya mengupasnya dari titik pandang sebagai sarjana. Karena
  faktanya, ajaran Islam telah disalahgunakan untuk menipu uang masyarakat.

  Siapa syaikh yang Anda serang?
  Banyak nama. Salah satunya Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin yang jadi
  anggota penasehat perusahaan tersebut. Ketika saya membawa buku-buku
  saya ke ke Dewan Universitas untuk promosi profesor, orang itu marah.
  Kebetulan ia salah satu anggota Komite Penilai. Dia menolak promosi
  saya. Dari tiga profesor penilai, dua orang setuju, hanya dia (Prof.
  Syahin) yang menolak dan mengatakan saya melawan Islam. Saya tentu
  tidak melawan Islam, tapi melawan dia.

  Situasi politik Mesir waktu itu sangat berbahaya. Tahun 1993, Ketua
  Parlemen dibunuh di depan sebuah hotel besar di Kairo. Jadi,
  pemerintah memang sangat lemah. Universitas bertindak atas dasar
  ketakutan. Media-media mempertanyakan mengapa Abu Zaid tidak
  dipromosikan menjadi profesor dan ini menjadi isu publik. Isu yang
  melibatkan kalangan Islamis di satu sisi dan orang-orang liberal di
  sisi yang lain. Kalangan Islamis ingin mengembangkan isu ini dan
  mengangkatkannya ke pengadilan. Mereka menggunakan hukum untuk
  memecahkan masalah politik. Sejak itulah saya mengatakan ini adalah
  keputusan politik.

  Di antara pemikiran yang mengundang polemik adalah tesis Anda bahwa
  teks Al-Qur'an adalah "produk budaya". Bagaimana argumennya?
  Analisis saya adalah, kita bisa menganggap Al Quran sebagai produk
  budaya tapi di waktu yang sama Al Qur'an juga menciptakan budaya. Kita
  tidak bisa mengabaikan budaya dalam memahami Al Qur'an. Budaya Arab.
  Soal pokoknya adalah apa definisi wahyu? Struktur wahyu? Serta
  hubungan antara wahyu dan teks? Wahyu adalah bentuk komunikasi antara
  Tuhan dan manusia. Tapi dalam komunikasi ini, Tuhan berada dalam
  sebuah katagori dan manusia di katagori yang lain. Tuhan adalah
  kekuatan supranatural, sedangkan manusia makhluk duniawi. Bahasa apa
  yang dipakai dan dengan saluran (channel) apa?

  Kita harus menganalisa semua ini. Mengani Tuhan, kita tidak bisa
  membahasnya lebih jauh karena di luar pengetahuan kita. Kita tinggal
  bicara mengenai chanel, bahasa, dan manusia yang menerimanya. Menurut
  Al Qur'an, saluran komunikasi itu adalah Jibril. Dalam bahasa apa
  Jibril berkomunikasi? Tapi Jibril bukan manusia. Kita tidak punya
  pengetahuan rinci mengenai malaikat. Akhirnya, kita harus konsentrasi
  membahas "bahasa" yang digunakan dan Muhammad, sebagai penerima.

  Bahasa yang digunakan adalah Arab. Kami turunkan padanya Al-Quran
  dengan bahasa Arab agar kalian memahami (Surat Yusuf :2). Sekiranya Al
  Quran turun dengan bahasa Hebrew, Muhammad tidak akan paham. Karena Al
  Qur'an harus diturunkan dalam bahasa yang dipahami, maka saya sebut Al
  Quran adalah produk budaya. Tapi Dalam waktu yang sama, Al Qur'an juga
  aktif menciptakan kebudayaan. Jadi ada dua dimensi dalam Al Qur'an.

  Bagaimana proses produksi budaya yang diperankan Al Qur'an?
  Al Qur'an eksis dan dapat mengembangkan budaya baru karena ada orang
  yang mengimaninya. Bila tidak ada orang yang percaya pada Al Quran,
  misalnya, Al Quran tidak akan bisa menciptakan budaya. Agama, yang
  merupakan reproduksi Al-Qur'an, terkombinasi dengan usaha manusia
  untuk memahaminya. Peradaban terbentuk dari interaksi antara manusia
  yang mengimani Al Quran dan Al Quran itu sendiri.

  Al Quran sendirian tidak bisa berbuat apa-apa. Al-Qur'an hanya sebuah
  buku. Buku ini menjadi penting karena ada yang mengimaninya. Saya
  hanya ingin menekankan aspek kemanusiaan dari wahyu, bahasa, dan
  Muhammad serta aspek kemanusiaan dalam reproduksi budaya. Semua ini
  adalah penjelasan ilmiyah biasa.

  Tujuan akademik apa yang hendak Anda tuju dengan teori ini?
  Seorang sarjana tidak melakukan riset dengan tujuan tertentu. Itu
  adalah pekerjaan para idiolog. Sebagai sarjana, Anda tidak bisa
  memulainya dari tujuan. Saya berangkat dari pertanyaan. Saya bertanya
  dan saya melakukan riset untuk mendapat jawabannya.

  Setelah riset, Anda merasa menemukan menemukan makna Islam sebenarnya?
  Tidak ada "pengertian sebenarnya" mengenai Islam. Paling tidak, kita
  tahu Islam dari 5 rukun: syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Di
  luar itu, ada banyak interpretasi.

  Anda memilih salah satu interpretasi dalam memahami Al Quran?
  Tidak. Itu pekerjaan misionaris. Saya bukan misionaris (tertawa). Saya
  sarjana dan guru. Di kelas, saya tidak memaksa murid saya menerima
  sebuah pendapat. Misalnya Anda murid saya. Dalam ujian, anda menolak
  pendapat saya dan mengemukakan pendapat sendiri dengan cara
  intelektual, saya beri Anda nilai A. Tapi meski anda setuju dengan
  saya, tapi tidak mengemukakannya secara intelektual, saya akan beri
  nilai D. Sebagai murid, Anda bisa membantah pendapat saya. Pekerjaan
  saya adalah membuat Anda sebagai sarjana. Jika Anda bukan sarjana,
  Anda tidak akan duduk dengan saya. Paling tidak Anda mempunyai akar
  kesarjanaan.

  Kami ingin tahu mengenai efek empirik yang dikehendaki dari teori Al
  Qur'an anda, apakah ada sesuatu yang baru?
  Tidak. Tidak ada yang baru di sini. Sebelum saya berbicara mengenai Al
  Quran, saya telah belajar sejarah penafsiran Al Quran. Dengan itulah
  Anda bisa memahami pesan-pesan setiap ayat Al Qur'an. Saya mempelajari
  cara-cara Muktazilah dalam menggunakan metafor dalam menafsirkan
  beberapa ayat tertentu. Ketika Anda mempelajari konsep Metafor Anda
  harus mempelajari bahasa, bahasa Arab tentunya. Anda juga harus
  belajar teologi. Anda tidak akan bisa memahami Muktazilah bila tidak
  memahami As'ariyah. Anda tidak akan bisa memahami Asy'ariyah bila
  tidak memahami Hanbaliyah. Anda tidak akan bisa memahami Hambaliyah
  jika tidak memahami Al Maturidy.

  Jadi, semua ini adalah mulai dari motafornya muktazilah, yang telah
  memberikan saya kesempatan untuk mempunyai banyak pengetahuan mengenai
  teologi, ilmu kalam, dan tafsir. Jika anda tidak melakukan riset, anda
  mungkin tidak akan sampai kepada pertanyaan setelahnya. Dan saya
  menemukan sesuatu jawaban dari pertanyaan itu yang mengantarkan saya
  kepada pertanyaan lain.

  Kesimpulan saya, dari studi saya mengenai Muktazilah, Al Quran menjadi
  seperti lapangan pertempuran (battlefield). Muktazilah menyerang
  Asy'ari dan kaum Hanbali menyerah Muktazilah. Oh Tuhan. Inilah
  kesimpulannya. Masalahnya adalah karena idiologi. Mereka saling
  menarik Al Qur'an ke ideologi masing-masing.

  Bagi mereka idiologi adalah murni untuk keimanan dan keadilan yang
  absolut dari Tuhan. Dan untuk itu mereka menemukan contoh ayatnya,
  "Yadullah Fauqa Aidihim" (Tangan Allah di atas tangan mereka). Inilah
  ayat untuk menunjukkan absolutisme keadilan Tuhan. Sebuah metafor.

  Pengikut Hanbali mengatakan bahwa Tuhan mememang mempunyai tangan tapi
  tidak seperti tangan kita. Ada juga penafsiran Muktazilah dan Asy'ari.
  Kesimpulannnya adalah setiap orang berusaha menarik Al Qur'an ke dalam
  idiologi dan kepentingan masing-masing. Karena kepentingan merupakan
  implikasi politik dan sosiologis dari idiologi.

  Lebih jauh, bahkan seorang Qadi besar mengatakan bahwa semuanya ada
  dalam Al Qur'an. Jika Anda memanusiakan Tuhan, semuanya ada dalam Al
  Qur'an, jika anda ingin tanzih (mentransendensikan Tuhan) semuanya ada
  dalam Al Quran. Dari sini saya sampai kepada sebuah kesimpulan, yang
  kemudian membuat saya bertanya mengenai teori sufistik dalam
  mempelajari Al Qur'an. Pendekatan Sufistik. Para Sufi tidak mempunyai
  idiologi. Tapi saya kemudian ragu, apakah memang mereka tidak
  mempunyai idiologi?

  Ada yang menilai, Anda tengah mengembangkan pandangan bahwa Al-Qur'an
  bikinan manusia.

  Tidak. Saya tidak mengatakan Al Quran dibuat manusia. Isi Al Qur'an
  berasal dari Tuhan. Ini fakta keimanan dalam dunia Islam. Dan saya
  termasuk dalam fakta keimanan ini. Mereka yang tidak mengerti akan
  menilai saya begitu. Mereka tidak memahami arti "produk budaya" yang
  saya maksud. Mereka harus mempelajari buku saya. Muhammad tidak
  menciptakan Al Qur'an. Banyak fakta Qur'an yang menyalahkan Muhammad
  sendiri. Misalnya Allah menegur Muhammad dalam surat `Abasa (bermuka
  masam).

  Ini bukti kuat bahwa Muhammad tidak pernah mempunyai niat untuk
  membuat Al Qur'an. Dia mempunyai experience yang kita sebut Wahyu.
  Sebuah pengalaman yang sangat komplikatif untuk dijelaskan. Saya tidak
  bisa menjelaskannya, karena saya tidak bisa berbicara dengan Tuhan.
  Tapi saya bisa menganalisa bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan
  manusia. Pertanyaannya, Tuhan telah berbicara kepada manusia. Lalu
  mengapa Tuhan tidak berbicara dengan bahasa Tuhan?

  Tuhan mencoba menyesuaikan dengan bahasa makhluknya.
  Anda katakan "mencoba". Ini berarti Anda memanusiakan Tuhan. Padahal
  dia adalah kekuatan absolut yang maha kuasa. Tapi dalam prakteknya
  Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya. Sebagai seorang mukmin, saya
  bertanya mengapa Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya? Mengapa
  Tuhan `mencoba' seperti anda katakan itu. Inilah sisi kemanusiaan dari
  wahyu tersebut. Tuhan menggunakannya dalam bahasa manusia. Ini berarti
  bahwa sebuah budaya, yang bahasanya digunakan Tuhan, adalah faktor
  determinan dalam menentukan struktur wahyu.

  Bila Al Qur'an produk budaya, bagaimana orisinalitas Al Qur'an?
  Saya akan buat contoh dengan teori bahasa. Bahasa merefleksikan
  realitas tersendiri. Tapi bahasa itu dapat kita fungsikan di luar
  periode realitas tersebut. Karena Bahasa itu sendiri merupakan
  simbol-simbol yang terstruktur maka dia menunjukkan sebuah kenyataan
  walau bukan kenyataan itu sendiri.

  Saya beri anda contohnya, "Sebuah bus merah mengalami kecelakan".
  Inikan masih sangat umum dan dapat dipakai kapan saja. Tapi bila
  bahasa itu disambung dengan waktu, misalnya, pada hari rabu tanggal
  sekian dan tahun sekian di sebuah lokasi tertentu maka ini tidak bisa
  digunakan kapan saja. Inilah yang disebut `partikularisasi bahasa'.

  Bahasa terbagi dua atau lebih. Pertama bahasa yang menunjukkan sesuatu
  tapi sebenarnya bukan sesuatu itu. Mungkin banyak artinya. Contohnya
  darah. Darah ini bukan hanya cairan merah tapi bisa berarti yang lain.
  Ada ribuan arti darah. Sebuah kalimat dalam konteks yang berbeda bisa
  berarti yang lain.

  Al Qur'an juga tidak menekankan arti sebuah kata. Misalnya, Ayat
  Falamma Qadha zaitun minha .. Anda tidak bisa membuat takwil dari kata
  zait. Karena itu adalah sebuah referensi untuk sebuah kejadian sesuatu
  dengan cara meng-indikasikan sebuah percontohan. Banyak kata di dalam
  Al Qur'an yang kita tidak tahu apa bentuk sebenarnya. Al Quran
  menyebutkan "nabi" tapi kita tidak tahu siapa namanya. Oleh karena itu
  Al Qur'an menceritakan sebuah kisah bukan dengan maksud menyibukkan
  anda menggali orisinalitasnya, tapi untuk melihat nilai-nilai yang
  terkandung dalam cerita tersebut.

  Kita hubungkan teori Anda dengan isu aktual di Indonesia. Sebagian
  ulama mengangkat pandangan haramnya presiden perempuan, antara lain
  merujuk ayat al-rijalu qawwamuna `ala al-nisa' (laki-laki menjadi
  pemimpin atas wanita). Bagaimana Anda menyikapi ayat ini?

  Jika dalilnya itu, tinggalkan kata qawwamun (pemimpin), dan lihat
  beberapa kisah perempuan dalam Al Qur'an. Katakan kepada mereka untuk
  merujuk kisah negeri Saba'. Pemimpinnya seorang perempuan yang sangat
  demokratis. Dia selalu mendengar pendapat menteri-menterinya. Rujuk
  juga kisah Aisyah! Perempuan yang mampu mengorganisir peperangan.

  Penggalan ayat al-rijal qawwamun itu adalah bagian dari ayat panjang.
  Anda tidak bisa mencomot begitu saja. Lanjutan penggalan itu, bima
  fadhdhala Allahu ba'dhahum `ala ba'dhin (karena Allah telah melebihkan
  sebagian mereka atas sebagian yang lain). Lihat, hanya ba'dhahum
  (sebagian mereka). Ini berarti tidak semua laki-laki lebih kuat dari
  perempuan dan tidak semua perempuan lebih lemah dari laki-laki. Kata
  ganti hum (mereka) ditujukan kepada laki-laki atau perempuan? Kalau
  laki-laki, berarti Allah mengistimewakan sebagain laki-laki dengan
  sebagian laki-laki lainnya. Ini persoalan semantik.

  Dalam frase ba'dhahum `ala ba'dhin (sebagian mereka atas sebagian yang
  lain) terdapat ambiguitas. Ketidakjelasan mengenai kata gantinya.
  Ambiguitas ini mempunyai arti sendiri, bahwa, pengertian qawwamah
  (pemimpin) itu bersifat kondisional tergantung pola hubungan. Jika
  istri bekerja di luar rumah dan suami tinggal menjaga rumah, siapa
  yang disebut qawamah di sini? Teori qawamah itu terbentuk oleh fiqih
  dan struktur masyarakat yang kebetulan patriarki.

  Ada pandangan bahwa bahasa Al Qur'an sendiri juga lebih bersifat
  patriarki.
  Iya. Saya setuju opini tersebut, tapi saya tidak setuju kesimpulannya.
  Patriarki hanya terlihat dalam struktur bahasa. Mungkin kata ganti
  maskulin lebih mempunyai superioritas dibanding kata ganti feminin.

  Al Qur'an dalam satu sisi terlihat patriarki tapi dalam waktu yang
  sama mencoba mendekonstruksi masyarakat patriarki tersebut. Inilah
  bahasa Al Qur'an. Jangan melihat bentuknya yang patriarki, tapi
  cobalah melihat cara Al Qur'an mendekonstruksi hal tersebut.

  Hanya saja, masyarakat patriarki yang masih ada saat ini terbentuk
  dari orang yang mempercayai Al Qur'an itu sendiri. Banyak Syeikh dan
  petinggi agama yang tidak menghormati perempuan di rumah mereka. Kita
  harus terbuka. Kebanyakan muslim masih sangat jauh dari memperlakukan
  manusia sebagai manusia, memperlakukan wanita sama dengan manusia.
  Jadi di sini, masalahnya bukan pada Qur'an tapi jauh dari itu,
  permasalahannya ada pada penganut agama.

  Melakukan kegiatan penafsiran Al Qur'an tidak akan memecahkan masalah
  ini. Yang diperlukan adalah reformasi sosial dan politik pada
  masyarakat Islam. Nilai-nilai penghormatan kepada wanita itu dapat
  diambil dari Al Qur'an. Tapi kita juga harus memahami kompleksitas
  masalah ini dalam masyarakat.

  Al Qur'an tidak akan memecahkan segala masalah, kitalah yang harus
  melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah sosial kita. Al Qur'an
  hanya sebuah kitab. Buku petunjuk. Anda bisa saja ditujuki ke arah
  yang benar, tapi Anda bisa saja sesat bila mata anda tidak terbuka
  dengan fenomena sosial sekitar anda.

  Bagaimana tipografi bahasa Al Qur'an dalam hubungannya dengan konsep
  metafor?
  Sebarnya tidak ada tipografi khusus bahasa Al Qur'an. Tipografi bahasa
  Al Qur'an berbeda sedikit antara sepuluh tahun pertama dan kedua. Tapi
  tipografi Al Qur'an lebih kompleks dari itu. Dalam Surah An Najm,
  misalnya terdapat keberagaman nilai-nilai puitis yang sangat kompleks.
  Kita punya lebih dari itu sampai kepada struktur naratif Al Qur'an.
  Jadi tidak ada pendekatan tertentu yang bisa diterapkan dalam memahami
  gaya Al Qur'an. Ini adalah bagian dari mukzijat Al Qur'an.

  Anda menolak mengemukakan tujuan dari teori anda yang kontroversial
  ini. Apakah Anda bermaksud menunjukkan kelemahan Al Qur'an, bahwa
  bahasanya bersifat "produk budaya"?
  Saya seolah berniat menggali kelemahan Al Qur'an, anda pasti juga
  mengetahui bahwa saya juga berniat untuk menunjukkan kelebihan Al
  Qur'an itu sendiri. Tapi kelebihan dan kekurangan ini bagi saya
  bukanlah perlawanan antara negatif dan positif, tapi diskriptif.

  Anda berusaha mengatakan bahwa semua orang boleh menafsirkan Al Qur'an
  menurut dirinya sendiri?
  Saya tidak menafsirkan, saya mengomunikasikan. Saya punya hak menulis
  ayat Al Qur'an dan membacanya maka begitu juga mengkomunikasikannya.

  Apa perbedaan antara menafsirkan dan mengkomunikasikan dalam konteks ini?
  Perbedaannya adalah, dalam mengkomunikasikan berarti saya memberi anda
  sebuah pendapat dalam kapasitas saya sebegai penganut agama menurut
  pendidikan saya. Semua orang mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut.

  Bagaimana jika ada sembarang orang yang berusaha mengkomunikasikan
  ajaran Al Qur'an dan menggunakannya untuk justifikasi kegiatan teror?
  Masalahnya, di sini bukan komunikasi yang dilakukan orang tersebut,
  tapi komunikasi yang dilakukan orang lain dan dia mengikutinya. Kita
  harus jelas dalam masalah ini. Kita harus bicara mengenai manipulasi
  kekuatan lingustik Al Qur'an itu sendiri. Dalam Al Qur'an, yang sudah
  dibaca berabad-abad, tidak ada perintah untuk melakukan tindakan
  pengeboman. Tapi orang berusaha memanipulasinya.

  Kita juga tidak boleh menteologisasikan masalah ini. Kita harus
  melihat konteks sosialnya. Siapa yang memanipulasi siapa. Apa alasan
  orang melakukan tindakan bunuh diri di Palestina. Apa alasan seoarang
  Biksu Buddha yang membakar diri dalam sebuah aksi protes. Kita harus
  melihat masalah sosial dan politik. Ini pendapat saya sebagai seorang
  sarjana, bukan sebagai politisi.

  Kalau semua orang boleh mengkomunkasikan Al Qur'an, bagaimana dengan
  validitas pendapat orang yang kurang mempunyai tingkat pendidikan yang
  tinggi seperti Anda? Bukankah mereka bisa akan salah mengerti?
  Saya tidak bertanggung jawab dengan masalah umat. Apa yang saya
  lakukan adalah melakukan yang terbaik dalam kapasitas saya sebagai
  guru. Permasalahan kekurangan pendidikan karena kemampuan harus
  diberantantas oleh orang yang bertanggung jawab untuk itu. Ini adalah
  masalah akses pendidikan dalam masyarakat. Seharusnya mereka diberi
  kesempatan untuk mendapat pendidikan yang tinggi. Jadi itu bukan
  tanggung jawab saya. Saya hanya mengemukakan pendapat saya dan
  tujuannya di luar dari masalah seperti ini.

  Dengan semua konstruk gagasan Anda, sebagian pengamat menempatkan Anda
  sebagai pemikir liberal.
  Kadang saya merasa tidak nyaman dengan orang-orang yang menamakan saya
  sebagai Pemikir Liberal. Mungkin sebagian pemikiran saya sesuai dengan
  nilai-nilai liberal. Tapi saya tidak mempunyai tujuan dan niat sama
  sekali untuk membuat sebuah idiologi tersendiri. Saya malah sedang
  berusaha memerangi eksistensi idiologi pada diri saya sendiri. Ini
  bukan pekerjaan yang mudah.

  [Wawancara, Gatra Nomor 44 beredar Jumat 10 September 2004] URL:
  http://www.gatra.com/2004-09-15/versi_cetak.php?id=45801


[Non-text portions of this message have been removed]



WM FOR ACEH
Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara!
Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No 
Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti.
Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129.

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke