http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/23/opini/1916296.htm

 
Melihat Kisah Bunuh Diri dengan Empati 

Oleh: Imam Setyawan



Deretan anak sekolah yang mengakhiri hidup atau mencoba mengakhiri hidup dengan 
bunuh diri kian bertambah.

Agustus 2004, Haryanto, siswa SDN IV Garut, Jawa Barat, harus mengalami brain 
damage akibat bunuh diri yang gagal dilakukan.

Sembodo, anak muda Kebumen, Jawa Tengah, menyentak gempita peringatan Hari Anak 
Nasional 2004 dengan mengakhiri hidupnya.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2005 mendapat kado meninggalnya Eko 
Haryanto, siswa SD Kepunduhan 01 Kramat, Tegal, Jawa Tengah, karena gantung 
diri. Terakhir, Jumat (15/7/2005) Fifi Kusrini (14), siswi SMPN 10 Bekasi, 
mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (Kompas, Minggu, 17/7/2005).

Meruaknya kasus-kasus bunuh diri anak sekolah mestinya memancing perhatian 
lebih intens, bukan sekadar simpati terhadap rasa sakit keluarga korban.

Memang, mungkin kita jauh lebih mudah melihat faktor pencetus, yaitu 
ketidakberdayaan ekonomi, sebagai motif dasar keinginan anak-anak itu untuk 
bunuh diri. Namun, terlalu naif bila sayatan di "kening" pendidikan nasional 
ini disandarkan melulu pada ketidakmampuan orangtua memenuhi aneka kewajiban 
material pada pelaksanaan proses belajar-mengajar di sekolah.

Ketidakcerdasan emosi

Meski anak-anak muda yang bunuh diri itu memiliki alasan, sebenarnya mereka 
lebih didorong perasaan tidak mampu menanggung beban sosio-emosional yang 
kadang tidak sepenuhnya mereka mengerti.

Meski pemicunya ketidakmampuan finansial orangtua, bagi anak, tekanan itu jauh 
lebih menyakitkan. Fifi, misalnya, mungkin tidak sepenuhnya memahami mengapa ia 
dilahirkan sebagai anak tukang bubur yang membuatnya harus menerima ejekan 
teman-teman atas status itu. Dia telah memutuskan untuk mengakhiri 
"derita"-nya. Kasus- kasus sebelumnya juga menunjukkan ada ketidakmampuan 
sosio-emosional dari anak-anak untuk mengelola tekanan yang mereka terima.

Dengan orientasi kapitalis, lingkungan sosial cenderung membentuk anak-anak 
dengan menghadapkan pada aneka pembelajaran instan, mengarah pada kekerasan dan 
pemaksaan sebagai cara yang dipandang efektif dalam memecahkan masalah.

Karena itu, memilih melakukan apa saja untuk mencapai tujuan menjadi sedemikian 
lazim. Proses, sebagai bagian paling penting dalam pembelajaran, ternafikan. 
Lalu terbentuk generasi instan yang mudah puas, mudah cemas, mudah bertindak 
agresif, dan kurang menghargai toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup 
orang lain. Akibatnya, ketika ketidakberhasilan dan ketidakcocokan muncul, 
serta ketidakberdayaan dirasakan, jalan pintaslah yang dipilih.

Sebenarnya, kian banyak anak yang mengalami aneka kesulitan yang mengarah pada 
ketidakcerdasan emosional dalam menyikapi masalah. Sistem pendidikan dan 
pembelajaran di negeri ini secara tidak langsung ikut andil membentuk 
ketidakcerdasan emosi pada anak-anak itu. Ada banyak kritik terhadap sistem 
pendidikan kita yang lebih mengedepankan kemampuan dan kecerdasan intelektual, 
dan tidak meletakkan secara proporsional pengembangan aspek spiritual dan 
sosio-emosional.

Fungsi sosio-emosional empati

Pengembangan empati menjadi amat relevan guna membangun aspek-aspek manusiawi 
individu itu. Empati membantu anak mengetahui dan memahami emosi orang lain dan 
berbagi perasaan dengan orang lain. Dengan empati, anak dituntut untuk mengubah 
pola pikir yang rigid menjadi fleksibel, pola pikir yang egois menjadi toleran. 
Anak juga menjadi mengerti, tidak semua keinginannya terhadap orang lain dapat 
terpenuhi, dan memiliki inisiatif membantu orang lain yang berada dalam 
kesulitan.

Kemampuan anak untuk membayangkan perasaan seseorang dan berpikir dalam 
keseluruhan sikap mental emosional orang lain menjadi dasar pengembangan 
empati. Anak memerlukan kesadaran diri, keterbukaan pada emosi diri, dan 
keterampilan membaca perasaan sehingga dapat melihat dirinya pada peran yang 
dimainkan orang lain. Dengan kemampuan itu, anak memahami, mengenali, dan 
memberi nama (label) secara tepat terhadap emosi-emosi yang dirasakan. Dengan 
demikian, tak ada kebingungan pada anak dalam mendefinisikan apa yang sedang 
bergolak dalam perasaannya dan kesalahan penggunaan coping behaviour tak akan 
terjadi.

Perspective taking yang dilakukan anak akan memperlihatkan bagaimana dia 
memandang aneka kejadian sehari-hari dari sudut pandang orang lain sehingga 
membuatnya mampu mengantisipasi perilaku dan reaksi orang lain. Emphatic 
concern akan terbentuk dan mengasah kemampuan anak untuk berbagi pengalaman 
atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

Daniel Goleman, dalam buku Emotional Intelligence, mengemukakan, empati 
memungkinkan seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di 
balik perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata.

Melalui empati, anak tidak hanya keluar diri dalam usaha memahami orang lain, 
tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap self.

Pertama, kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda akan 
mendorong anak mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya. 
Dengan menggunakan mobilitas pikirannya, anak dapat menempatkan diri pada 
posisi perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu 
melakukan komunikasi efektif.

Kedua, mampu berempati mendorong anak melakukan tindak altruistis, yang tidak 
hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga 
ketidaknyamanan perasaan anak melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa 
yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif 
terhadap individu itu.

Ketiga, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain membuat anak menyadari 
bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini 
membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta 
memerhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk 
kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, 
dan emosi yang matang. Jadi, konsep diri yang kuat, melalui proses perbandingan 
sosial yang terjadi dari pengamatan dan pembandingan diri dengan orang lain, 
akan berkembang dengan baik.

Kemampuan mengambil perspektif orang lain merupakan kunci untuk menciptakan 
hubungan sosial yang hangat. Hubungan sosial yang berkualitas inilah yang 
memungkinkan anak dapat mengekspresikan perasaannya secara terbuka dengan 
mengembangkan emosinya dengan sehat. Identitas dan harga diri akan berkembang 
mantap, dan meminjam istilah Sigmund Freud, anak akan cenderung menghambat 
thanatos (insting kematian) yang dimiliki dengan penghargaan lebih tinggi 
terhadap eros (insting kehidupan).

Imam Setyawan Pengajar Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro Semarang


[Non-text portions of this message have been removed]



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke