http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/23/opini/1916293.htm
Nasib Anak yang Terlu(pa)ka(n) Oleh: RAZALI RITONGA Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1986 yang menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional dan tahun 1986-1996 sebagai Dasawarsa Anak telah berlalu hampir satu dekade. Komitmen politik untuk memikirkan nasib anak saat itu amat membahagiakan semua pihak karena arah penentuan masa depan bangsa sudah terpikirkan. Namun komitmen itu kini kian pudar, bahkan terlupakan, sehingga nasib anak sepertinya terluka. Sungguh tragis. Indikasi terlupakannya nasib anak saat ini antara lain terlihat dari munculnya kasus-kasus seperti busung lapar, polio, dan muntaber, yang bahkan telah memakan korban meninggal dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tegas- tegas menyebutkan, kita telah melupakan berbagai pelayanan dasar untuk anak sejak tujuh tahun masa reformasi. Maka, dalam pertemuan dengan gubernur se-Indonesia pada 9 Juni 2005 di Kantor Kepresidenan, Presiden SBY berpesan agar program lama, seperti program kesejahteraan keluarga, pos pelayanan terpadu, pekan imunisasi nasional, dan apotek hidup, segera dihidupkan kembali (Kompas, 10/6/2005). Sejak 1997 Sebenarnya indikasi terlupakannya nasib anak diawali dari krisis ekonomi yang melanda tahun 1997, setahun setelah berakhirnya Dasawarsa Anak. Belum lagi ekonomi mengalami pemulihan, disambut munculnya orde reformasi yang begitu banyak menyita perhatian dan energi. Semua pihak sepertinya larut dalam aktivitas politik sehingga perhatian terhadap anak menjadi berkurang. Kurangnya perhatian terhadap anak antara lain bisa terlihat dari persentase pengeluaran publik untuk pendidikan dasar terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 1,84 persen dari PDB atau sebesar Rp 33 triliun. Padahal, untuk memenuhi hak pendidikan dasar, menurut Departemen Pendidikan Nasional, alokasinya minimum sebesar 3,24 persen dari PDB atau sebesar Rp 58 triliun. Jadi ada kekurangan Rp 25 triliun. Sektor kesehatan juga belum mendapat porsi layak. Pada tahun 2002, misalnya, alokasi untuk kesehatan hanya 0,47 persen dari PDB atau sebesar Rp 8,4 triliun. Padahal, untuk memenuhi hak kesehatan dasar, menurut perhitungan Departemen Kesehatan, alokasinya sebesar 0,77 persen dari PDB atau Rp 13,6 triliun. Kekurangan dana untuk kesehatan itu sebesar Rp 5,2 triliun (UNDP, Bappenas, BPS, 2004). Kurangnya perhatian terhadap nasib anak mengakibatkan rendahnya kesejahteraan anak. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka kekurangan gizi yang pada gilirannya mengakibatkan masih tingginya angka kematian bayi (AKB) dan minimnya tingkat pendidikan penduduk. Pada tahun 1995, setahun sebelum berakhirnya Dasawarsa Anak (tahun 1996), berdasarkan hasil Susenas, anak balita yang menderita kekurangan gizi sebesar 35,4 persen. Angka itu turun menjadi 25, 8 persen tahun 2002. Suatu penurunan yang relatif lambat selama 7 tahun, yaitu rata- rata kurang dari 1,5 persen per tahun. Pada tahun 2003, kasus gizi tidak begitu menunjukkan gejala meningkat dengan angka 27,56 persen. Seharusnya kenaikan seperti ini segera diantisipasi, tetapi kenyataannya tidak banyak yang diperbuat sehingga tak mengherankan jika masalahnya berakumulasi dan meledak seperti yang terjadi saat ini. Kekurangan gizi, khususnya pada ibu hamil dan yang sedang menyusui serta bayi, menjadi salah satu faktor penyebab kematian bayi. Pada tahun 1996, AKB nasional berdasarkan penghitungan BPS tercatat 47 per 1.000 kelahiran hidup, berarti dari 1.000 kelahiran hidup, 47 di antaranya meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Pada tahun 2002, AKB turun menjadi 43,2, atau turun sebesar 3,8 poin selama enam tahun. Suatu penurunan yang terbilang kecil dengan rata-rata sekitar 0,5 poin per tahun. Padahal selama Dasawarsa Anak, AKB turun 30 poin, yaitu dari 71 pada tahun 1986 menjadi 41 tahun 1996 atau rata-rata turun dua poin per tahun. Kualitas yang amat rendah Kita masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Dari catatan Sekretariat ASEAN (2003) diperoleh keterangan, AKB di Malaysia, misalnya, pada tahun 2001 tercatat enam dan di Singapura hanya dua kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Vietnam menunjukkan keadaan yang lebih baik daripada Indonesia dengan 30 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001. Aspek pendidikan juga menunjukkan keadaan yang memprihatinkan, antara lain tercermin dari rata-rata lama sekolah (mean years schooling). Pada tahun 1996 rata-rata lama sekolah adalah 6,3 tahun atau hanya sebatas tamat sekolah dasar. Pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah 7,2 tahun atau rata-rata lama sekolah bertambah 0,9 tahun selama enam tahun, berarti rata-rata tambah 1,5 bulan per tahun. Dengan rata-rata lama sekolah yang identik dengan kelas I sekolah menengah pertama itu, dapat dibayangkan betapa rendahnya kualitas sumber daya yang dimiliki. Perlu "grand design" Berkaitan dengan Hari Anak, kita perlu melihat, apa yang diperlukan saat ini bukan hanya menghidupkan program lama seperti diimbau Presiden SBY, tetapi juga diperlukan grand design untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan anak. Untuk itu diperlukan rencana strategis yang terkait visi dan misi yang jelas sehingga program maupun kegiatan yang akan dijalankan lebih terarah dan terpadu. Meski kita kini disibukkan aktivitas membangun demokrasi, nasib anak jangan sampai terlupakan, yang pada gilirannya kita semua menjadi terluka menyaksikan anak-anak yang tidak berdaya karena kekurangan gizi dan inteligensianya rendah. Demokrasi amat penting untuk memberi hak-hak politik bagi penduduk, tetapi yang amat penting lagi adalah memberi hak hidup yang adil dan layak bagi semua, termasuk anak-anak. Hal itu penting diungkap karena kehidupan demokrasi yang terjadi saat ini belum jelas benar arahnya. Visi dan misi yang didengungkan para calon pemimpin dalam pilkada belum menyentuh hak-hak rakyat yang paling mendasar, seperti penghapusan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan pemberantasan pengangguran. Kalaupun ada, masih sekadar wacana yang belum jelas kerangka operasionalnya. Padahal di pundak mereka masa depan rakyat, khususnya anak-anak, dipertaruhkan. Razali Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS [Non-text portions of this message have been removed] Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/